Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 01 February 2017

KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (Bagian-2)


islamindonesia.id –KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur* (Bagian-2)

 

Francis Bacon (1561-1626) menandaskan, untuk mendapatkan segenap manfaat alam, nilai pragmatis dan teknis dari ilmu pengetahuan harus ditonjolkan. Sesuatu yang mulanya suci dan luhur ini pun lantas berbalik menjadi pendukung kekuasaan dan kejayaan kelompok tertentu.

[Baca sebelumnya: KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (Bagian-1)]

Bacon menyebut pandangan ini dengan instrumen baru, Novum Organum (1620). Dan instrumen baru inilah yang secara formal-logis melambari tendensi yang mewabah pada waktu itu. Seluruh perkembangan teknis (teknologis) yang terjadi kemudian mensyaratkan kehadiran sains dalam konteks ini. Dan ini semakin memisahkan manusia dari tradisi.13

Metode yang memang sejalan dengan zeitgeist ini, mendorong para ilmuwan untuk lebih bertumpu pada matematika dan pengukuran. Posisi sakral yang sebelumnya diduduki oleh kebijaksanaan, kini diberikan kepada matematika.14 Semua data dan pengalaman harus bisa dijabarkan dalam rumusan matematis yang rigorous.

“Ukurlah apa yang dapat diukur dan buatlah agar dapat diukur sesuatu yang tidak dapat diukur,” kata Galileo Galilei.

Galileo juga mengatakan bahwa buku alam ditulis dengan bahasa matematika. Metode matematika kuantitatif ini menggiring orang kepada Revolusi Industrial, manakala pertimbangan kuantitatif (banyak-sedikit, besar-kecil, untung-rugi) menggusur pertimbangan  kualitatif (benar-salah, baik-buruk, indah-jelek).

Bersamaan ditemukannya pelbagai terobosan teknis, posisi tak tergugat dari metode empiris semakin mantap. Namun demikian, karena alam pada dasarnya tidak kuantitatif, maka sejak masa itu pula manusia bergerak di jalan yang menyimpang dari tao alam. Dan, makin cepat perjalanan ditempuh, makin menyimpang pula manusia dari realitas alam yang sesunggguhnya.15

Pendekatan kuantitatif terhadap alam menafikan sisi kualitatif kehidupan, sehingga ajaran benar-salah dan baik-buruk digantikan mencekik semua orang yang tinggal dipusat-pusat perkotaan adalah akibat langsung dari pemahaman ini.  Akibat selanjutnya ialah semaraknya industrialisasi dan kolonialisasi di seantero dunia. Demikian René Guénon dalam The Reign of Quantity and the Signs of Times.16

[Baca juga: KAJIAN – Kematian: Ketiadaan atau Perpindahan?]

Akibat terlalu mengabaikan sisi kualitatif kehidupan, maka revolusi industrial sejak zaman Renaisans ¾ selalu saja terantuk persimpangan jalan: mendorong kemajuan teknis, tapi juga menelantarkan buruh; menemukan obat-obatan, tapi juga menebar penyakit; meningkatkan efisiensi, tapi juga merusak lingkungan; membuat peralatan praktis, tapi juga meningkatkan polusi dan limbah.

Berdasarkan pada pendekatan di atas, sains modern melahirkan fisika. Tokoh-tokoh “Revolusi keilmuan” seperti Galileo, Copernicus, Descartes, Kepler, Newton, dan lainnya memberikan asumsi filosofis bagi matematisasi alam (mathematization of nature) yang dilakukan  oleh Liebnitz, John Napier, Bernoulllis, Pierrre de Fermat, pascal, Joseph Lagrange, dan lain sebagainya.

Dengan semangat tersebut, fisika modern mengemukakan sebagai induk sains. Pada beberapa dekade terakhir, semua ilmu kemanusiaan berlomba-lomba dengan  fisika dalam menekankan sisi kuantitatif kehidupan.

Persis seperti yang disarankan oleh fisikawan Frank Oppenheimer: “Jika seseorang menemukan cara baru dalam berpikir, mengapa tidak menerapkannya di segala bidang? Tentunya menarik jika kita memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk berbuat demikian, siapa tahu itupun akan membawa kita kepda pandangan baru yang lebih dalam.”18

Margareth J. Wheatley, pakar bidang manajemen dan organisasi, mengungkapkan dampak pandangan kuantitatif ini pada bidang manajemen dan organisasi: “Selama tiga abad, kita menyusun rencana, meramal, menganalisis dunia. Kita mempercayai mentah-mentah hukum Sebab-Akibat, menempatkan rencana pada posisi tertinggi dan menerima angka-angka sebagai kemutlakkan.”19

Sejarah sains modern selanjutnya menyaksikan lahirnya teori evolusi dari tangan Charles Darwin. Evolusi ini sendiri tidak pernah digerakkan oleh Sebab yang Lebih Tinggi, melainkan oleh hukum konflik antara berbagai spesies dan yang “terkuatlah yang menang dan layak hidup.”

Dengan evolusi, kesadaran akan Kehadiran Ilahi sebagai Sang Pencipta dan Pemelihara kehdiupan tercabut dari semua sudut lebensraum. Darwinisme menyebar dengan cepat ke bidang-bidang sains yang lain, bahkan ke bidang-bidang non-sains sekalipun.

Hampir setiap manusia modern dirangsang habis-habisan untuk menjadi yang “terkuat”, mengikuti hukum evolusi. Karena posisisinya yang vital, Darwinisme tidak lagi diajarkan sebagai teori, melainkan sebagai fakta keilmuan. Menentang atau mempertanyakan keabsahannya akan langsung dituding sebagai “Agamawan” penentang kemajuan.

Kombinasi Darwinisme dan pendekatan kuantitatif melahirkan reduksionisme: ruh (spirit) disusutkan menjadi jiwa (psyche); jiwa menjadi kegiatan kimiawi; kehidupan menjadi DNA dan partikel-partikel kuantitatif atau gumpalan energi yang terkurung dalam penjara molekular-molekular yang memilukan.

Tahap selanjutnya adalah saintisme: renjana menelanjangi segala sesuatu secara empiris. Sebagai dasar epistemik modernisme, saintisme mengelembung menjadi ideologi yang diterapkan untuk semua realitas.

Saintisme membuat pandangan-dunia religius tidak relevan secara ilmiah. Agama tak lebih dari keyakinan orang-seorang yang berwatak subjektif, emosional, dan tidak ilmiah. Maka, apa yang disebut dengan Sunatullah pun lantas tersapu bersih dari realitas alam semesta.20

Menyusul selanjutnya, fungsi-fungsi kependetaan beralih ke bahu para ilmuwan. Diakui atau tidak, orang modern menganggap ilmuwan mempunyai jawaban untuk semua persoalan.

Bukan hanya yang menyangkut keilmuwan murni, tetapi juga persoalan-persoalan di luar wilayah sains. Itulah sebabnya mengapa anggapan para ilmuwan tentang Tuhan atau keabadian, betapapun naifnya, tetap saja diterima sebagai aksioma. Sungguh penting untuk memahami fungsi kaum ilmuwan dalam dunia modern sebagai penguasa tertinggi yang mesti senantiasa dijunjung.

Sejak abad ke-17, berbagai pemerintahan di belahan dunia Barat terus mendukung hegemoni saintisme tersebut. Saat ini, hampir semua pemerintahan dunia menempatkan sains sebagai instrumen untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Teknologi menurunkan rumus aplikatif untuk bisa langsung memproduksi kekuatan dan keuntungan. Dukungan terhadap pengembangan sains dan teknologi bukan datang dari rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, tapi dari rasa cinta terhadap kekuasaan dan kekayaan.

Salah satu karakteristik sains modern yang membedakannya dari sains Abad Pertengahan ataupuan sains tradisional ialah pretensinya untuk menyasar kekuasaan dan dominasi.21 Kohesi sains dan kekuasaan telah menoreh nestapa yang  dahsyat.

Berbagai temuan sains telah memungkinkan para penguasa untuk merancang senjata-senjata penghancur massal. Keseimbangan alam yang mendasari kehidupan bumi juga sudah sangat terganggu.

Tetapi, ironisnya, sampai saat ini para ilmuwan modern masih saja percaya bahwa peran mereka adalah memanfaatkan sains dalam konteks yang sama.22 Apa yang terjadi ini tidak lain merupakan titik-balik dari proses-panjang perceraian sains, agama dan etika.

Begitu besar dan melembaganya proyek sains dalam konteks di atas, sehingga membalikkan keadaan bukanlah tugas yang mudah. Mustahil rasanya kita bisa menghentikan perputaran “tong setan” ini tanpa melakukan revolusi di tingkat pandangan-dunia secara utuh.23[]

Bersambung…

[Baca juga sebelumnya: KAJIAN – Kematian Manusia: Sebuah Karikatur (Bagian-1)]

Catatan Kaki:

* Karikatur adalah gambar, deskripsi, atau semacamnya yang melebih-lebihkan keganjilan dan kekurangan sesuatu.

13 Pengertian tradisi di sini tentunya tidak terbatas pada adat-istiadat, melainkan juga mencakup semua ajaran kearifan dalam konteks profetik. Untuk kajian menarik mengenai makna tradisi ini, lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, 1996, hlm. 22-24. Ihwal kosmologi Islam, lihat: S. H. Nasr, Introduction to Islamic Cosmological Doctrines: Conceptions of Nature and methods Used for its Study by the Ikhwan al-Shafa, al-Biruni, and Ibn Sina, Thames & Hudson, London, 1978.

14 Matematika di sini berarti model berpikir kuantiatif-analitis yang mencakup aritemetika, aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, probabilitas, statistika, dan teori dan logika himpunan.

15 Dalam The Tao of Islam (Mizan 1996), Sachiko Murata menjelaskan pandangan Islam tentang alam secara amat mengesankan. Tulisnya: “Dalam pandangan Muslim, tidak dapat menjadi Muslim dan sekaligus melihat kosmos “secara obyektif” dan “secara ilmiah”, sebab itu akan mengisyaratkan adanya jarak dan ketidakpedulian, seakan-akan alam raya itu bisu, tanpa membawa pesan moral atau spiritual sama sekali.” hlm. 169.

16 Terjemahan Lord Northbourne, London, 1953.

17 Untuk bacaan informative-eikstensf, rujuk: Z. Sardar, The Revenge of Athena: Science, Exploitation, and The Third World, London, 1988. Juga: Z. Sardar, The Touch of Midas: Science Values, and Environment in Islam and the West, Manchester, 1984.

18 K.C. Cole, Sympathetic Vibrations: Reflections On Physics as a Way of life, New York, Bantam Books, 1985, hlm. 2.

19 Margaret J. Wheatley, Kepemimpinan dalam Dunia Baru, Abdi Tandur. 1997, hlm. 19.

20 Lebih jauh, lihat: Martin Lings, The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of Modern World ihni Light of Tradition and Prophecy, Quinta Essentia, 1987.

21 Lebih lanjut, lihat: S. H. Nasr, Op cit, 1968.

22 Untuk studi ekstensif berkaitan dengan pelbagai faktor perusak lingkungan dan dampak negatifnya terhadap planet kita, lihat: Will Steger 7 Jon Bowermaster, Saving The Earh: A Citizen’s Guide to Environmental Action, Knopf, 1990. Juga: Jonathan Weiner, The nest One hundred Years: Shaping the Fate of Our Living Earth, Bantam, 1990.

23 Lebih lanjut, lihat: S.H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, London, 1975.

[Baca juga: KAJIAN – Kematian adalah Kesempurnaan]

AJ/ islam indonesia/ Gambar ilustrasi: explorepahistory.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *