Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 09 July 2019

Kolom Haedar Nashir: Anatomi Gerakan Wahabiyah (2)


islamindonesia.id – Kolom Haedar Nashir: Anatomi Gerakan Wahabiyah (2)

Sambungan dari Bagian 1.

Anatomi Gerakan Wahabiyah (2)

Oleh Haedar Nashir | Ketua Umum PP Muhammadiyah

Gerakan Pemurnian (1)

Gerakan Wahabiyah atau predikat apapun  yang dinisbahkan pada gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab ini, sebenarnya gerakan ini pada dasarnya merupakan “gerakan pemurnian Islam” (al-Harakah al-Tandhifiyah al-Islamiyyah), hanya sebagai satu sisi atau bagian dari Islam secara keseluruhan.

Jargon gerakannya sebagaimana tema gerakan-gerakan pemurnian Islam ialah “at-Tandhif al-Aqidah al-Islamiyyah”, pemurnian akidah Islam. Pemurnian Islam atau pemurnian aqidah yang diusung, merujuk pada aqidah “al-Salaf al-Shalih” sebagaimana dipelopori oleh mazhab Hanbali dan Ibn Taimiyyah yang menjadi kiblat pemikiran keagamaan Muhammad bin Abdil Wahhab serta gerakan-gerakan pemurnian Islam lain di banyak belahan dunia Islam kala itu dan sesudahnya. Aqidah Salaf tentu saja merujuk pada aqidah yang diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW, generasi Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut at-Tabi’in; yakni era Nabi dan tiga generasi sesudahnya.

Muhammad bin Abdil Wahhab sebenarnya merupakan pelanjut dari pemikiran Ibn Taimiyah dalam hal pemurnian aqidah (tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah), sekaligus penganut mazhab Hanbali yang ketat. Tapi di tangan Wahhab, gerakan pemurnian itu dibumikan secara lebih konkret dan masif dalam wujud pemberantasan “paganisme” atau praktik keagamaan yang cenderung syirk, bid’ah, tahayul, dan khurafat (TBC).

Wahhab merupakan pelaksana gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Taimiyyah dalam corak yang lebih konkret, kaku,  dan keras. Sosok ini bukan pemikir seperti Ibn Taimiyah, tetapi lebih merupakan pengamal atau mempraktikkan pemurnian Islam di dunia nyata. Paganisme merupakan praktik keagamaan atau ritual religi yang melakukan sesembahan terhadap hal-hal yang bersifat benda tetapi dimaknai secara mistis atau mitologis, yang dalam terminologi umat Islam disebut praktik kemusyrikan, bid’ah,  tahayul, dan khurafat.

Bukan hanya soal praktik pemujaan terhadap kuburan yang disikapi Wahhab, bahkan kegiatan melukis atau membuat gambar manusia dipandang sebagai bertentangan dengan aqidah Islam. Bagi Wahhab, jika manusia berkreasi atau membuat gambar, berarti ia menyerupai Allah, dan kreasi atau ciptaannya menyerupai ciptaan Allah, tindakan ini merupakan pengelabuan atau pemalsuan, sekaligus merupakan bentuk pemberhalaan yang masuk dalam kategori syrik dan kufur (Adonis, 2009). Pandangan ini banyak dianut oleh gerakan-gerakan pemurnian Islam pasca Wahhab di berbagai belahan dunia muslim.

Gerakan Wahabi juga secara tegas dan keras menolak sinkretisme kaum sufis dan tradisional yang membawa pada praktik agama yang bersifat syirk atau politeistik, seraya menggelorakan gerakan menegakkan tauhid atau monoteisme yang membawa semangat transendensi Tuhan. Demikian kerasnya hingga gerakan Abd al-Wahhab memasukkan golongan muslim yang terlibat keyakinan dan praktik keagamaan yang menempuh jalan sufi yang menjurus ke syirk sebagai kafir dan boleh dibunuh karena meninggalkan ajaran Islam. 

Gerakan ini sangat tipikal dan pengaruhnya meluas ke hampir seluruh dunia Islam pada abad ke-18 itu, termasuk ke Indonesia. Banyak guru yang pergi naik haji dan menuntut ilmu ke Arab Saudi kala itu setelah kembali ke Tanah Airnya membawa semangat Islam Wahhabisme (Obert, 1997).

Gerakan  Wahhab menjadi kekuatan yang militan secara politik setelah dirinya bergabung dengan pemimpin lokal Saudi yang bernama Muhammad Ibn Saud dari Dar’iyah, yang kemudian melahirkan kekuasaan baru di Semenanjung Arab Saudi. Kerjasama Wahhab dan Suud memadukan militansi agama dan kekuatan militer yang meluas di jazirah Arab dan akhirnya membentuk  dan menjadi peletak dasar bagi pemerintahan baru Kerajaan Islam Saudi Arabia yang bercorak Wahabiyah.

Sejak itu gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Wahhab memperoleh dukungan politik yang kuat dan luas dari Muhammad ibn Sau’d dan penerusnya Aiz ibn Sa’ud. Gerakan ini bukan hanya menegakkan tauhid murni sebagaimana diyakini dan dipahaminya, sekaligus melakukan pemberantasan terhadap praktik syirk dan bid’ah, bahkan disertai gerakan penghancuran terhadap tempat-tempat yang dikeramatkan oleh sebagian umat Islam kala itu.

Dengan gerakan menegakkan tauhid yang murni sebagai prinsip akidah monoteisme absolut yang menjadi doktrin utamanya, Wahabiyah melakukan penghancuran atas kuburan-kuburan dan benda-benda yang keramat yang ”diberhalakan” sebagai ikhtiar untuk mencegah umat Islam terjerumus ke jalan kemusyrikan dengan radikal ke semua jazirah yang menjadi area pengaruhnya.

Bukan hanya di Makkah dan Madinah yang menjadi pusat kekuasaan Islam kala itu, Wahabiyah melakukan gerakan penghancuran benda-benda dan kuburan-kuburan yang dikeramatkan, bahkan hingga ke wilayah Irak di Karbala, sehingga menimbulkan konflik dengan kalangan Syi’ah (Esposito, 2003). Karena karakternya yang keras inilah, Wahhabi dikenal sebagai gerakan Islam yang lebih radikal dan tidak kenal kompromi terhadap ajaran-ajaran yang dipandang tidak Islami  (Jainuri, 2002).

Gerakan penghancuran tempat-tempat keramat seperti kuburan, dilakukan oleh Wahhab setelah terbentuk kekuasaan bersama Muhammad bin Sa’ud, terutama setelah berganti ke Aziz bin Muhammad Sa’ud. Aziz ibn Sa’ud pada tahun 1802 menyerang kota Karbala di Iraq, tempat kuburan Hussein bin Ali, dan menurut catatan sejarawan Tamim Ansari membunuh sekitar duaribu penduduk Syi’ah setempat.

Pada tahun 1804, pasukan Aziz Sa’ud menaklukan Madinah dan juga menghancurkan kuburan para Sahabat Nabi Muhammad. Tahun 1811 aliansi Aziz-Wahabi memperluas kekuasaan hingga ke Turki dan Asia kecil. Namun gerakannya terhenti dan dipukul mundur oleh pasukan Turki Usmani. Di bawah pasukan Muhammad Ali, kemudian Aiz bin Sa’ud ditangkap dan dibawa ke Istanbul, yang kemudian dibunuh di ibukota kekuasaan Turki ini.

Sebagaimana ayahnya Muhammad bin Sa’ud yang juga dibunuh tahun 1792, Azis Sa’ud terbunuh pula, yang menandai berakhirnya generasi awal peletak dasar Kerajaan Arab Saudi secara tragis, tetapi dinasti dan kekuasaan Saudiyah berlangsung hingga saat ini, yang juga bercorak paham Wahabi. Aliansi Wahabiyah-Saudiyah tetap berlangsung setelah Wahhab, Sa’ud, dan Aziz Sa’ud meninggal hingga berlangsung monarki atau dinasti Kerajaan Saudi Arabia sampai saat ini (Anshary, 2006).

Bersambung ke Bagian 3.

PH/IslamIndonesia/Sumber: Suara Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *