Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 03 May 2020

Nasib Buku di Tengah Pandemi


islamindonesia.id – Nasib Buku di Tengah Pandemi

Minat Membaca Buku di Indonesia

Bagaimana dengan kondisi kekinian di Indonesia? Sebagai negara dengan jumlah populasi Muslim terbesar di dunia, apakah mereka memiliki tingkat kebudayaan membaca yang sedemikian tinggi sebagaimana para pendahulu Muslim mereka? (Lihat artikel sebelumnya yang berjudul Buku dalam Sejarah Peradaban Islam)

Sebagaimana dilansir dari legalera.id, pada tahun 2017 UNESCO menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca penduduknya sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

Hasil riset berbeda namun serupa ditunjukkan oleh World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung budaya membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa, yakni dalam hal kepemilikan gawai. Meski minat baca buku rendah tapi data dari wearesocial per Januari 2017 mengungkap bahwa orang Indonesia bisa menatap layar gawai kurang lebih 9 jam sehari.

Namun apa yang menjadi sebabnya? Mengapa minat membaca penduduk Indonesia begitu rendah? Apakah semata-mata karena kemalasan?

Peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud Lukman Solihin ternyata mengatakan tidak demikian. Dari semua persoalan, masalah akses, yaitu akses ke perpustakaan daerah, perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan sekolah begitu terbatas.

“Artinya ada korelasi antara akses dengan kebiasaan, kalau engga ada akses bagaimana mau membaca.  Para pegiat literasi melihat bahwa minat baca cukup tinggi, tapi itu potensi yang belum mewujud jadi perilaku, kebiasaan, dan budaya,” ujar Lukman sebagaimana dilansir dari Kompas (20/6/2019).

Industri Buku di Indonesia Menghadapi Pandemi

Meski demikian, apapun sebabnya – minat atau akses untuk membaca di Indonesia rendah – penerbit-penerbit buku di Indonesia masih cukup banyak, mulai dari yang kecil, menengah, hingga besar ada di sini.

Di kelas yang besar dan mapan, sebut saja ada Gramedia yang usianya sudah cukup tua. Selain itu, khusus dalam khazanah keislaman, ada Mizan Pustaka. Keberadaan penerbit-penerbit ini, menandakan bahwa sebenarnya minat baca di Indonesia itu ada, tidak separah seperti yang digambarkan oleh lembaga penelitian global di atas.

Namun, semenjak terjadinya pandemi Covid-19, para penerbit mengaku mengalami kesulitan dalam penjualan. Gramedia Pustaka Utama, salah satu grup Gramedia, mengatakan telah mengalami penurunan sekitar 70% setelah 61 toko buku Gramedia tutup untuk sementara.

Sementara itu Mizan mengatakan bahwa terjadi penurunan penjualan hingga 40% untuk Maret 2020. “Jika situasinya terus seperti ini, kami memperkirakan April akan turun hingga 60%,” ujar Ditta Sekar Cempaka, PR Corporate PT Mizan Pustaka, sebagaimana dilansir dari pulauimaji.org (30/4).

Haidar Bagir, selaku Presiden Direktur Mizan, pada Minggu (3/5) mengatakan, “Di bulan Mei ini diperkirakan penjualan maksimum tinggal mencapai di bawah 20 persen dari sebelumnya. Untuk sebagian penerbit mungkin malah sudah mendekati 0 persen. Produksi? Memang sudah 0.”

Di sisi lain, meski tak banyak, situasi pandemi ini telah mendatangkan peningkatan penjualan buku secara online, termasuk penjualan buku berformat elektronik. “Penjualan e-book di google playbook ada peningkatan sekitar 15%,” ujar Siti Gretiani, General Manager Gramedia Pustaka Utama. Penjualan buku secara online melalui website Gramedia Pustaka Utama juga mengalami peningkatan sebesar 300%.

Sementara itu Mizan sudah banyak melakukan promosi penjualan online.  “Di awal April ada program di mizanstore dengan diskon 30-70%. Kami juga melakukan program outoftheboox, bekerja sama dengan shopee dan tokopedia, dengan memberikan diskon 25 hingga 90%, di mana 90% untuk buku-buku lama,” kata Ditta.

Insentif dari Negara

Melihat situasi semacam ini, sejumlah negara sebenarnya telah melakukan antisipasi. Mereka membuat perpustakaan mereka bisa diakses secara online oleh masyarakat, termasuk memberikan insentif kepada perpustakaan untuk membeli buku-buku online dari penerbit dan termasuk pembelian buku-buku elektronik dan audio kepada penerbit.

Pemerintah Republik Ceko misalnya, telah memberikan dana kepada perpustakaan pusat untuk membeli e-book dari para penerbit senilai € 370.000. Pemerintah Inggris memberikan dana kepada perpustakaan senilai £ 1 juta untuk membeli e-book dan buku audio. Adapun pemerintah Irlandia mengeluarkan dana € 200.000 untuk membeli 5000 e-book dan audiobook bagi perpustakaan umum.

Harapan yang sama tentu juga dimiliki para pelaku industri perbukuan di Indonesia. Insentif-insentif dari pemerintah seperti yang sudah dilakukan negara-negara lain sangat diperlukan, termasuk juga keringanan pajak tentunya.

Tentu saja, harapan ini sangat diperlukan untuk segera terwujud jika kita memang masih menginginkan negeri ini memiliki minat baca dan peningkatan kemampuan literasi. Apalagi mengingat sebagian besar industri perbukuan Indonesia masih berskala usaha kecil dan menengah.

Jika kondisi pandemi ini masih terus berlanjut – bahkan hingga akhir tahun atau tahun depan – dan tanpa ada bantuan dari pemerintah, sebagian penerbit mungkin akan berguguran. Bahkan bagi penerbit besar sekelas Gramedia dan Mizan pun sudah mulai mempertimbangkan sejumlah skenario untuk bertahan, di antaranya mungkin pengurangan komponen gaji di sejumlah level atas. Demikian sebagaimana dilaporkan oleh Dewi Ria Utari dari pulauimaji.com.

Berkenaan dengan insentif, Haidar mengatakan dalam akun Twitternya, “Saya tidak ngeluh. Saya sudah sejak mahasiswa berbisnis dan biasa menghadapi kesulitan dengan kerja keras. Dan ini salah satu upaya saya: Pak @Jokowi (akun Twitter resmi Presiden Indonesia), buku adalah salah satu kebutuhan esensial jika bangsa kita mau maju. Sekarang industrinya benar-benar terancam. Tak tepikirkah insentif seperti di negeri lain?”

“Salah satu insentif yang bisa dilakukan adalah mendorong perpustakaan nasional dan daerah, sekolah dan perguruan tinggi membeli buku, termasuk e-book. Bisa negosiasi agar dapat harga murah. Ini saja sudah akan membantu penerbit, di samping mungkin bisa dipikirkan insentif lain @MasMenteri (akun penggemar Mendikbud Nadiem Makarim),” ungkap Haidar.

Jangan Sampai Industri Buku Mati

Persoalan lain terkait pandemi dan industri buku adalah mengenai kecenderungan masyarakat yang lebih memilih media hiburan ketimbang buku. Sebagaimana diungkapkan oleh Haidar, “Mizan sudah bertahun-tahun mengupayakan business development di berbagai bidang, yang akan dipercepat pengembangannya untuk mengambil peluang pasca Covid-19. Itu soal lain.

“Yang harus diupayakan adalah mencegah industri buku mati, kemakan YouTube, Netflix dan banjir informasi internet, termasuk sampah-sampahnya.”

Keresahan yang dirasakan Haidar dan pihak penerbit lainnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah pelaku industri perbukuan di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, pada Jumat (24/4) mengadakan diskusi daring dalam rangka World Book Day (Hari Buku Dunia) yang jatuh setiap tanggal 23 April.

Dalam acara tersebut tiga tokoh perbukuan dari tiga negara, yaitu Laura Bangun Prinsloo, Ketua Komite Buku Nasional 2016-2019 dan Ketua Yayasan Tujuhbelasribu Pulau Imaji, Indonesia; Arief Hakim Sani, President Malaysian Book Publishers Association dan Managing Director PTS Media Group yang berbasis di Selangor, Malaysia; dan Maria Karina Africa Bolasco, Direktur Ateneo University Press, Filipina, menyatakan bahwa penjualan buku sejak wabah pandemi ini terus memburuk dan karenanya sangat memerlukan dukungan pemerintah.

Berbeda dengan Ceko, Inggris, dan Irlandia yang pemerintahnya telah memberikan insentif sebagaimana telah disebutkan di atas, di Indonesia perhatian dari pemerintah mengenai hal ini masih belum tampak. Oleh karenanya Laura mengajukan beberapa usul kepada pemerintah:

1. Memberikan dukungan dana bagi pelaku industri perbukuan untuk membuka akses membaca gratis secara online dan bergiat untuk mengonversi buku terbitan mereka ke dalam bentuk digital, audio, video, dan program online agar mudah diakses selama masa #dirumahaja.

2. Memberikan dukungan dana bagi Perpustakaan, lembaga pendidikan, dan komunitas masyarakat untuk membeli buku, buku digital, buku audio dari para penerbit untuk mendorong dan masyarakat membaca di rumah.

3. Memberikan dukungan dana bagi pelaku industri perbukuan untuk menerbitkan buku bertema kesehatan dan hidup higienis dengan sasaran pembaca mulai dari balita hingga lansia untuk meningkatkan gaya hidup sehat di masyarakat.

4. Menyiapkan kampanye bersama dengan membentuk jejaring komunikasi yang lebih intensif untuk mensosialisasikan budaya baca melalui media sosial dan platform-platform komunikasi massa lainnya.

5. Memberikan dukungan dana bagi pelaku industri perbukuan untuk pengiriman gratis buku-buku fisik kepada taman baca, perpustakaan daerah, dan komunitas-komunitas literasi yang memerlukan, supaya setiap lapisan masyarakat tetap bisa mendapatkan akses pada buku.

6. Memberikan dukungan dana baik bagi industri penerbitan untuk terus melanjutkan kegiatan produksi dan promosi perbukuan maupun bagi kegiatan kerja sama lintas sektor untuk menghidupkan kembali industri perbukuan dan juga industri kreatif secara umum.

Selain persoalan idustri yang dikhawatirkan akan gulung tikar, Haidar juga mengungkap beberapa hal di belakang layar di balik industri perbukuan, menurutnya, industri tersebut bukan semata-mata tentang bisnis, namun ada juga sisi passion (minat) dan misi membangun budaya literasi.

“Saya khawatir dampak Covid-19 kepada industri buku tak berhenti setelah wabah pergi. Akan ada resesi, dan orang yang umumnya menomorsekiankan buku, akan makin menjauh dari buku. Selama ini, meski net margin (keuntungan penjualan) amat kecil, industri buku masih ditopang semangat orang-orang yang punya passion besar terhadap buku,” ujar Haidar.

“Meski melakukannya lewat bisnis  – dan ini adalah cara terbaik supaya sustainable (berkelanjutan) – orang-orang yang punya passion terhadap buku ini adalah salah satu penyokong utama budaya baca buku di negeri kia. Kalau industrinya gulung tikar, dapat dibayangkan keadaan literasi kita. Yuk Pak @jokowi dan @MasMenteri,” pungkas Haidar.

Belajar dari sejarah peradaban-peradaban besar di dunia, seringkali dan bahkan selalu, ilmu pengetahuan yang diwakili dalam bentuk buku telah menjadi tonggak dari peradaban itu sendiri. Indonesia sebagai negara besar semestinya dapat mengikuti contoh-contoh tersebut.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *