Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 30 November 2019

Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (1)


islamindonesia.id – Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (1)

Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (1)

Oleh Neni Muhidin*

Masih lekat di ingatan dunia, siaran langsung serangan teror dari Facebook Brenton Harrison Tarrant (28), delapan bulan lalu, 15 Maret 2019.

Sungguh saya tidak ingin mengingatnya. Hampir 2 km jalan kaki dari tempat saya tinggal di Bealey ke Deans Avenue, jalan tempat Masjid An-Nur berada, yang ingin saya pikirkan hanyalah salat Jumat (29/11/2019).

Saya melangkah lebih cepat menyusuri North Hagley Park, satu dari penanda penting pusat kota Christchurch. Masjid itu berada tepat di sisi tenggara taman seluas 165 ribu hektar!

Sudah pukul 12.30 waktu setempat. Saya tidak ingin terlambat.

Masjid An-Nur, Christchurch, Selandia Baru

Kubah masjid akhirnya terlihat dari jauh. Saya berlari kecil dan akhirnya tiba di masjid. Di pagar depan tampak ucapan-ucapan simpati dari warga. Ada empat lelaki yang sedang bercengkerama di halaman depan. Beberapa perempuan berkerudung sedang menyiapkan penganan. Saya mengucapkan salam dan langsung bertanya di mana tempat wudhu.

Salat jumat baru akan dimulai pukul 14.00.

Ingatan horor itu seketika datang dan terasa seperti memerangkap saat saya sudah berdiri di pintu batas alas kaki dan memperhatikan beberapa ruang yang tersekat-sekat.

Saya dikagetkan oleh salam beberapa orang yang mulai memasuki masjid. Mereka mengulurkan tangan. Beberapa orang bahkan memeluk. Saya agak canggung. Tapi perlahan horor yang datang berangsur sirna.

Orang-orang semakin banyak, bahkan polisi dan wartawan televisi. 13.30 muazin mengumandangkan panggilan salat. Bulu kuduk saya kembali tegak. Setelah azan, orang-orang lalu bangkit berdiri dan salat sunah. Khatib naik mimbar. Setelah mengucap salam, muazin kembali mengumandangkan azan. Sepanjang ceramah, saya mengunci beberapa kata kunci dari khatib yang setelah berceramah dalam bahasa Inggris lalu segera memimpin salat.

Salat berakhir. Orang-orang bersalaman, berpelukan, dan berangsur keluar dari dalam masjid, berkumpul di halaman. Beberapa yang masih tinggal di dalam menunggu imam, ingin bersalaman dengannya.

Saya mendekat, mengulurkan tangan, dan menyebut nama. “From Indonesia, Imam (Dari Indonesia, Imam-red).” Dia tersenyum. Tatapannya teduh. Hangat. “Masya Allah,” katanya.

Saya memintanya foto bersama dan segera dia tanggapi. Imam bahkan meminta saya mengulang berfoto karena hasilnya kurang terang. Dia menarik tangan saya ke dekat lampu.

Imam masjid itu bernama Gamal Fouda. Di papan pengumuman masjid tertera pesan darinya dan informasi tentang siapa dan dari mana asal Imam Gamal.

Imam Gamal Fouda berfoto bersama Neni Muhidin

Imam Gamal lulus dari Islamic Theology, Universitas Al Azhar di Kairo Mesir, tanah airnya. Dia pernah jadi imam di Amerika Serikat. Fobia Islam pasca serangan 11 September, Imam Gamal pindah ke Selandia Baru dan tinggal di Palmerston North pada 2003, sebelum akhirnya menjadi imam Masjid An-Nur, Christchurch.

Imam Gamal sedang ceramah di atas mimbar saat Brenton masuk ke dalam masjid dan mulai melepas tembakan. 51 orang tewas dan puluhan luka-luka. Teror berdarah itu juga terjadi di Linwood Islamic Centre, 5 km ke arah utara dari An-Nur.

Di jumat minggu berikutnya, 22 Maret 2019, Imam Gamal memimpin salat jumat ribuan muslim di North Hagley Park. Sebelum salat, Imam Gamal ceramah. Sebuah kalimat kunci dari ceramah di suasana penuh duka. “We are broken-hearted but we are not broken (Kami patah hati namun kami tidak hancur-red).”

Saya pikir pernyataan itu akan jadi orasi yang akan dikenang sepanjang masa. Serupa orasi I Have a Dream (Saya memiliki sebuah mimpi) Martin Luther King JR yang tersohor itu. Diskriminasi ras harus diakhiri.

Saya tidak ingin segera beranjak. Orang-orang sudah keluar. Saya mendekat ke mimbar dan berharap menemukan lembaran kertas berisi ceramah yang dibacakan Imam Gamal Fouda.

[Baca juga: Salat Jumat di Christchurch, Selandia Baru (2)]

Saya menemukan kertas yang dibacakan imam itu di alas mimbar. Saya membaca 10 halaman ceramah itu.

(Ketika kita melihat Nabi dan rekannya, kita dapat melihat bahwa mereka tidak pernah membiarkan seseorang merasa seolah-olah mereka sendirian. Mereka tidak pernah melihat orang dengan cara menghakimi mereka. Menjadi teman sejati bagi orang dan seseorang yang dapat mereka dekati dan ajak bicara. Pikirkan bagaimana kau menjadi seorang Muslim yang tidak hanya bermanfaat bagi dirimu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang-orang di sekitarmu.)

Paragraf akhir penutup ceramah Imam Gamal Fouda di atas membuat mata saya berair.[]

*Pegiat literasi bencana asal Palu, Sulawesi Tengah; Pendiri Nemu Buku; dan Residensi Penulis Indonesia di Christchurch, Selandia Baru.

PH/IslamIndonesia/Foto: Neni Muhidin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *