OPINI–Haidar Bagir: Benarkah Tasawuf bukan Berasal dari Islam?
![](https://islamindonesia.id/wp-content/uploads/2016/04/Sufisme-Islamindonesia.id_-e1461609650698.jpg)
Islamindonesia.id–Haidar Bagir: Benarkah Tasawuf bukan Berasal dari Islam?
Dalam sejarahnya, tasawuf tak pernah lepas dari hujatan orang. Menurut mereka, tasawuf adalah bid‘ah, mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam agama. Bahkan, tasawuf adalah suatu aliran yang sesat dan menyesatkan, baik karena kejahilan, motif menutupi ketidaksetiaan mereka kepada syariat, maupun malah untuk menghancurkan agama dari dalam. Apa yang menyebabkan sikap-sikap bermusuhan seperti ini terhadap tasawuf?
Sedikitnya ada 2 hal. Yang pertama adalah keyakinan tasawuf bahwa selain syariat, diperlukan juga tharîqah dan hakikat. Keyakinan tentang perlunya “tambahan” atas syariat inilah yang menyebabkan penolakan terhadap tasawuf. Sedang yang kedua adalah adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu yang diungkapkan sebagian sufi, seperti hulûl, ittihâd, wahdah al-wujûd, dan sebagainya. Keberadaan-keberadaan kepercayaan yang heterodoks (tidak lazim) dan rumit seperti ini bukan hanya menyebabkan para penentangnya mempersoalkan kepercayaan-kepercayaan ini, melainkan malah menolak keseluruhan tasawuf.
Mengenai sebab yang pertama, kaum sufi memang percaya bahwa syariat—dalam makna melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan secara lahiriah dengan kriteria fiqh semata, dan bukan dalam makna agama itu sendiri—tak akan mampu membawa seorang Muslim kepada tujuan puncak keberagamaannya. Tujuan ini, menurut kaum sufi adalah hakikat (haqîqah), sesuatu yang bersifat batiniah dan pada akhirnya berpuncak pada hilangnya ego (nafs) dalam Tuhan secara total, serta menyatunya (tauhîd) manusia kembali (ma‘âd ) dengan Tuhan yang juga sebagai sumber-awal (mabda’)-nya. Untuk mencapai tingkat ini, orang harus menjalani tharîqah, yakni merupakan esensi tasawuf itu sendiri. Tapi, sebaliknya dari mereduksi kepentingan syari’ah, kaum sufi percaya bahwa thariqah harus diselenggarakan dengan sepenuhnya bersandar pada syariah.
Seperti “syariat” juga, istilah tharîqah bermakna “jalan”. Hanya saja, jika “syariat” berarti jalan raya, “tharîqah” berarti jalan kecil atau sempit. (Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa menempuh tharîqah jauh lebih sulit ketimbang menempuh “syariat”). Nah, dalam konteks ini, syariat tak lain adalah kendaraan untuk tharîqah, dan tharîqah, pada gilirannya, adalah kendaraan untuk mencapai hakikat. (Lihat gambar di halaman 60). Nah, sebagai konsekuensi keyakinan seperti ini, terkadang—dalam segala kesetiaannya kepada syariat—kaum sufi memiliki pendapat yang berbeda mengenai fiqh dengan pendapat para ulama fiqih itu sendiri.1
Untuk membuktikan ketidak-Islaman tasawuf, biasanya orang menggunakan dua cara. Pertama, istilah atau ilmu yang bernama tasawuf itu tak terdapat, baik dalam Al-Quran maupun Sunah. Kedua, banyak di antara kepercayaan tasawuf bisa ditunjukkan sebagai berasal, atau setidak-tidaknya sama, dengan sumber-sumber lain di luar Islam—baik sumber Yunani, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Persia.
Menanggapi pandangan-pandangan seperti itu, para pendukung tasawuf biasanya mulai dengan menyatakan bahwa penamaan tasawuf hanyalah sekadar suatu cara untuk menampilkan ciri-ciri khas kelompok ini. Persis seperti Rasul dan para sahabatnya dulu menjuluki Bilal si orang Etiopia dengan Al-Habsyi, atau Shahiba atau Suhail Al-Rumi (orang Romawi), atau Salman Al-Farisi (orang Persia). Bahkan Al-Quran tak cukup menyebut orang-orang Mukmin yang baik-baik dengan hanya menyebut mereka sebagai Mukmin, melainkan terkadang menyebut sebagian di antara mereka dengan al-tâ’ibîn, atau sebagian yang lain al-mutashaddiqîn, al-‘âbidîn, al-hamidîn, al-shalihîn, dan banyak lagi lainnya. Lagi pula, kenapa hanya penamaan shûfî saja yang diperdebatkan padahal dalam sejarah kaum Muslim, umat ini dikelompokkan di bawah nama-nama Mu‘tazili, Asy’ari, Maturidi, Salafi, Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbali dan tak terhitung nama-nama kelompok lainnya.
Selanjutnya, jika asal kata tasawuf itu dipersoalkan karena tidak terdapat di dalam Al-Quran, maka kita dapati banyak sekali ilmu yang tidak disebut di dalam Al-Quran tapi tak pernah dianggap sebagai bid‘ah. Tentu saja kita harus mulai dari fiqh karena, meskipun kata ini dipakai di dalam Al-Quran, ia tak pernah dipakai untuk menunjuk ilmu tentang hukum-hukum ibadah seperti yang kita kenal sekarang ini. Lalu ada ushûl al-dîn, mushthalah al-hadîts, ilmu tafsir, ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu al-kalam, dan sebagainya. Apalagi jika argumentasi ini kita perluas hingga ke ilmu-ilmu nonagama yang, dalam sejarah Islam awal diterima luas oleh kaum Muslim, seperti ilmu falak, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya. Argumentasi seperti ini sekaligus menunjukkan bahwa sesuatu ilmu bisa saja berkembang melewati apa yang secara eksplisit terkandung dalam Al-Quran dan Al-Sunah, tanpa harus dianggap sebagai bidah atau malah sesat.
Untuk menjawab keberatan orang mengenai asal-usul ajaran tasawuf, para pendukungnya cukup sigap untuk menunjukkan sumber-sumber Qurani paham ini (sila baca judul setelah ini). Tapi, sebelum itu kiranya mudah dipahami bahwa adanya kesamaan antara ajaran-ajaran tasawuf tertentu dengan ajaran agama Kristen, Hindu, Buddha, bahkan pemikiran Yunani sama sekali tak otomatis berarti bahwa ajaran-ajaran tasawuf itu sesat. Karena, jika argumentasi seperti ini bisa dibenarkan, maka hukum fiqih tertentu yang ternyata sama dengan hukum Kristen haruslah dianggap sesat pula. Padahal kenyataan seperti ini amat banyak terjadi. Demikian pula dengan kesamaan-kesamaan pandangan dalam ilmu Kalam dengan teologi Kristen. Dan seterusnya. Lagipula, bukan hanya penganut pandangan tasawuf yang berpendapat bahwa sesungguhnya hikmah itu tercecer di mana-mana. Bukankah Rasulullah sendiri bersabda bahwa “Hikmah adalah barang kaum Mukmin yang hilang” dan bahwa kita diperintahkan untuk memungutnya di mana pun ia kita temukan? Belum lagi jika kita mempercayai bahwa, sampai batas tertentu, ajaran-ajaran agama itu—bahkan mungkin juga pemikiran Yunani tertentu—adalah peninggalan para Nabi dan Rasul yang diturunkan Allah kepada berbagai bangsa. Apalagi agama Kristen, yang jelas-jelas pada awalnya adalah memang merupakan wahyu Allah, sebagaimana juga agama Yahudi dan agama-agama samawi lainnya.
Ada lagi yang bersikap antitasawuf karena dalam tasawuf terdapat paham-paham atau pandangan-pandangan yang dianggap sesat. Terhadap keberatan seperti ini, pendukung tasawuf akan balik bertanya: apakah kita harus membuang hadis hanya karena di dalamnya menyusup hadis-hadis palsu, atau mencampakkan ilmu tafsir karena di dalam sebagiannya terkandung isrâ’iliyyat, atau ilmu fiqih karena adanya upaya-upaya manipulatif dalam bentuk perumusan berbagai hîlah yang seringkali mengada-ada, tidak bertanggung jawab, bahkan melecehkan syariat itu sendiri? Bahkan pun jika para pendukung tasawuf sepakat mengenai kesesatan-kesesatan yang ada dalam sebagian paham atau pandangan dalam tasawuf, maka yang perlu dilakukan adalah membersihkan tasawuf—persis seperti yang kita lakukan terhadap ilmu-ilmu lain—dari kesesatan-kesesatan, dan bukan mencampakkannya sama sekali.
AJ/IslamIndonesia
Leave a Reply