Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 18 May 2023

Kolom Haidar Bagir – Menjelaskan Geneologi Ajaran Thariqah ‘Alawiyah (Bagian 1)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Menjelaskan Geneologi Ajaran Thariqah ‘Alawiyah (Bagian 1)

Tak ada keraguan bahwa Thariqah’ Alawiyah (Thariqah Bany ‘Alawi) bersumber dari Alquran dan Sunah, yang ditransmisikan secara turun-temurun melalui apa yang disebut silsilah dzahabiyah (silsilah emas). Yakni, silsilah keluarga/keturunan (‘itrah) Nabi Muhammad Saw, melalui para ulama/urafa’ Bani ‘Alawi hingga zaman ini.

Pada saat yang sama, meski tak sedikit dari mereka menulis buku, ajaran Thariqah’ Alawiyah lebih banyak ditransmisikan lewat tradisi lisan dan praktik ketimbang lewat buku. Kecuali mungkin tak banyak buku wacana teoretis seperti Mi’raj al-Arwah karya Syaikh Abubakr bin Salim, kalau pun ada buku-buku yang ditulis, biasanya lebih bersifat manual (buku petunjuk praktis) di bidang mu’amalah – khususnya mu’amalah tasawuf atau pun laku bersyari’ah – ketimbang buku-buku wacana teoretis.

Meski di sana-sini bisa ada juga kandungan wacana, seperlunya. Misalnya al-Kibrit al-Ahmar karya Habib Abdullah bin Abibakr Alaydrus, atau an-Nafais al-‘Uluwiyah sebagai kumpulan ajaran Habib Abdullah Haddad tentang tasawuf, serta Rasyafat dan beberapa Risalah lain dari Habib Abdurrahman bin Abdillah Bilfaqih, atau pun Majmu’ Kalam karya Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas.

Betapapun, model transmisi tradisional atau turun temurun tampak lebih diandalkan.

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah kenapa ajaran Thariqah ‘Alawiyah lazim didefinisikan sebagai “batinnya Syadziliyah dan lahirnya Ghazaliyah”?

Habib Alwi bin Thahir dalam ‘Uqud al-Almas menyebutkan bahwa Habib Ahmad bin Hasan al-Ath-thas menyebut Syadziliyah dan Ghazaliyah sebagai inti atau saripati (‘ayn) Thariqah’ Alawiyah. Sebelum itu, hal yang kurang lebih sama diungkapkan oleh Habib Abdurrahman bin Abdillah Bilfaqih.

Masalahnya terletak pada kenyataan bahwa kedua ulama besar itu tak ada dalam rantai silsilah dzahabiyah. Meski merupakan seorang keturunan Rasul Saw, Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili – konon al-Hasani dan al-Husayni sekaligus – tak masuk dalam silsilah Bani ‘Alawi – yakni keturunan Alwi bin ‘Ubaydillah sampai ke Imam Husayn.

Garis keilmuan Syaikh Syadzili bersambung ke Syaikh Abdulqadir Jilani, yang adalah seorang Hasani.

Sebagai tambahan informasi, dikatakan bahwa ketersambungan ajaran Thariqah ‘Alawiyah kepada Syaikh asy-Syadzili terjadi melalui ajaran-ajaran/buku-buku Syaikh ibn Athaillah as-Sakandari.

Ibn’ Athailllah sendiri adalah cucu murid Syaikh asy-Syadzili melalui Syaikh Abul Abbas al-Mursi, murid Syaikh Syadzili sendiri adalah murid Abdus-Salam ibn Masyisy yang, pada gilirannya, adalah murid Syaikh Abu Madyan.

Kalau pun dicari-cari hubungannya, maka kita akan mendapati riwayat bahwa al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali pernah mendapatkan khirqah dari Syaikh Abu Madyan.

Dengan demikian, bisa dinyatakan bahwa ajaran Syaikh asy-Syadzili memiliki sumber yang sama – atau setidaknya memiliki kesamaan – dengan ajaran al-Faqih al-Muqaddam.

Teori yang lain menolak hal ini, dengan menyatakan bahwa pemberian khirqah dari Abu Madyan kepada al-Faqih al-Muqaddam sesungguhnya merupakan pengakuan Syaikh Abu Madyan akan maqam spiritual al-Faqih al-Muqaddam.

Bahwa al-Faqih al-Muqaddam memiliki maqam spiritual yang tak kalah tinggi dari Syaikh Abu Madyan, kalau tak malah lebih tinggi.

Habib Abubakar ‘Adani al-Masyhur, misalnya, menyatakan bahwa al-Faqih al-Muqaddam tidak bersikap pasif dalam menerima khirqah tersebut, tapi proaktif, sebagai  bentuk kesetaraan maqam spiritual beliau dengan Syaikh Abu Madyan.

Menurut Hb Abubakar, diriwayatkan bahwa al-Faqih menjemput utusan Syaikh Abu Madyan, bahkan sebelum utusan tersebut masuk kota, berkat kwaskitaan al-Faqih.

Kesimpulannya, menurut teori ini, tak ada persoalan transmisi – yang secara langsung menghasilkan kesamaan ajaran – antara asy-Syadziliyah dan Thariqah ‘Alawiyah, apalagi pengajaran (fath) al-Faqih oleh Syaikh Abu Madyan.

Maka, cerita marahnya Syaikh Baamarwan – guru al-Faqih – karena al-Faqih berpindah dari jalur ilmu fiqh ke tasawuf, tak dapat diterima. Pasti, sebagai keturunan ahlul bayt, yang dikenal sebagai guru sufi-sufi besar bahkan muara semua tarikat, tak mungkin al-Faqih tak menjalani kehidupan atau pengajaran tasawuf.

Sebelum nanti masuk lebih dalam ke persoalan ini, marilah kita sedikit meloncat ke persoalan pendefinisian ajaran Thariqah’ Alawiyah sebagai bersifat Ghazaliyah secara lahir/zhahir. Akan kita lihat bahwa, sepintas, hal ini terasa lebih problematis lagi…

Bersambung…

AL/Islam Indonesia/Feratured Image: duniasantri.co

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *