Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 12 March 2016

KAJIAN – Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi (Bagian Pertama)


Redaksi Islam Indonesia kali ini menurunkan “Kajian” berseri tentang sosok fenomenal sekaligus kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam, yakni Syaikh Akbar Ibn Arabi. Tujuannya agar kita dapat sedikit memahami pemikiran salah satu ulama produktif dengan jumlah karya tidak kurang dari 300 buah itu, yang telah banyak mempengaruhi perkembangan khazanah keilmuan Islam. Dengan tulisan berseri ini, Redaksi Islam Indonesia berharap masyarakat Muslim Indonesia dapat memperluas wawasan tentang berbagai pemikiran yang berkembang di dunia Islam, sekaligus menyadari bahwa keragaman khazanah keilmuan Islam justru menunjukkan kekayaan dan keluasan agama Ilahi ini. Dalam kesempatan lain, rubrik “Kajian” juga akan menuangkan pemikiran tokoh-tokoh dan isu-isu penting lain yang diupayakan bersifat kritis dan mendalam.

* * *

Salah satu kekuatan Ibn Arabi ialah ketaatannya menggunakan alat seperti bahasa, logika dan teks dalam tiap aspek pemikirannya. Bagi seorang literalis, Ibn Arabi akan tampak memenuhi seleranya. Dalam bab Taharah (Bersuci) karya Al-Futuhat Al-Makkiyah yang pernah diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Menghampiri Sang Kudus”, Ibn Arabi terlihat sangat literalis, sedemikian sehingga kalangan tekstualis kehilangan alasan untuk melawan dan menolak argumennya.

Tapi, di sisi lain, Ibn Arabi berhasil menjadikan teks-teks Arab (yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis) seperti bola yang dia mainkan terus-menerus. Kata-kata bahasa Arab memang mendukung cara berfikir seperti ini. “Liarnya” Ibn Arabi (dalam menggunakan teks-teks) itu terakomodasi karena dia menguasai bahasa Arab bahkan dia menemukan ‘dzauq araby’ (rasa bahasa Arab asli) di dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya. Dan yang lebih utama, seperti kata Toshihiko Izutsu, bahasa Al-Qur’an itu sudah merasuki tiap pengalaman batin Ibn Arabi.

Seperti diketahui, bahasa Arab merupakan bahasa ‘huruf’ dan bukan bahasa ‘kata’. Satu huruf dalam bahasa Arab bisa memiliki banyak makna. Oleh sebab itu, dalam Alqur’an, Allah memulai dengan kata ‘ba’ dalam bismillah. Jika merujuk pada kamus, seperti ‘Lisanul Arab’ atau ‘Majma’ Al Ma’any’, kita akan menemukan bahwa huruf ‘ba’ itu saja memiliki banyak makna. Dan Ibn Arabi sangat pandai bermain-main dengan kelenturan kata sehingga berujung pada kesimpulan—yang bisa dikatakan—bersifat paradoksal. Jadi dia memulai dari seorang yang tampak literalis tapi berujung dengan seoarang yang non-literalis bahkan bisa dikatakan anti terhadap teks.

Fenomena ini tampaknya timbul dari seorang ahli suluk yang telah menyatu padu dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam pengantar terjemahan buku Taoisme-Sufisme karya Toshihiko Izutsu (Mizan, 2015) dikatakan bahwa Ibn Arabi sebenarnya menceburkan dirinya dalam pemahaman Al-Qur’an—yang ‘beyond’ imajinasi manusia. Oleh sebab itu, siapapun bisa “menggunakan” Al-Qur’an; mulai dari kelompok garis keras seperti ISIS hingga kaum Sufi; mulai dari filsuf dan sarjana zaman dahulu hingga sekarang. Hampir tidak ada orang yang tidak bisa memanfaatkan kandungan Al-Qur’an. Mau digunakan sebagai jalan kesesatan “hujjatun ‘alaih” atau jalan kebenaran “hujjatun lahu”. Keduanya sama-sama bisa menggunakan Al-Qur’an. Dan Ibn Arabi memahami “kemahakayaan” sekaligus “keliaran” Al-Quran itu.

Ibn Arabi menurunkan pengalaman ber-agama-nya dalam teks bahasa Arab yang sangat kaya dan lentur itu. Hal ini juga diakui oleh Toshihiko (yang berpendapat) bahwa teks-teks Ibn Arabi dibuat sedemikian rupa mirip isyarat-isyarat bagi mereka yang ingin membaca di balik teks. Penerjemahan buku ini (Taoisme-Sufisme) juga merujuk pada beberapa teks yang dikutip oleh Toshihiko dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa aslinya. Di sisi ini, teks asli Ibn Arabi memungkinkan untuk “digelandang” ke arah yang berbeda oleh orang yang berbeda. Bahkan, orang bisa melihat kemungkinan tabrakan antara terjemahan Toshihiko dari teks-teks asli Ibn Arabi dalam bahasa Arab dengan terjemahan orang lain.

Oleh sebab itu, tidak salah apabila orang membaca Ibn Arabi merasa bahwa semua agama sama. Atau merasa, hanya agama Islam satu-satunya agama yang benar. Keduanya sama-sama valid. Apa pasal? Karena teks Ibn Arabi berusaha sedapat mungkin mengikuti teks-teks Al-Qur’an yang juga memungkinkan kesalahpahan yang sama. Ini bukan karena niat buruk si penafsir melainkan karena kekayakan makna yang terkandung dalam teks tersebut.

Seperti sudah diketahui oleh para peneliti, ketika menyebut dirinya dengan ‘‘Ibn Arabi”, sebenarnya dia ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya merupakan orang yang menjiwai ‘Arab’. Namun, perlu diketahui, bahwa Arab itu bukan rujukan etnik. Tidak sedikit orang mengira bahwa Arab itu etnisitas dan itu anggapan yang salah. Kajian-kajian kontemporer menunjukkan bahwa Arab itu adalah bahasa. Dan makna Arab sebagai bahasa itulah dirujuk oleh Al-Qur’an saat menyebut dirinya sebagai “Arab”.

Atas dasar itu, ada bangsa yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan etnisitas Arab tapi kini justru menjadi salah satu tonggak Arab seperti bangsa Mesir. Mesir sebenarnya bangsa Afrika dan tidak memiliki hubungan geonologis dengan Arab. Namun, kini Mesir bisa dikatakan sebagai salah satu produsen sastra Arab yang terbesar di dunia Islam. Sampai ada lelucon yang mengatakan: Mesir menulis, Lebanon mencetak, dan Irak membaca.

Demikianlah watak bahasa Arab yang bisa dipakai siapa saja. Sampai sekarang, meskipun telah luntur, tradisi menulis dengan teks Arab masih bisa kita lihat di sejumlah pesantren. Inilah yang dimaksud dengan ‘arabiyun mubin’ di dalam Al-Qur’an. Ayat ini tidak merujuk pada etnik karena di sisi lain, Al-Qur’an juga mengecam Arab sebagai etnik. Ibn Arabi menggunakan bahasa yang sangat lentur ini karena bahasa Arab mungkin dianggap berbeda dengan bahasa lain. Di antara perbedaannya ialah bahasa Arab itu tidak diproduksi oleh kaumnya. Orang Arab tidak memproduksi bahasa Arab. Mereka hanya memakai bahasa Arab. Dan menariknya. selain bangsa Mesir, bangsa Persia juga sangat berjasa dalam mengembangkan bahasa Arab ini, melalui tokoh semisal Sibawayh.

Untuk mengenal cara berpikir Ibn Arabi, perlu juga diketahui bahwa orang Arab secara historis tidak memiliki budaya tapi hanya memproduksi syair dan untaian kata. Mereka tidak memiliki karya tulis, (hasil karya) pemikiran, sedemikian sehingga Allah menyebut mereka sebagai “ummiyiin” atau orang-orang yang buta huruf. Oleh sebab itu, bahasa yang mereka pakai merupakan bahasa yang murni (asli) tanpa intervensi karakteristik budaya bangsa-bangsa pemakainya. Selain pengguna bahasa Arab terdiri dari berbagai bangsa, kita ketahui juga bahwa di Madinah (Yastrib) pada masa itu terdapat bangsa Yahudi, Afrika, berbagai suku Arab, dan sebagainya.

Dengan hampir tidak adanya budaya dari beragam bangsa itu yang mempengaruhi makna atau etimologi bahasa Arab, maka ia merupakan bahasa murni yang bisa dipakai oleh siapa saja. Mengapa qari (pembaca Alqur’an) Indonesia suaranya bisa sama dengan “makharij” orang yang lahir di tanah Arab? Inilah kekhasan dan keluarbiasaan bahasa Arab. Jadi bahasa Arab itu sendiri dalam dirinya – ketika Allah pilih sebagai bahasa Al-Qur’an – adalah suatu mukjizat. Mungkin inilah salah satu makna ayat yang berbunyi: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran (dan pengingatan), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”(QS. 54: 17).

Begitu mudahnya orang bisa menyebut, mengungkap, menghafal, dan memahami kalimat-kalimat Arab di dalam Al-Quran ini sedemikian sehingga orang dari Sulawesi Barat bisa mengucapkan sama persis seperti orang di tanah Arab yang jaraknya ribuan kilometer. Ketika orang yang bukan dari tanah Arab membaca Al-Quran, ia bisa seperti orang Arab. Demikianlah kekuatan bahasa Arab.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahasa Arab itu terdiri dari huruf-huruf. Dalam kaidah bahasa Arab yang mengatakan “ziadatun mabani tadullu ala ziadatin ma’ani” yang berarti huruf satu ditambah huruf lainnya akan menambah makna dari huruf tersebut. Implikasinya, huruf ‘ba’ memiliki makna ‘dengan’, atau bisa berarti ‘bersama’, ‘di dalam’, ‘disebabkan’ dan lain-lain. Ketika ditambah ‘ismullah’ dan menjadi ‘bismillah’, bisa dibayangkan berapa makna yang timbul dari kata itu. Dan kata ‘ism’ itu sendiri ada ‘musytak’-nya, masdar-nya, bisa di-saraf-kan dan bahasa inilah yang dipakai secara imajinatif oleh Ibn Arabi. Nyaris mustahil bagi orang yang ingin memahami Ibn Arabi tapi tidak menggunakan pintu bahasa Arab ini.

 

Edy/ Islam Indonesia/Transkrip dari Bedah Buku Taoisme dan Sufisme karya Toshihiko Izutsu, 2 Maret 2016 di UIN Sunan Kalijaga

2 responses to “KAJIAN – Ibn Arabi: Hidup Ini Hanyalah Mimpi (Bagian Pertama)”

  1. diana says:

    Jangan gunakan kata “liar” untuk bahasa al-quran yang suci, alquran sebagai mukjizat tdk layak mendapat istilah buruk, mungkin kita bisa gunakan istilah “kelenturan” “kekenyalan” atau fleksibilitas bahasa Al qur’an.

  2. […] ilustrasi, Ibn Arabi membawakan pada kita kisah Nabi Idris dan Nabi Ilyas. Menurutnya, kedua nabi ini jatidirinya sama […]

  3. […] Toshihiko Izutsu memiliki kepakaran dalam bidang “permainan bahasa” ala Ibn Arabi. Bisa dikatakan, Toshihiko memiliki kepekaan semantik dan cita rasa bahasa yang baik. Karenanya, dia mulai mempresentasikan pemikiran Ibn Arabi dengan mengatakan bahwa, bagi Ibn Arabi, apapun yang kita lihat, rasakan, dengarkan, dan semua kita yang saling bertatapan saat ini adalah “mimpi”. Tentu, sebagai seorang literalis, Ibn Arabi berpijak pada hadis ini: “Annasu niyamun idza maatuu intabahuu” yang berarti semua manusia tidur, barulah terbangun setelah mereka mati. […]

  4. […] Ibn Arabi, mimpi itu bukan tidak nyata. Hanya saja, seperti watak mimpi, ia membutuhkan pada takwil. Ia […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *