Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 03 May 2020

Buku dalam Sejarah Peradaban Islam


islamindonesia.id – Buku dalam Sejarah Peradaban Islam

Tidak diragukan lagi bahwa di dalam Islam, ilmu menempati posisi yang teramat istimewa. Allah berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah [58]: 11)

Cendekiawan Muslim Abdillah Toha pernah mengatakan, “Di dalam Alquran, kata ilmu dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali. Ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Alquran sangat kental dengan nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam.”

Belum lagi jika kita berbicara hadis, salah satunya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa keluar dengan tujuan menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali.” (HR. Turmudzi)

Selain hadis di atas, ada banyak sekali hadis lainnya yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu/belajar mencari ilmu.

Sayidina Ali bin Abi Thalib RA, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, juga pernah berkata kepada sahabatnya, “Hai Kumail! Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu berkurang apabila dibelanjakan dan ilmu itu bertambah dengan dibelanjakan.”

Buku dalam Sejarah Peradaban Islam

Selama berabad-abad kemudian setelah masa setelah Rasulullah SAW, Muslim terus meninggikan ilmu sebagai tradisi yang harus terus dicintai dan dipelihara dalam peradaban mereka.

Sebagai gambaran, pada era Harun Al-Rasyid (Khalifah Abbasiyah ke-5, berkuasa 786-809),  proyek penulisan dan penerjemahan buku-buku dari seluruh dunia terus digalakkan, bahkan pembiayaannya didukung sepenuhnya oleh negara.

Selama melakukan ekspedisi militer ke sejumlah wilayah di Eropa, ternyata para khalifah Abbasiyah tidak hanya merebut barang-barang berharga, tapi juga menggondol buku-buku dan naskah penting karya para ilmuwan Yunani.

Di Baghdad, terdapat sebuah perpustakaan terkenal yang bernama Bayt al-Hikmah (House of Wisdom/Rumah Kebijaksanaan). Pada waktu itu Bayt al-Hikmah menarik perhatian seluruh ilmuwan dari seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah.

Orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, mencurahkan waktunya untuk mempelajari karya-karya ilmiah Yunani kuno. Tidak hanya itu, bahkan mereka juga menambahkan dan memperluas temuan-temuan baru menggunakan metode ilmiah yang mereka ciptakan sendiri—sebuah fakta yang jarang diketahui oleh dunia saat ini.

Di wilayah Muslim lainnya, penguasa Kekhalifahan Umayyah di Cordoba (sekarang di Spanyol), al-Hakam II (memerintah 961–976), mempekerjakan mata-mata di Mesir dan Suriah hanya untuk memberinya informasi tentang keberadaan, bukannya emas atau selir, tetapi buku-buku langka dan terjemahan baru yang diterjemahkan oleh para ilmuwan Abbasiyah. Perpustakaan pualamnya di Cordoba memiliki ribuan volume karya-karya tersebut.

Akibatnya, karya-karya kuno yang dihidupkan kembali di Cordoba, memicu kebangkitan Eropa (Renaissance). Berawal dari aliran buku-buku yang semuanya berlangsung satu arah, yaitu dari perpustakaan Kairo dan Baghdad lalu ke perpustakaan Spanyol dan kemudian sisanya menuju Eropa, para cendekiawan Kristen Eropa kemudian berbondong-bondong ke selatan untuk mendapatkannya.

Gelombang kekayaan kebudayaan ini mencapai puncaknya pada sekitar abad ke-12 dan 13. Tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa itu di antaranya termasuk mistikus Muslim ikonoklastik Ibnu Arabi dari Ronda (1165-1240), polymath Ibnu Rushd dari Seville (1126–1198, disebut Averroës di Eropa), dan Musa Maimonides dari Cordoba (Musa bin Maimun, 1135–1204).

Artikel Terkait:

PH/IslamIndonesia/Foto utama: mvslim.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *