Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 01 December 2019

Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (2)


islamindonesia.id – Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (2)

Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (2)

Oleh Neni Muhidin*

Tuhan berketetapan. Setelah salat Jumat di Masjid An-Nur Christchurch (29/11/2019), dipertemukan-Nya saya dengan Musa.

Seorang lelaki dengan janggut pirang, bergamis panjang dan peci putih, mendekat, saat saya akan meninggalkan masjid. Tersenyum, lalu, “hei bro!” Saya pikir dia lelaki yang menyapa saat Brenton Tarrant masuk ke masjid dan membantai orang-orang.

Dia langsung memperkenalkan namanya. Musa. Dia menjadi tampak asing di masjid itu sebagaimana polisi dan wartawan yang datang. Sebagian besar isi masjid adalah orang Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Sempat saya bertanya kepada beberapa orang yang terdengar samar sedang bicara dalam bahasa Indonesia. Ternyata orang Malaysia. Dari Sabah yang berada di barat Pulau Kalimantan.

Sebelum Musa bertanya dari mana saya berasal, saya segera menegaskan. Indonesia. Central Sulawesi. Palu. Ya ya ya….

Neni Muhidin berfoto bersama Musa.

Sebelum saya bertanya dari mana Musa berasal, pun segera dijawabnya “I am New Zealander (Saya orang Selandia Baru-red.” Musa tinggal di Linwood, tidak jauh dari Islamic Center yang juga diserang itu. Tidak butuh waktu lama untuk jadi akrab saat berhadapan dengan Musa yang riang. Saya mengatakan sudah seminggu di Christchurch dan akan ada di kota itu sampai Desember.

Obrolan jadi intim. Musa menggulung gamisnya. Dia menunjukkan tatonya di lengan. Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak lelaki satu-satunya. Musa diceraikan istrinya. “Still love her (Masih mencintai dia [istrinya]-red), sambung Musa.

Terlalu cepat Musa bicara hingga saya harus selalu menjedanya dan bertanya kata yang terdengar asing dalam aksen Inggris yang kental. Saya balas menunjukkan tato dalam huruf Arab pegon di nadi tangan sebelah kiri. Musa tersenyum. “That’s about love (Itu adalah tentang cinta-red),” saya mengatakan itu kepadanya. Musa cengengesan.

Musa lalu berkisah panjang lebar di hari pembantaian itu dan memutuskan seminggu setelahnya menjadi Islam. “I am user and drug dealer (Saya [dulunya] adalah pengguna dan pengedar Narkoba-red),” ujar Musa. Orang-orang yang mengenalnya di kota itu memanggilnya Shaggy. Dia memang tampak seperti majikan Scooby Doo, seri kartun detektif terkenal itu.

Musa membaca bahasa tubuh saya yang seakan ingin beranjak dari masjid. Dia bertanya saya akan ke mana dan naik apa. Saya bilang akan ke dua lokasi di kota itu. Zona merah di Avonside dan lokasi bekas likuefaksi di Barbour Street. Tanpa basa-basi, Musa menawarkan sepeda.

Kami sudah di halaman masjid. Tawaran Musa itu bikin saya mendongak wajah ke langit. Semesta sedang bekerja buat saya lewat Musa. Sudah seminggu ini saya ke mana-mana jalan kaki atau naik bis. Rata-rata 6 sampai 7 km jalan kaki pulang pergi. Sepeda tentu akan membikin segalanya jadi efektif secara waktu dan ruang dan semakin efisien secara biaya.

Fabbiayiala irabbikuma tukadziban. Maka nikmat Tuhan mana yang harus kamu dustakan.

Di halaman masjid, Musa mengganti pakaian. Dia membuka gamisnya, melepas peci, dan memakai sweater hoodie dan topinya yang dia keluarkan dari dalam tas punggungnya. Setelahnya disalaminya orang-orang yang masih tertinggal di halaman masjid. Orang-orang yang tampak mengenalnya dengan baik.

“Bye, Shaggy!”

“Easy man. Islam teaches me to help each other (Santai saja. Islam mengajariku untuk membantu satu sama lain-red).” Saya terpukul mendengar pernyataan Musa ini. Musa hanya meminta saya menemaninya berjalan dari masjid sampai ke terminal bis, lalu sepeda boleh saya pakai selama di Christchurch.

Kami menyusuri taman. Musa meneruskan cas cis cusnya tentang keseharian, termasuk kisah saat gempa bumi dahsyat mengguncang kota itu pada September 2010 dan Februari 2011. Di beberapa ruas jalan orang-orang melambaikan tangan kepadanya, memanggilnya Shaggy atau bahkan mengajaknya bicara.

[Baca juga: Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (1)]

Kami tiba di terminal bis di Lichfield Street. Sebelum berpisah saya kembali bertanya apakah saya benar-benar bisa memakai sepedanya. Musa yang sebenarnya bernama Isaac itu hanya tertawa. “Easy man!” Dia mengulang terus kalimat akrab itu.

Musa berpesan jika kami tidak lagi bertemu karena selanjutnya saya akan ke Wellington, sepeda itu dia minta dikembalikan di halaman parkir Masjid An-Nur. Saban jumat dia akan ada di sana.

Kami berpelukan.[]

*Pegiat literasi bencana asal Palu, Sulawesi Tengah; Pendiri Nemu Buku; dan Residensi Penulis Indonesia di Christchurch, Selandia Baru.

PH/IslamIndonesia/Foto: Neni Muhidin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *