Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 12 February 2017

KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (Bagian – 3)


Islamindonesia.id — KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur* (Bagian – 3)

 

Ekses-ekses

Penuhanan manusia meniscayakan kekuasaan dan kekayaan serta kehancuran manusia itu sendiri. Yang berlaku adalah hukum: lebih besar kekuasaan dan kekayaan, lebih layak manusia untuk hidup (baca: teori evolusi). Humanisme, rasisme, kapitalisme, dan kolonialisme berjalin-berkelindan membentuk sejarah modern yang sarat tragedi dan ironi.24

-Baca juga:

KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (Bagian – 1) 

+ KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (Bagian -2)

Jean-Paul Sartre dalam kata pengantarnya untuk buku franz Fanon, The Wretched of the Earth, menjelaskan: “Tidak ada yang lebih konsisten dibanding humanisme rasis, sebab orang Eropa hanya mampu menjadi seseorang dengan jalan menciptakan budak-budak dan monster-monster.”25 Humanisme Renaisans memantik impuls orang Eropa untuk menggelar perbudakkan dan mengobarkan kekerasan di jagat raya.

Jules Harmand, “pejuang” Perancis abad ke-19, dengan jelas mempertautkan asumsi keunggulan ras (rasisme) dan kehendak menguasai dunia lain (kolonialisme).

“Maka, adalah penting untuk menerima, sebagai suatu prinsip dan titik tolak, kenyataan bahwa ada suatu hierarki ras dan peradaban, dan bahwa kita termasuk ras dan peradaban yang unggul …legitimasi-dasar penaklukan atas rakyat pribumi merupakan kepastian dari keunggulan kita … martabat kita terletak pada kualitas itu, dan melandasi hak kita untuk memerintah golongan umat manusia lainnya. Kekuatan material itu tidak lain dari sarana untuk mencapai tujuan tersebut.”26

Keunggulan moral, rasial, dan intelektual manusia Renaisans, secara ironis melahirkan kolonialisme dan imperialisme. Seperti dikatakan oleh Harmand, untuk merealisasikan dan menjustifikasi keunggulan tersebut, maka kekuatan material adalah syarat yang mutlak. Tidaklah aneh apabila kemudian kapitalisme Adam Smith bisa secara cepat menduduki mainstream masa itu.

Kapitalisme berpusat pada kompetisi bebas dalam sistem produksi dan distribusi kekayaan, menggantikan “pengekangan” Abad Pertengahan. Kapitalisme dalam pengertian ini, menurut Arnold Toynbee, ialah soko-guru dari revolusi industrial, Perkembangan “ilmu ekonomi”, mengikuti Arnold Toynbee, lebih banyak berperan membenarkan upaya perluasan imperialisme.28

Di Inggris, tanah kelahiran imperialisme, ilmu ekonomi berkembang melintasi tiga fase. Pertama ialah fase Adam Smith dengan An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations (1776). Dalam karya ini, Smith menyelidiki sumber-sumber kekayaan dan berupaya mengganti “pembatasan lapangan produksi” dengan kebebasan industrial. “Tujuan besar dari sistem ekonomi-politik setiap negara adalah menambah kekayaan dan kekuasaan, “ ungkap Smith. Karya Adam Smith lantas menandai malam pertama revolusi industrial.

Fase kedua ditandai oleh terbitnya Essay on the Principle of Population. (1798) oleh Thomas Malthus. Tulisan ini merupakan respons Malthus atas revolusi yang sedang melaju dengan tempo yang amat tinggi tersebut. Di saat Smith memusatkan perhatiannya pada produksi, Malthus mengarahkan penelitiannya pada populasi. Menurutnya, populasi cenderung berkembang lebih cepat daripada persediaan makanan. Maka itu, perang dan penyakit yang akan menyeleksi kelebihan populasi ini. Gagasan Malthus ini mengilhami Charles Darwin melahirkan teori evolusi yang bersandar pada asumsi konflik dan perjuangan untuk hidup.

Tahap ketiga ditengarai oleh terbitnya karya John Stuart Mill yang berjudul sama dengan buku David Ricardo (1817), Principles of Political Economy (1848). Sebagai ekonomi-politik yang berpengaruh, Mill mengungkapkan betapa kapitalsime (dengan dua pilarnya: kompetisi dan kebebasan industrial) membenarkan Inggris untuk melakukan penjajahan di India Barat. Tulisnya: “Koloni-koloni India Barat kita, misalnya, tidak dapat dianggap sebagai negeri-negeri dengan modal (Inggris: capital) produktif mereka sendiri …. (melainkan lebih tepat sebagai tempat di mana Inggris merasa cocok untuk menjalankan produksi gula, kopi, dan beberapa komoditi tropis lainnya.”29

Sejak diterbitkannya buku Charles Darwin, The Origin of Species (1859),30 gagasan kompetisi bernaung di bawah hukum struggle for life. Darwinisme dan “Smithisme” adalah satu dari sekian banyak parasitisme pemikiran yang sering kita jumpai dalam sejarah Barat. Maka itu, tak heran bila Darwinisme kemudian ditetapkan sebagai hukum yang absolut. Dan usaha untuk mengandalkan kompetisi dan mengurangi dampak eksesifnya dipahami sebagai menentang “kodrat alam.”

Apa yang saya katakan ini tampak-nyata dari berbagai pendapat mengenai kemutlakan “mekanisme pasar”. Pasar adalah kata-kunci sistemik untuk membinasakan individu. Di pasar, individu tidak bisa memberontak. Barang-barang dipaksakan untuk diterima, dengan harga-harga yang sudah ditetapkan. Pemgerontakan hanyalah tindakan kerdil, sepele, abnormal, dan harus diabaikan.

Gejala inilah yang mengantarkan terjadinya pemassaan  (massifikasi) kebudayaan. Di dalamnya terselip asumsi akan adanya sebuah jaringan berjangkauan-luas yang menebar simbol, nilai, harga, dan piranti-piranti kebudayaan lainnya. Karena itu, istilah kebudayaan massa muncul secara paralel dengan fenomena pasar (market), pabrik, dan arus informasi yang merembes  ke semua pelosok.31

Setelah era David Ricardo, kompetisi sepenuhnya diyakini sebagai hukum universal. Dari “hukum universal” itu semua resep praktis diturunkan dan ekonomi pasar dikumandangkan. Revolusi industrial pun lalu mendapatkan pengukuhan alamiahnya. Keganasan pertarungan memperebutkan asset dan modal semata-mata dianggap sebagai growing pains kemajuan dalam koridor evolusionisme.

Kelahiran Massa dan Kematian Manusia

Di dalam rahim materialisme, humanisme, dan kapitalisme modern, terkandung kebudayaan massa. Ciri-ciri utama kebudayaan massa adalah sebagai berikut: (1) pelaku kebudayaan hanya menjadi obyek (terobjektivasi); (2) pelaku mengalami alienasi; dan (3) pembodohan.32

Objektivasi berarti bahwa manusia adalah makhluk pasif, tidak berpikir, dan selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk empiris (eksternal) untuk merumuskan konsep-konsep hidupnya. Manusia akan mengambil kesimpulan tentang dirinya dari perilaku yang tampak. Seperti pegawai yang merasa tak bersalah menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan atasannya. Secara kultural, objektivasi bermakna bahwa pelaku budaya hanya menjadi objek yang tidak berperan apa-apa dalam membentuk sistem budayanya sendiri. Kebudayaan tak ubahnya barang jadi yang dipasok dari luar. Berikut harga masing-masingnya.

Alienasi artinya pelaku kebudayaan merasa asing dari dan dalam lingkungannya. Lantaran kehilangan pakem, arus besar menyeretnya ke lautan hasrat yang tak bertepi. Alienasi mengandaikan ketiadaan kehendak (iradah atau will bukan hasrat [syahwah atau desire]), tujuan,  perspekstif, dan konteks menyeluruh dari kehidupan. Danah Zohar dan Ian Marshall secara elok memaparkan alienasi ini sebagai berikut:

“Kita kehilangan konteks umum dari kehidupan ini. Kita kehilangan gugus makna yang alamiah, di mana kita bisa secara sederhana menjadi bagian darinya …penalaran kita telah menyimpang jauh dari (keadaan) alam semesta (yang sebenarnya) dan sesama makhluk, selain juga terlalu bernafsu melampaui (batasan-batasan) agama … IQ kita telah melenyapkan perburuhan, menggelembungkan kekayaan, mengapungkan harapan hidup, dan membikin pernak-pernik yang tak terbilang banyak sebagiannya sampai mengancam hidup kita dan lingkungan sekitar kita. Namun, tetap saja kita belum bisa membuat semua ini berguna sementara (worthwhile) buat kita.33

Pembodohan terjadi karena waktu terbuang tanpa ada pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna. Dalam kata-kata Zohar dan Marshall:

Kebudayaan modern cenderung ‘dungu secara spiritual’ (spiritually dumb) … Istilah ‘dungu secara spiritual’ saya pakai untuk menjelaskan hilangnya kepekaan akan nilai-nilai fundamental. Yakni nilai-nilai yang melekat pada bumi dan perubahan musimnya. Pada pergantian hari dan perputaran jamnya. Pada perkakas hidup dan ritual kesehariannya. Pada tubuh dan perubahan organiknya. Pada aktivitas seksualnya. Pada buruh dan buah-buahan hasil tanamannya. Pada tahap-tahap kehidupan. Dan pada nilai-nilai yang menyatu-padu dengan kematian sebagai ending yang alami. Kita hanya bisa melihat, menggunakan dan menghayati ‘apa yang segera’ (the immediate), yang terlihat dan yang pragmatis. Kita buta pada tataran-tataran simbol dan makna yang lebih dalam, yang dapat menempatkan segenap objek kita, aktivitas kita dan diri kita ke dalam kerangka-kerja eksistensial yang lebih luas. Kita memang tidak buta-warna, tetapi hampir pasti kita buta-makna …34

Beberapa implikasi membersit dari paparan di atas. Pertama, terbentuknya kebudayaan massa akibat dari terpaan luar (outer exposure). Ada semacam meta-sistem yang bekerja menggerakkan dan mengarahkan para pelaku kebudayaan massa. Kedua, karena tercipta akibat terpaan dari luar, maka para pelaku kebudayaan itu mestilah mengalami ketaksadaran umum.

Ketiga, meta-sistem itu harus terus bekerja menyuntikkan serum baru ke dalam sistem kebudayaan massa agar alienasi terhadap diri dan lingkungan “tertentu” dapat dinetralkan dengan diri dan lingkungan “yang baru”. Pemberontakan terhadap alienasi justru memicu sistem kebudayaan massa untuk mengemas anggur lama dalam botol baru. Persis seperti yang dipertontonkan lewat parodi, remake, daur-ulang produk-produk lama.

Seolah menanggapai kesimpulan ketiga di atas, Sapardi Djoko Damono menuturkan, pertama, kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran dengan perhitungan dagang belaka. Kedua, kebudayaan massa cenderung merusak kebudayaan yang lebih edukatif dengan cara meminjam, mencuri memperalat dan menghisap potensi yang ada padanya.

Ketiga: kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak. Ingat sex, crime, and violence (seks, kriminalitas, dan kekerasan) sebagai tema sentral keudayaan massa. Dan keempatpenyebarluasannya tidak hanya telah menciutkan nilai kebudayaan itu sendiri, tapi juga menciptakan khalayak yang pasif tetapi sensitif terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan melalui iklan.35

Secara sosiologis, massa bermakna kerumunan orang dalam jumlah besar. Dulu, massa merujuk kepada mayoritas masyarakat Eropa yang tak terpelajar. Atau kalangan yang juga kerap disebut sebagai “kelas menengah ke bawah”, “kelas pekerja” (working class) atau “kaum awam”. Kesimpulannya, massa adalah mayoritas masyarakat yang “tak terpelajar.” Dan ini menetapkan konotasi negatif pada massa.

Gustav Le Bon, pencetus psikologi massa, menyebut massa sebagai kerumunan orang yang tidak bisa dipilah-pilah; lebur menjadi satu. Massa adalah kelompok atau gerombolan manusia yang tidak lagi mampu berpegang pada norma, nilai, etika, agama atau apa pun. Gejala irresponsibility ( ketidakmampuan memegang amanah) menguasai semangat khalayak. Kalau ada yang memulai tindak merusak, maka semua anggota massa akan mengikuti secara kompak dan akur. Kekaburan akan tanggung-jawab orang-seorang ini brangkali disebabkan oleh hilangya identitas mereka sebagai pribadi (person). Tercekik oleh sistem yang diuatnya sendiri, identitas pribadi itu mengering secara eksistensial.

Simbol, makna, dan ideology yang diserap, karena itu, tidak dapat mereka terjemahkan menjadi sikap. Massa hanya bekerja melahap “rangsangan-rangsangan” dari luar. Sebelum ada yang dicerna, santapan lain sudah disikat. Sedemikian rupa hingga santapan-santapan membludag tanpa bisa diubah menjadi sikap atau keyakinan yang dipertahankan.

Massa, kata Jean Baudrillard, bagaikan black hole (lubang hitam) yang senantiasa menyosor. Lambat alun, mereka menjadi “Gembrot” dan tergeletak kuyu, layaknya orang yang kekenyangan. Hubungan social, sebagai salah satu daya sosial, menjadi sirna. Luruh tanpa daya. Tiba-tiba terjadilah implosion yang meluluh-lantakkan pusat identitas.36 

Edward Shils, seorang peneliti kebudayaan, menilai massa sebagai masyarakat yang mempunyai sistem yang khas. Massa mengungkapkan sejenis keterikatan atau afinitas terhadap sesamanya.37 Seperti hawa nafsu itu sendiri, sistem kebudayaan massa mempunyai semacam daya pikat, daya jerat, dan daya cekik di satu sisi, dan daya dorong sisi lain. Hubungan ini mirip dengan cerita cahaya panas dan laron. Di saat cahaya panas memancar, laron akan beterbangan mengitarinya seraya menikmati kehangatannya. Namun, di dalam euforia kehangatan itu pula laron-laron ini gosong terbakar menemui ajalnya.

Beberapa kesimpulan perlu saya pertegas. Pertama, kebudayaan ialah gugusan pengalaman hasil proses belajar sepanjang hidup. Kedua, massa ialah kerumunan manusia yang sudah tidak lagi memegang nilai-nilai adiluhung. Nilai-nilai seperti mempertahankan kebenaran dan menolak kesalahan, tidak lagi digubrisnya. Ketiga, kebudayaan massa itu bersifat semu dan majazi, lantaran ia sendiri adalah sebuah antitesis terhadap kebudayaan sebagai buah pengalaman belajar manusia dari langkungannya.

Keempat, dengan cirri-ciri di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan ini bersumber dari hawa nafsu manusia akan pseudo-realities. Kelima, karenanya, wajar saja kalau kemudian kebudayaan massa bertema-utamakan seks, obat terlarang (drug), kekerasan (violence), kejahatan (crime), reproduksi (Ingat: cyberspace; hyper-reality; simulacrum), plesetan (parody/recycled culture) dan obsesi yang besar terhadap kenikmatan, keunggulan dan kecepatan, kenyamanan, euforia-gaya, mabuk-komunikasi, dan lain-lain.[]

Bersambung….

 

Catatan kaki:

* Karikatur adalah gambar, deskripsi, atau semacamnya yang melebih-lebihkan keganjilan dan kekurangan sesuatu.

24 Salah seorang pemikir yang gigih mengemukakan jalinan ontologis dan teleologis dari keempat tendensi modern ini ialah Edward W. Said. Entah dalam orientalism (Vintage Books, New York, 1979) maupun dalam Culture and Imperialism  (Alfred A. Knoff, New York, 1993), Said mencoba memaparkan secara berani dan imajinatif bagaimana keempat ekses tersebut merajuti kebudayaan (Barat) modern.

25 Pengantar Jean-Paul Sartre utuk Franz Fanon, The Wretched of the Earth, terjemahan Constance Farrington, New York, Grove, 1968, hlm. 26.

26 Dikutip dari Imperialism yang diedit oleh Philip D. Curtin, New York, Walker, 1971, hlm. 294-295. Pemberian italic dari saya.

27 Peter L. Berger, The Capitalist Revolution: Fifty propositions About Prosperity, Equality, and Liberty, Basic Books, 1986.

28 Arnold Toynbee, 1884 Lectures on The Industrial Revolution in England, sumber dari Internet.

29 John Stuart Mill, Principles of Political Economy, suntingan J.M. Robson, Jilid III, Toronto, University of Toronto Press, hlm. 693.

30 Judul lengkap karya Darwin tersebut ialah: On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for life (Ihwal asal-usul berbagai spesies secara seleksi alam, atau pemeliharaan ras-ras yang dihkehendaki dalam perjuangan hidup).

31 Jean-Chistophe Agnew, Worlds Apart: The Market and The Theatre in Anglo- American Thought, 1550-1750, New York, Cambridge University Press.

32 Kuntowijoyo, Budaya Elit dan Budaya Massa,  dalam Idi Subandy Ibrahim (editor), “Ecstasy” Gaya Hidup, Mizan, 1997.

33 Danah Zohar & Ian Marshall, Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London, 2000, hlm. 22.

34 Ibid. hlm. 22-23.

35 Peran utama iklan ialah mengubah keinginan (wants) menjadi kebutuhan (needs). Dengan memanipulasi kesadaran, selera, dan nilai, iklan diproyeksikan untuk meningkatkan penjualan dan konsumsi sebuah produk sebesar-besarnya. Lihat: World Executive’s Digest, edisi Mei 1990 dan Matra, No. 49, Agustus 1990.

36 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat,  1998, Mizan, hlm. 195.

37 Edward Shils, “Mass Society and Its Culture” dalam Rosenberg dan White (ed.), Mass Culture Revisited New York, Van Nostrand Reinhold Company.

 

 

 

YS/AJ/ islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *