Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 17 May 2016

Kisah Bocah Suriah Merawat Asa dan Mimpi


IslamIndonesia.id–Terhitung enam tahun kecamuk “perang” Suriah telah berlangsung, perimbangan dan peta kekuatan para pihak yang selama ini terlibat di arena “pertempuran” pun terus-menerus berubah. Hal ini seiring pelik perdebatan politik di kancah diplomatik internasional—yang tak bisa tidak, hingga kini tetap menjadi topik terhangat pemberitaan media di seluruh dunia.

Namun tampaknya masih saja ada yang terlewat dari mata-telinga media. Bahwa di tengah bising ledakan bom di ladang tempur, di antara gencar serangan udara yang seringkali membabibuta, toh di sana tetap ada kehidupan warga sipil tak berdosa dengan aneka rupa kebutuhan, keinginan, tujuan, sasaran dan mimpi indah mereka sendiri.

Terlebih bila kita coba selami potret kehidupan bocah-bocah Suriah, yang seolah tak mengenal bencana ekonomi dan kemanusiaan tengah berlangsung di seantero wilayah negara mereka. Dan karenanya, hingga kini mereka tetap tegar merawat mimpinya, bahkan tak sekali pun pernah mempertimbangkan menyerah untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu dengan kepasrahan tulus yang dilandasi kuatnya iman.

Jika saat ini faktanya, untuk sementara waktu mereka “rela” terusir dari tanah kelahirannya dan dipaksa hidup menjadi pengungsi di negara lain, namun mereka tampaknya takkan membiarkan kecamuk perang itu dapat merampok mimpi-mimpi indah mereka, meski hingga kini belum terwujud.

Lalu apa saja mimpi-mimpi bocah Suriah di tengah tragedi kemanusiaan yang seakan tak kunjung usai itu?

Bocah SuriahMimpi Zena Eid, bocah dua belas tahun, selain bisa segera kembali ke lingkungan lamanya dan bermain riang di jalanan seperti dulu lagi, adalah menjadi guru terbaik.

“Saya ingin sekali menjadi guru, karena guru saya yakin bisa melakukan banyak hal. Saya berharap bahwa mimpi saya akan terwujud,” tutur Zena.

Sementara Reefah Jabril, yang seusia Zena, meski mengaku lebih tertarik pada lukisan, senam, kerajinan dan dunia akting, justru bermimpi kelak dirinya bisa menjadi insinyur.

“Saya ingin menjadi insinyur konstruksi di bidang desain interior dan interior,” kata Reefah.

Bocah perempuan lainnya, Aya Abbas, yang saat ini sedang duduk di bangku kelas 4, seperti halnya Zena, semula juga ingin menjadi guru. Tapi perang, agaknya telah memaksanya mengubah mimpinya.

“Sebelumnya, saya ingin menjadi guru taman kanak-kanak. Tapi sekarang, ketika saya tumbuh besar di pengungsian akibat perang, saya ingin menjadi dokter agar bisa merawat semua korban yang cacat dan terluka,” ungkapnya.

Sedikit berbeda dengan tiga bocah perempuan itu, pebasket bocah bernama Zain malah ingin menjadi aktor. Zain mengaku berhenti aktif bermain sejak perang dimulai. Hal ini gara-gara ibunya tak pernah rela membiarkannya keluar rumah, karena takut bahwa anaknya mungkin akan diculik.

“Mimpi saya adalah menjadi seorang aktor,” kata Zain, yang mungkin mengira, dengan menjadi aktor terkenal maka dirinya bakal terbebas dari incaran penculikan.

Itulah mimpi-mimpi masa kanak-kanak, yang meski oleh sebagian orang mungkin dianggap naif, tapi telah membuktikan kekuatan mimpi dan harapan, yang bahkan perang pun tak mampu merenggutnya dari bocah-bocah Suriah yang malang itu.

Namun tentu saja tak semua bocah Suriah punya mimpi sesederhana itu. Beberapa dari mereka bahkan terkesan lebih bersikap dewasa terkait apa yang mereka ingin dan impikan di masa depannya. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga menyangkut masa depan negaranya.

Sebut saja Saramdi Safia. Siapa sangka kalau bocah 14 tahun ini ternyata tengah merawat mimpinya untuk menjadi tokoh terkenal di dunia sekaligus dengan kemandiriannya secara finansial?! Mungkin itulah yang membuatnya tampak paling optimis di antara bocah-bocah sebayanya.

“Mimpi saya adalah bahwa Suriah tidak pernah berhenti untuk bermimpi, karena mimpi adalah fondasi dari kehidupan. Saya berharap bahwa Suriah pada saatnya nanti akan menjadi tolok ukur untuk semua bangsa,” tekan Saramdi berapi-api.

Lain Saramdi, lain pula mimpi Shalat Ali. Dialah yang sejak lama bertekad bahwa kelak dirinya bakal mampu menjadi perwira atau petinggi militer. Sebab dia ingin sekali dapat membalas kematian ayahnya yang gugur dalam pertempuran melawan militan bersenjata penentang pemerintah.

“Sebelumnya aku, ayahku, dan teman-temanku selalu aman kapan saja mau pergi ke taman untuk bersenang-senang. Tapi sekarang, negeri kami telah berubah menjadi medan pertempuran. Sedangkan ayahku, telah pergi untuk selama-lamanya,” keluh Ali dengan gumam lirih seolah tenggorokannya tercekat.

Tak jauh beda dengan teman-teman sebayanya, Ali mengaku bahwa dunia indah kanak-kanaknya tiba-tiba terenggut setelah DAESH dan kelompoknya dengan kejam mulai mencaploki beberapa tanah dan menguasai beberapa wilayah di negaranya.

Itulah yang membuat tekad Ali kian membaja untuk menjadi perwira militer, agar dirinya mampu mengusir para perusuh dan penentang Presiden Assad yang hingga kini tetap dibela warga Suriah yang cinta Tanah Airnya, seperti halnya ayah Ali yang telah lebih dulu gugur membela negaranya.[]

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *