Satu Islam Untuk Semua

Friday, 12 January 2018

Kajian – Isu Nuklir dalam Dinamika Politik Timur Tengah (Bagian 6)


islamindonesia.id –  Isu Nuklir dalam Dinamika Politik Timur Tengah (Bagian 6)

 

 

 

Program nuklir Iran telah membuat khawatir masyarakat internasional sejak dekade 1990-an, utamanya dari pihak Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, tetapi isu ini baru menjadi fokus perhatian keamanan internasional sejak tahun 2000. Meskipun Teheran masih mempertahankan argumentasinya bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai, namun di masa lalu Iran pernah mengakui memiliki uranium yang diperkaya sebagai bagian dari program pengayaan uranium, hal ini lah yang membuat masyarakat internasional pada umumnya dan AS pada khususnya ketakutan. AS menganggap bahwa nuklir Iran  memiliki tujuan ganda, untuk kepentingan sipil maupun militer. AS menduga bahwa motivasi utama Iran memproduksi nuklir adalah untuk tujuan keamanan, sebagaimana negara-negara lain di kawasan tersebut  yang juga memproduksi nuklir.[1]

AS melihat Iran sebagai Rogue State, sulit untuk dikendalikan, oleh karena itu persoalan nuklir Iran kemudian dibawa meningkat menuju dinamika yang lebih kompleks di mana Iran dihadapkan pada situasi penerapan sanksi internasional yang dimotori oleh kekuatan politik AS. Berdasarkan laporan IAEA, AS membawa isu nuklir Iran ke DK PBB yang akhirnya membuat Iran dikenakan sanksi karena dicurigai secara diam-diam memproduksi senjata nuklir. Namun, pada kenyataannya sanksi tersebut tidak pernah efektif dapat menghentikan program nuklir Iran.

 

Alasan Iran Menginginkan Nuklir: Ancaman dari Irak, Israel, dan AS

Sejak diberlakukannya sanksi AS terhadap Iran, tidak ada yang mengetahui dengan pasti mengapa Iran—walaupun Irak dengan Saddam-nya yang menjadi ancaman terhadap Iran telah jatuh—tetap mempertahankan program nuklirnya. Kondisi tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan penting: yaitu apa yang mendorong Iran untuk memperkaya uranium? Program nuklir tersebut juga membuat negara di kawasan menjadi kurang bersahabat terhadap Iran. Saira Khan mengatakan, tujuan Iran adalah untuk menunjukkan bahwa ambisi nuklir mereka berhubungan dengan lingkungan regional maupun global karena segala konflik yang terjadi di kawasan tersebut berkaitan erat dengan konstelasi politik global, yang artinya selama ancaman global masih tetap ada, maka Iran tidak akan pernah berhenti untuk melanjutkan ambisi nuklirnya.[2]

Bagaimanapun juga permusuhan Iran dengan AS merupakan penyebab utama untuk program proliferasi nuklir Iran sejak tahun 1990-an. Upaya tersebut terus berlanjut hingga tahun 2000-an. Konflik berkepanjangan Iran dengan AS dimulai pada akhir periode Shah dan awal Revolusi Islam pada tahun 1979. Tahun 1980 Iran mulai berperang dengan Irak, sehingga Iran fokus terhadap perang tersebut hingga berakhir tahun 1988. Meskipun demikian, sejak tahun 1979 Iran sudah terlanjur menganggap AS sebagai musuh karena mendukung Israel, musuh Iran di Timur Tengah. Selain memiliki dua konflik berkepanjangan sejak akhir 1940-an dan awal 1950-an dengan Israel dan Irak, Iran mengembangkan konflik  tidak terelakkan yang baru dengan AS pada tahun 1979 ketika terjadi revolusi di Iran. Dengan demikian Iran memiliki tiga musuh – Irak, Israel, dan AS. Irak telah menjadi musuh utama Iran di wilayah Timur Tengah, mereka terlibat konflik yang berlarut-larut.[3]

Sejak tahun 1980-1988, Iran dan Irak terlibat perang paling berdarah di Timur Tengah. William O. Beeman mengatakan,  kedua negara besar tersebut bertarung untuk memperebutkan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Israel, di sisi lain adalah musuh Iran dari sejak berdirinya pada tahun 1948. Permusuhan antara Iran dan Israel semakin kental ketika terjadi perang antara Lebanon dan Israel pada tahun 1980. Teheran membentuk organisasi perjuangan di Lebanon yang bernama Hizbullah. Perang Hizbullah dan Israel kemudian menjadi proxy war antara Iran dan Israel. Dalam konteks persenjataan nuklir, program pengembangan senjata nuklir yang dilakukan Irak dan Israel menjadi ancaman serius bagi Iran. Oleh karena itu Iran perlu memikirkan strategi penangkalan terhadap kedua negara tersebut, hal inilah yang mendorong Iran untuk juga mengembangkan nuklir.[4]

Prajurit Iran di garis terdepan perang Iran-Irak. Photo: Commandernavy/Wikimedia

Prajurit Iran di garis terdepan perang Iran-Irak. Photo: Commandernavy/Wikimedia

Konflik ketiga berhubungan dengan keberadaan AS di Timur Tengah yang merupakan ancaman serius bagi Iran. AS sebagai negara super power memiliki kekuatan tidak sebanding dengan Iran. Bila dibandingkan dengan AS, Iran adalah negara lemah, sehingga konflik diantara mereka bersifat asimetris. Untuk membela diri terhadap kekuatan global, Iran memerlukan sesuatu untuk mempertahankan diri. Perkembangan nuklir Iran selama tahun 1990-2000 kurang mendapat perhatian dari AS mengingat masa-masa itu adalah akhir Perang Dingin sehingga AS memilliki banyak pekerjaan rumah lain. Walaupun demikian, sejak Perang Dingin berakhir, Iran sudah dikategorikan sebagai rogue state.[5]

Keadaan bertambah buruk ketika pada tahun 2002 Bush mengidentifikasikan Iran sebagai “negara poros setan”. Bagi Iran label tersebut merupakan sebuah penghinaan yang amat besar. Tidak cukup sampai di situ, ancaman semakin terasa kuat ketika Irak, yang juga dikategorikan sebagai “negara poros setan” diserang oleh AS dengan tuduhan memproduksi senjata nuklir.[6]

Walaupun Iran dianggap masih memiliki banyak persoalan di dalam negeri seperti demokratisasi, modernisasi, kulturalisasi, dan hak asasi manusia, akan tetapi dalam program pengembangan nuklir seluruh rakyat bersatu untuk memperjuangkannya. Keputusan AS menyerang Irak pada tahun 2003 tanpa persetujuan PBB menunjukkan kekuatan Washington di dunia yang bersifat unipolar. Fakta tersebut sekaligus menunjukkan bahwa invasi bisa kapan saja terjadi terhadap Iran apabila tidak memiliki senjata penangkal yang ampuh. Menghadapi fakta peta kekuatan yang bersifat asimetris semakin mendorong Iran untuk mengakuisisi senjata nuklir dan berani mengumumkan keputusannya untuk memperkaya uranium, sekaligus mempertegas status nuklir Iran di mata AS. Sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang, Iran masih menjadi bulan-bulanan sanksi yang diberikan oleh AS dan PBB.[7]

Paling tidak, penjelasan di atas lah yang diyakini oleh pihak Barat kenapa Iran menginginkan nuklir. Dari sudut pandang Iran sendiri, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada tahun 2003 pernah mengeluarkan fatwa haram tentang senjata nuklir. Fatwa tersebut bahkan dikutip dalam pertemuan Iran dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 2005 di Wina, “Pemimpin Republik Islam Iran, Ayatollah Ali Khamenei telah mengeluarkan Fatwa bahwa produksi, penimbunan, dan penggunaan senjata nuklir dilarang oleh Islam, dan bahwa Republik Islam Iran tidak akan pernah menjadi pemilik senjata ini.”[8]

Namun, di pihak Barat, meskipun sudah ada fatwa tersebut mereka tetap meragukan Iran untuk tidak membuat senjata nuklir. Analisa dari pihak Barat, mungkin saja benar bahwa saat ini Iran belum memiliki senjata nuklir, namun mereka sudah memiliki teknologinya. Dengan pengetahuan dan ketersediaan fasilitas serta bahan baku yang tersedia, Iran dapat memproduksi senjata nuklir dengan cepat apabila diperlukan.[9]

Sebelumnya: Kajian – Isu Nuklir dalam Dinamika Politik Timur Tengah (Bagian 5)

PH/IslamIndonesia

Catatan Kaki:

[1] Saira Khan, Iran and Nuclear Weapons: Protracted conflict and proliferation, (New York: Routledge, 2010), hlm 1.

[2] Saira Khan , Op. Cit., hlm 1

[3] William O. Beeman, Op. Cit., hlm 1-2

[4] Ibid.

[5] Saira Khan, Op. Cit., hlm 92.

[6] William O. Beeman, Op. Cit., hlm 2

[7] Ibid.

[8] “Iran, holder of peaceful nuclear fuel cycle technology”, dari laman http://www.mathaba.net/news/?x=302258, diakses 10 Januari 2018.

[9] Michael Crowley, “Ayatollah’s decree complicates Iran nuclear talks”, dari laman https://www.politico.com/story/2015/06/iran-nuclear-deal-ayatollah-fatwa-complication-119244, diakses 11 Januari 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *