Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 23 April 2016

TOKOH–KH. M. Tolchah Hasan: “Tafsir Al-Qur’an bukan Al-Qur’an”


Islamindonesia.id-KH. M. Tolchah Hasan: “Tafsir Alquran bukan Alquran”

Prof. Dr. KH. Muhammad Tolchah Hasan adalah salah satu tokoh sepuh NU yang telah malang melintang di jagat pendidikan dan pergerakan. Dalam salah satu taujihatnya kepada kyai-kyai muda NU, KH. Tolchah membeberkan sejumlah gagasan yang kian hari kian terasa relevan. Di antara sekian banyak taujihat yang dia sampaikan dan direkam dalam buku berjudul NU Sesaat (2016), pria kelahiran Tuban 1938 ini menuturkan: “Pernah datang kepada saya santri-santri dari Lirboyo. Mereka menulis sebuah buku yang membedah kitab Taqrib (Al-Ghoyah wa Al-Taqrib-red.). Banyak hasil pembahasan bahtsul masail yang dimuat di dalamnya. Ketika mereka meminta saya untuk memberi kata sambutan, saya katakan kepada mereka, ‘Pesan saya, jangan menganggap buku Anda setingkat dengan Taqrib.”

Mantan Menteri Agama ini lantas melanjutkan: “Sama halnya dengan para penulis tafsir Alquran, jangan menganggap kebenarannya sama dengan kebenaran Alquran. Karena kebenaran absolut hanya Alquran, bukan tafsirnya. Sebab ada beberapa orang yang karena menafsirkan sesuatu yang mutlak benar (yakni Alquran), lalu merasa tulisannya semutlak yang ditafsirinya. Semua (tafsir) relatif. Oleh karena itu, kita dapat menjumpai banyak penafsiran berbeda, karena sama-sama relatif. Dari tafsir Ibnu Abbas hingga Az-Zuhaili.”

Pendiri organisasi Sabilillah yang populer di wilayah Malang ini lebih jauh menerangkan: “Sama halnya dengan fiqih–bagaimanapun pentingnya–seluruhnya solutif, yakni sebuah upaya pemecahan masalah yang sebelumnya belum ada ketentuan hukumnya. Tapi kadang-kadang kita menjadikan fiqih itu dogmatis. Tidak bisa dikritik. Maka di beberapa pengajian dan perkuliahan saya sampaikan, kalau ingin ngaji fiqih yang tidak mengandung perbedaan, ya tidak ada. Sebab fiqih hanya upaya mencari solusi dari kebuntuan hukum. Di samping itu, ia terkait dengan ijtihad. Masing-masing orang berbeda tingkatannya dalam hal ijtihad atau kemampuannya melakukan ijtihad. Itulah yang membuat perbedaan.”

Pengasuh lembaga pendidikan Al-Ma’arif ini lalu berargumen: “Dengan demikian, jangan menyalahkan orang lain karena berbeda. Sebab upaya-upaya itu hanya relatif. Dari sini dapat kita lihat, mengapa orang-orang Wahabi selamanya ‘membuat masalah’? Sebab mereka la yaqbalu al-khatha’ min nafsihi, wa la yaqbalu ash-shahwa minal ghair (Mereka tak pernah mengaku salah, sementara kelompok lain tidak pernah benar). Ini sangat berbahaya. Mereka menjadi Diktator Pendapat.

Kyai sepuh berusia 78 tahun ini menyimpulkan: “Kesimpulannya, kita boleh mempunyai pendapat, boleh mengikuti kelompok, bahkan bermazhab, tapi jangan menjadikan semuanya sebagai kebenaran absolut. Semuanya adalah batas yang mampu dicapai manusia. Ini penting sekali dipahami, untuk mengurangi ketegangan-ketegangan perbedaan pendapat di antara berbagai kelompok. Terlebih di zaman ini, banyak sekali benturan-benturan yang diakibatkan ngotot merasa benar sendiri dan sebagainya.”

 

AJ/IslamIndonesia/Sumber: NU Sesaat, Epos 90 Tahun Perjalanan Kepemimpinan NU (Tim Penulis).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *