Satu Islam Untuk Semua

Friday, 25 March 2016

KAJIAN – Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi (Bagian 6-Selesai)


SESI TANYA-JAWAB

Mengapa Ibn Arabi Dikafirkan?

Pengkafiran Ibn Arabi bukan hanya datang dari satu pihak. Dan biasanya orang mengkafirkan orang lain karena tidak paham dengan orang yang dikafirkan. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, Ibn Arabi sudah cukup syar’i dan ‘harfi’. Pegangan Ibn Arabi pada ayat-ayat Al-Qur’an dan nash-nash lain kuat sekali. Karya-karyanya Ibn Arabi mengutip ayat atau hadis.

Semua pemikirannya berdalilkan ayat Al Qur’an maupun hadis. Memang Ibn Arabi mungkin memiliki metodologi yang khas. Mungkin dia agak meremehkan prosedur verifikasi hadis dari sisi sanad. Mungkin juga banyak interpretasinya yang seolah-olah paradoksal, tumpang-tindih, tidak konklusif dan sebagainya. Tapi, semua itu tidak menyebabkan ia dapat dikafirkan.

Lalu mengapa Ibn Arabi dikafirkan? Di sinilah kita berhadapan dengan kenyataan bahwa Ibn Arabi banyak merusak sistem berpikir yang ingin ditanamkan para penguasa dan elit intelektual yang bekerja untuknya. Ibn Arabi merelativisir banyak pandangan yang dibakukan, sehingga dia dianggap mengganggu “stabilitas”, kemapanan dan pengarusutamaan.

Dalam pemikirannya, Ibn Arabi memperkenalkan apa yang disebut dengan ‘al hayrah’. Menurutnya, ‘al-hayrah’ berarti keadaan seorang salik yang menuju Allah. Ketika ia melihat realitas begitu kaya dan dahsyatnya cahaya Allah, dia dalam keadaan ‘fi hayratin min amrih’ (kebingungan dalam urusannya). Dalam keadaan ini, salik akan menemukan Allah Swt jauh melampaui akal, nalar, imajinasi, harapan, ketakutan, dan semua ungkapan perasaan lain. Maka dia menjadi seperti orang yang silau melihat pancaran cahaya yang begitu terang. Hayrah secara harfiah berarti ‘bingung’.

Ibn Arabi percaya bahwa sikap yang benar dalam menyembah Allah adalah tidak semata-mata tasybih sehingga terjatuh pada penyembahan segala jenis berhala secara mandiri, tapi juga tidak semata-mata tanzih sehingga menjauhkan Allah dari segala sesuatu dan meletakkan-Nya sebagai Tuhan yang tidak peduli dan tidak berinteraksi. Inilah yang disebut dengan keadaan coincidentia oppositorum, karena dia melihat yang Tunggal dalam Banyak dan yang Banyak dalam Tunggal. Dan puncaknya dia merasakan “kebingungan”, dan tak mampu lagi menangkap Tuhan, karena Dia memang hadir di mana-mana, tiap saat, tanpa henti. Inilah realisasi dari Wahdatul Wujud yang terkenal itu.

Akibatnya, dia dituding menyamakan Tuhan dengan makhluk dan mendapat gelar kafir atau setidaknya sesat. Banyak kalangan yang melarang pelajar agama untuk mempelajari Ibn Arabi. Dan di antara yang melarang itu ada yang karena menganggapnya sebagai kafir dan sebagian lain karena menganggapnya terlalu sulit untuk dipahami akal para pelajar, bahkan akal siapa saja yang hanya ingin tahu tetapi tidak melakoni seperti yang dilakoni Ibn Arabi. Kalangan kedua ini sebenarnya justru dari mereka yang sadar bahwa paparan Ibn Arabi termasuk dalam kategori ilmu rasa (dzauwq), bukan ilmu pemahaman dan cerita.

Khazanah Hagiografis

Khazanah Hagiografis bagi Ibn Arabi bukanlah titik pijak. Ibn Arabi tidak berangkat dari hagiografi. Bagi Ibn Arabi, hagiografi menambah atau mengkonfirmasi apa yang telah dia kukuhkan secara rasional dan dialami secara eksperiansial. Ia meyakini dan mengukuhkah dulu dalil-dalil secara rasional kemudian dia menemukan secara hagiografis apa yang dia kukuhkan sebelumnya terkonfirmasi dalam kisah-kisah terseut. Model berpikir Ibn Arabi memang seperti itu. Oleh sebab itu, sangat aneh jika orang memasuki alam Ibn Arabi tanpa filsafat apalagi meninggalkan logika. Ibn Arabi tidak mungkin bisa dipahami tanpa rasionalitas, tanpa penalaran spekulatif yang berpijak pada logika dan filsafat.

Terbukti, dalam buku-bukunya Ibn Arabi seringkali meminjam konsep-konsep filsafat yang mencerminkan pijakan-pijakannya. Wujud itu sendiri merupakan subjek pembahasan utama dalam filsafat Islam. “Al Wujud bima hua wujud” yang merupakan subjek pembahasan utama filsafat Islam tidak lain adalah salah satu kata kunci alam pikiran Ibn Arabi. Hanya saja Ibn Arabi, seperti pembahasan sebelumnya, menghangatkan filsafat karena dia juga bisa memungut ceceran-ceceran hagiografis atau apapun pengalaman batin manusia dari berbagai sufi yang mengkonfirmasi pembuktian filosofis dan rasionalnya.

Kritik atas Pemikiran Ibn Arabi

Ibn Arabi itu paradoks. Dia memang yakin dengan apa yang dia sampaikan sesuai yang dia urut mulai dari pembuktian rasional hingga pada penyaksian. Maka itu, menurutnya, apapun yang dia sampaikan adalah kehendak Allah. Seperti yang dia sebutkan “ana ibn waqt” atau “ana ibn maqam” yang berarti saya adalah anak dari maqamku, dan apa yang aku sampaikan karena itu sudah waktunya.

Mungkin sebagian orang  memiliki pengalaman spritual seperti Ibn Arabi, cuma sayang tidak memiliki ilmu dan keluasan wawasan seperti dia. Ibn Arabi menguasai bahasa Arab, mendalami Al-Qu’ran, mengetahui banyak hadis sejak muda, menguasai buku-buku logika, filsafat, perdebatan teologis dan persoalan fiqh yang berkembang di zamannya. Dan ketika dia menemukan moment of truth, maka isinya yang keluar memang ilmu. Inilah yang membedakan Ibn Arabi dengan orang-orang yang mengklaim dirinya wali karena Ibn Arabi memiliki ilmu yang bisa memverifikasi apakah ini fakta atau bukan.

Dengan latar belakang penguasaan bahasa Arab, tafsir, sastra dan ilmu-ilmu lainnya, saat mengalami ‘kebingungan metafisik’, Ibn Arabi mampu mengungkapkannya secara ilmiah. Kita tidak menafikan ada orang lain yang mengalami pengalaman spritual karena penyucian jiwa, tapi ‘produknya’ tidak bisa dipahami karena bukan dari ilmu melainkan dari pengalaman dan perasaan yang bersifat personal. Sementara ilmu pengetahuan itu harus impersonal, objektif dan universal, bisa dimengerti oleh banyak kepala.

Namun demikian, kalau kita harus menyebut kritik untuk Ibn Arabi tentu saja ada. Salah satunya tentu fakta bahwa pemikir seperti Ibn Arabi tak mungkin jadi pemimpin masyarakat. Dia terlalu spontan dan terlalu paradoksal bagi kebanyakan orang.

Kritik lain barangkali soal gaya penulisan Ibn Arabi yang tidak indah seperti halnya Al-Ghazali. Mungkin ini efek dari spontanitas dan berjubelnya pikiran, perasaan dan pengalaman yang digelutinya. Bagi mereka mereka yang terbiasa membaca buku-buku tasawuf seperti Al-Ghazali atau yang kontemporer seperti Aidh Al-Qarni penulis La Tahzan, karya Ibn Arabi mungkin tak mempesonanya.

Kritik lain lagi yang mungkin dapat disampaikan di sni tentu saja kegemaran Ibn Arabi memakai istilah-istilah teknis dalam berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda, sehingga memaksa pembaca karya-karyanya untuk banyak mempelajari latarbelakang ilmu-ilmu tersebut sekalipun sedikit. Dan mungkin itu juga sebabnya murid-murid Ibn Arabi giat mensyarahi karya-karya gurunya tersebut.

Kritik lain lagi terkait dengan kritik yang terakhir ialah seringnya dia menggunakan istilah-istilah ilmu tertentu tetapi diberi makna yang berbeda. Dan makna itu tidak selalu perlu dia jelaskan dalam berbagai karyanya yang demikian banyak itu. Boleh jadi defenisi itu dia jelaskan dalam salah satu karyanya lalu dia jadikan makna baku dalam semua karya yang lain.

Demikian sekilas kajian tentang Ibn Arabi. Semoga Allah memberi manfaat atas kajian ini buat urusan dunia dan akhirat kita. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. []

 

Edy/Islam Indonesia/Ditranskrip dari Bedah Buku Taoisme dan Sufisme karya Toshihiko Izutsu. 2 Maret 2016 di UIN Sunan kalijaga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *