Satu Islam Untuk Semua

Friday, 09 November 2018

Kisah Pernikahan Ali dan Fatimah (Bagian 1)


islamindonesia.id – Kisah Pernikahan Ali dan Fatimah (Bagian 1)

 

Fatimah Az-Zahra melebihi wanita-wanita di masanya  dalam hal kemuliaan dan keturunan, karena dia anak dari Muhammad Rasulullah SAW dan Khadijah, pewaris keutamaan, ilmu, dan perangai yang baik. Fisik dan akhlaknya sangat elok, sangat sempurna menurut ukuran manusia. Kedudukannya tinggi dan bintangnya bersinar. Di samping keistimewaan-keistimewaan pribadinya, dia juga putri dari Muhammad SAW, penentang kekufuran dan kemusyrikan, yang kokoh kekuasaannya dan nyata kekuatannya.

Belum lagi Fatimah mencapai kedewasaan seperti wanita-wanita yang lain, dia telah dilamar oleh pembesar-pembesar Quraisy yang memiliki kehormatan, yang terdahulu masuk Islam, yang memiliki kemuliaan dan harta. Setiap kali seorang pria Quraisy menyebut tentang Fatimah kepada Rasulullah, beliau memalingkan wajahnya dari orang itu, sampai-sampai seorang di antara mereka menyangka bahwa Rasulullah benci kepadanya.

Buraidah mengatakan, “Abubakar melamar Fatimah. Rasulullah berkata kepadanya, ‘Dia masih kecil, dan aku menunggu ketentuan dari Allah tentang dia.’ Abubakar kemudian bertemu dengan Umar dan menceritakan hal itu kepadanya. Umar lalu melamar Fatimah, namun, Rasulullah juga menolaknya.” Diriwayatkan bahwa Abdurrahman juga melamar Fatimah dan Rasulullah pun tidak menerimanya.

 

Usulan

Suatu hari, Abubakar dan Umar sedang duduk-duduk di masjid Rasulullah. Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari juga ada bersama mereka. Mereka membicarakan Fatimah binti Rasulullah SAW. Abubakar berkata, “Orang-orang terkemuka telah melamarnya kepada Rasulullah, tapi beliau mengatakan, ‘Urusannya aku serahkan kepada Tuhannya. Jika Dia menghendaki, Dia akan menikahkannya.’ Sementara, Ali belum pernah melamarnya dan belum pernah menyebut tentang Fatimah kepada Rasulullah. Aku pikir, tidak ada yang mencegahnya melakukan itu melainkan kemiskinannya. Hatiku merasa yakih bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAW hanya menahan Fatimah untuk Ali. Jika yang mencegah Ali untuk melamarnya adalah kemiskinannya, kita akan bantu dan tolong dia.” Sa’ad bin Mu’adz berkata kepada Abubakar, “Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepadamu.”

Salman Al-Farisi meriwayatkan, “Keluarlah mereka dari masjid untuk mencari Ali. Namun mereka tidak menemuinya. Saat itu, Ali sedang mengairi kebun kurma milik seorang Anshar dengan upah menggunakan unta miliknya. Mereka pun pergi ke tempatnya.

Angin sepoi-sepoi nan lembut mempermainkan pelepah kering kurma dan membuatnya menari dengan tenang. Tampak dari jauh, di sebuah kebun milik seorang Anshar, seorang buruh tengah bekerja. Dari dekat, jelaslah siapa orang itu. Ali dengan susah-payah, dengan menggunakan untanya, mengangkut air untuk menyirami pepohonan kurma yang tinggi. Wajahnya dibasahi keringat yang mengucur deras.

Pemuda 25 tahun itu duduk untuk mengambil nafas baru dan merasakan udara segar. Dia bersandar di pohon kurma yang tinggi dan ayat-ayat al-Quran berthawaf mengelilinginya.

“Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan.” (al-Qashash: 24)

Ketika sedang beristirahat itu, dia memperhatikan dari kejauhan dua orang berjalan cepat ke arahnya. Segera dia mengenali keduanya.

Mereka adalah Umar yang dia kenal dari cara berjalannya yang khas dan Abu Bakar yang seringkali menemani Umar. Di antara keduanya memang telah terjalin keakraban yang kental.

Abu ‘Aisyah berkata, “Wahai Ali! Tidak satu pun dari perkara yang baik, kecuali engkau yang paling cepat melakukannnya. Hubunganmu dengan Rasul dari sisi kekeluargaan, kedekatan, serta masa lalu bukanlah rahasia bagi semua orang. Dengan hal-hal tersebut, mengapa engkau tidak mendatangi Rasul untuk meminang Fatimah?”

Umar tanpa pembukaan dan basa-basi meneruskan pembicaraan, “Para pembesar Quraisy menginginkan Fatimah sebagai isteri, namun Rasul menampiknya. Aku berpikir, beliau melakukan hal tersebut disebabkan dirimu.”

“Wahai Ali! Mengapa engkau menjauhi perkara ini?” tanya Abu Bakar.

Ali berbisik dengan mata berkaca, “Demi Allah! Sesungguhnya Fatimah layak untuk diinginkan,” jawab Ali, “namun, kemiskinanlah yang telah menghalangiku untuk memintanya. Aku tidak memiliki harta duniawi yang kusimpan kecuali satu pedang, baju besi, dan unta ini.”

Dengan sedih Abu Bakar berkata, “Dunia di sisi Rasul seperti debu dan tanah yang bertebaran di udara.”

“Wahai Ali! Pinanglah dan tambahlah sebuah keutamaan atas keutamaan-keutamaan yang ada pada dirimu,” tambah Umar.

Ali terdiam dan di matanya tampak harapan-harapan yang menawan. Lalu, Ali melangkah menuju sungai tidak jauh dari tempatnya untuk berwudhu. Sejuknya air membawa ketenangan dan keheningan menjalar di dalam jiwanya.

Kedua syaikh itu tahu kalau Ali tengah menguatkan tekadnya. Keduanya meninggalkan Ali seorang diri dan bergegas pulang.

Bersambung ke: Kisah Pernikahan Ali dan Fatimah (Bagian 2)

 

PH/IslamIndonesia/Sumber Buku: Ibrahim Amini, Fatimah: Wanita Teladan Sepanjang Masa, dan Kamal al-Sayyid, Kisah Kehidupan Fatimah Az-Zahra: Surga Merah/Sumber Photo: UmJawad, Deviant Art

One response to “Kisah Pernikahan Ali dan Fatimah (Bagian 1)”

  1. aswaja Blitar says:

    Alhamdulillah, saya juga bertawasul kepada Bunda Fatimah dan Bunda Aisyah, doa terkabul.

    “Wahai Bunda Aisyah yang mulia yang ada di surga, engkau lah wanita mulia di sisi Allah, karena engkau istri Rasulullah Muhammad SAW, Wahai Bunda Aisyah yang bertempat mulia di sana, berdoalah kepada Allah untuk menguatkan Aswaja NU agar NU semakin kuat terdepan untuk melawan Wahabi. Kami kaum Aswaja mencintai dan menghormati mu Bunda Aisyah, bantu kami Wahai Bunda Aisyah, jangan biarkan Wahabi berkembang di Indonesia, Dengan engkau berdoa kepada Allah pasti Allah mengabulkan karena engkau wanita mulia di surga, Wahai Bunda Aisyah yang baik hati, tolong kami bantu kami, Maka Allah juga membantu kami, Bunda Aisyah engkau adalah wanita baik, semoga Allah menolong kami melalui engkau Wahai Bunda Aisyah yang mulia, aamiin,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *