Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 10 July 2019

Kolom Haedar Nashir: Anatomi Gerakan Wahabiyah (3)


islamindonesia.id – Kolom Haedar Nashir: Anatomi Gerakan Wahabiyah (3)

Sambungan dari Bagian 2.

Anatomi Gerakan Wahabiyah (3)

Oleh Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

Gerakan Pemurnian (2)

Bagi pengikut Wahabiyah sendiri, gerakan pemurnian Islam merupakan jalan lurus yang diyakini sebagai wujud menegakkan tauhid yang murni dan membersihkannya dari praktik-praktik syirk dan bid’ah yang menodainya.

Abdurrahman Ar-Ruwaisyidi sebagaimana dikutip Nashir Al-Aqli melakukan pembelaan terhadap ajaran Wahhabiyah sebagai berikut: ”Wahhabiyah bukan merupakan agama baru atau mazhab yang diada-adakan seperti isu yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak simpati kepadanya. Akan tetapi, Wahhabiyah adalah hasil perjuangan murni yang menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam sejati yang bersumber dari tasyri’ yang murni dan mengajak kepada  gerakan pembersihan total terhadap segala bentuk kemusyrikan, bid’ah, penyimpangan, serta kesesatan yang dapat menodai kesucian iman, merusak agama, dan menjauhkan kesetiaan  kaum muslimin terhadap nilai-nilai ajarannya, baik dari segi keyakinan maupun perilaku” (Al-Aqli, hal. 4).

Menurut Stoddard gerakan Wahabi atau Wahabiyah merupakan fenomena kebangkitan Islam awal abad ke-20 yang dinisbahkan pada gerakan pembaruan yang bercorak revivalisme Islam di Saudi Arabia, yakni pembaruan Islam dalam corak yang lebih kaku untuk membangkitkan kesadaran umat Islam dari dalam, yang melahirkan kebangkitan dunia Islam.

Wahabiyah memiliki watak dan orientasi keagaman yang puritan-konservatif dan cenderung keras dalam memberantas apa yang disebut dengan praktik keagamaan  syirk dan bid’ah. Revivalisme Islam (al-Sahwa al-Islamyyah / al-Baats al-Islamiyyah) merupakan gerakan kebangkitan kembali Islam. Pada umumnya istilah ”kebangkitan Islam” dipergunakan untuk semua gerakan yang bertujuan memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.

Dalam pemikiran Ibn Taimiyah gerakan seperti ini dinamakan ”muhyi atsari Salaf”, yakni membangkitkan kembali ajaran-ajaran Islam generasi awal. Gerakan ini ingin mengembalikan umat Islam pada ajaran yang bersumber pada Al-Quran dan Sunah Rasul yang murni, menentang praktik-praktik kemusyrikan dan bid’ah, dan mempraktikkan ijtihad, sehingga disebut pula sebagai Gerakan Salaf (Stoddard, 1966).

Secara normatif atau di atas kertas gerakan pemurnian Islam atau pemurniah aqidah  sesungguhnya tidak ada masalah, lebih-lebih dengan semangat untuk kembali pada ajaran murni Al-Quran dan As-Sunah, al-Ruju’ ila al-Quran wa al-Sunah. Demikian pula tidak ada yang salah dengan dakwah Salafiyah yang didukung kekuatan politik seperti aliansi Wahhab-Sa’ud pada masa pergerakan Islam di Semenjung Arab abad XII Hijriyah itu. 

Masalahnya tinggal bagaimana penafsiran tentang paham dan praktik Aqidah Islam yang murni atau Aqidah Salaf itu dikonstruksikan oleh setiap orang atau gerakan, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan di setiap kurun waktu dan tempat, inilah yang biasanya menimbulkan keragaman dalam menampilkan gerakan pemurnian Islam.

Keyakinan, paham, dan praktik Islam murni atau lebih khusus lagi aqidah yang murni sering berbeda satu sama lain di antara orang Islam atau golongan Islam di sepanjang tempat dan zaman. Sehingga persoalan ini menyisakan agenda berikutnya, apakah konstruksi Islam murni atau aqidah murni dari sesorang atau sekelompok orang itu representatif dengan keyakinan seluruh umat Islam dan autentisitas ajaran Islam itu sendiri?

Islam murni ketika masuk dalam pandangan orang atau kelompok orang Islam yang mengkonstruksikan atau menafsirkannya tentu tidak identik dengan Islam itu sendiri, selalu ada reduksi, bias, dan penafsiran yang tidak sama dan sebangun.

Persoalan berikutnya tentang tema pemurnian ajaran Islam. Apakah pemurnian merupakan esensi satu-satunya dari dimensi keyakinan, pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam? Termasuk ketika pemurnian diidentikkan dengan tajdid fi al-Islam sebagaimana pandangan umum yang mewarnai gerakan-gerakan untuk “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunah”.

Tarjih Muhammadiyah sejak tahun 2000 misalnya, mengoreksi penyempitan makna tajdid atau gerakan untuk kembali kepada ajaran Islam yang autentik itu dengan menambahkan dimensi “dinamisasi” atau pembaruan dalam arti luas, sehingga tajdid bermakna pemurnian plus pengembangan atau pengembangan plus pemurnian sebagai satu kesatuan gerakan tajdid.

Lebih dari itu, tentu Islam sebagai ajaran melampaui segala penyempitan dan reduksi tafsir, sehingga dimensi Islam pun dipahami bukan sekadar aspek aqidah tetapi juga ibadah, akhlaq, dan mu’amalat-dunyawiyah; yang semuanya ialah Islam. Islam dalam pandangan Tarjih Muhammadiyah bahkan bukan sekadar mengandung perintah-perintah (al-awamir) dan larangan-larangan (al-nawahi), tetapi juga petunjuk-petunjuk (al-irsyadat) bagi kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat; yang menunjukkan keluasan kandungan Islam yang sama sekali tidak cukup memadai manakala hanya dikonstruksi dengan satu aspek, satu esensi, dan satu model tafsir.

Selain itu, sikap dan tindakan-tindakan keras yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Sa’ud atau penerusnya Azis bin Muhammad bin Sa’ud seperti melakukan penghancuran terhadap kuburan-kuburan yang dikeramatkan, juga kekerasan yang menimbulkan terbunuhnya sesama muslim, jelas tidak dapat dipindah dan diterapkan dalam masyarakat yang berbeda dan ditiru oleh gerakan-gerakan Islam lain.

Masalah ini penting agar tidak terjadi pembenaran atas segala tindakan kekerasan atasnama Wahhabi apalagi atasnama Islam yang mengedepankan perdamaian dan cara-cara dakwah bil-hikmah. Jika hal itu terjadi maka berarti terdapat absolutisasi paham dan pengamalan ajaran Islam yang tidak memahami situasi dan konteks zaman, maupun substansi dan pesan Islam yang lebih luas.

Akhirnya, sebagai catatan perlu dikemukakan bawa Wahabiyah maupun gerakan Islam lainnya lahir dalam argumentasi teks dan konteksnya sendiri, yang belum tentu sama dan sebangun dengan pandangan Islam secara keseluruhan, sekaligus tidak sama pula dengan  wilayah sosiologis praktik pengamalan Islam belahan dunia Muslim yang lain.

Tidak ada tafsir dan gerakan Islam yang sepenuhnya ideal, selalu terkena hukum relativitas. Kelompok moderat sekalipun, termasuk yang akomodasi terhadap budaya lokal, jangan mengklaim diri sebagai wujud kesempurnaan Islam, lebih-lebih ketika mengawetkan bentuk-bentuk tradisionalisme yang berlawanan dengan prinsip utama tauhid dan menyandera spirit kemajuan Islam.

Tidak ada aktualisasi Islam yang sempurna di muka bumi ini, yang paling penting berusaha untuk menampilkan kedalaman dan keluasan ajaran Islam di sepanjang zaman. Kesempurnaan dan keluasan ajaran Islam meniscayakan perwujudan yang konsisten disertai perangkat-perangkat spiritual, intelektual, institusional, dan infrastuktur yang sepadan sehingga Islam tampil sebagai din al-hadharah (agama peradaban, agama kemajuan).

Mungkin Wahabiyah di Saudi Arabia ketika berdiri memang berhadapan dengan realitas sosiologis paganisme yang angkuh dan meluas, sehingga manakala tidak disikapi dengan sikap puritan akan melahirkan praktik-praktik syirk, bid’ah, dan khurafat yang masif dan pada akhirnya mematikan spirit utama tauhid.

Namun sudah barang tentu Wahabiyah juga tidak harus direproduksi dalam konteks zaman dan tempat yang keadaannya jauh berbeda, lebih-lebih ketika Islam dan umat Islam di berbagai belahan dunia saat ini memiliki agenda dan tantangan strategis yang jauh lebih kompleks ketimbang di masa lampau.  Diperlukan pemahaman Islam yang lebih mendalam dan luas, sekaligus mendakwahkannya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sebagai agama pembawa misi rahmatan lil-‘alamin.

Penting untuk dicatat bahwa setiap gerakan Islam dalam bentuk perwujudan yang beragam memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri, baik yang berdimensi peneguhan atau pemurnian maupun pembaruan.  Karenanya jangan sampai melakukan absolutisasi paham dan gerakan Islam,  lebih-lebih untuk suatu paham dan gerakan yang bersifat bias atau reduksi Islam.

Selain itu diperlukan kritik dan penyempurnaan yang terus-menerus sesuai dengan kedalaman dan keluasan dimenasi ajaran Islam serta kompleksitas sosio-histroris yang dihadapi umat Islam di tengah-tengah kehidupan yang penuh tantangan.

Setiap reduksi, penyederhanaan, taklid, tafsir, dan pelanggengan status-quo pandangan keislaman yang tidak sejalan dengan misi utama, kedalaman esensial,  dan keluasan ajaran Islam maka pada akhirnya hanya akan melahirkan jalan sempit bagi perjalanan Islam dan peradaban umat Islam, yang justru dapat melahirkan kondisi Islam sebagai “al-Ghuraba” sebagaimana prediksi Nabi tentang nasib Islam dan umat Islam yang terasing di masa depan.  Wallahu ‘alam bi-shawwab.

Selesai.

PH/IslamIndonesia/Sumber: Suara Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *