Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 30 March 2016

KOLOM–Berbagai Makna Tasawuf menurut kalangan Sufi dan Ulama


Oleh Haidar Bagir

 

Ada begitu banyak defenisi tasawuf yang bisa digali dari karya para sufi dan ulama di dunia Islam. Di antaranya pandangan Abul Hasan Syadzili yang medefinisikan tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta dan penghambaan yang mendalam untuk mengembalikan diri ke jalan Tuhan. Adapun menurut Syekh Akbar Ibn Arabi, tasawuf berarti berakhlak dengan akhlak Allah (at-takhalluq bi akhlaqil-laah).

Akhlak yang dimaksud ialah menanamkan sifat Allah yang intinya adalah rahmat atau kasih-sayang. Definisi lain menyebutkan tasawuf sebagai hidup yang mendekatkan (taqarrub) kepada Tuhan (Sang Inti) kehidupan agar tak relevan lagi kesenjangan antara “aspirasi”-ku dan “realitas”-ku.

Dalam bahasa yang sederhana lagi, Muhammad bin Ali Kattany mengatakan bahwa tasawuf adalah akhlak yang baik. Maka, bagi Kattany, siapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti dia melebihimu dalam tasawuf. Sedemikian mendasarnya akhlak dalam tasawuf sehingga orang yang terus-menerus berupaya memelihara ketulusan kepada Allah dan berakhlak baik kepada makhluk, menurut Al-Suyuthi, adalah sufi.

Sufi merupakan terminologi yang umumnya dilekatkan pada orang yang mengamalkan ajaran tasawuf. Secara khusus, terminologi ‘sufi’ juga memiliki beragam defenisi. Imam Nawawi misalnya mendefinisikan mereka sebagai pemelihara kehadiran Allah di dalam hati, taat pada Sunah Nabi, menghindari ketergantungan pada orang dan mensyukuri karunia-Nya meskipun sedikit. Ahmad an-Nury menambahkan, tanda bahwa orang itu termasuk sufi ialah dia rela ketika tidak punya dan peduli pada orang lain ketika punya.

Dengan indah Junayd al-Baghdadi memberi analogi bahwa para sufi itu seperti bumi yang rela diinjak-injak oleh orang saleh maupun pendosa. Mereka, lanjut Junayd, seperti mendung yang memayungi segalanya dan seperti hujan yang mengairi semuanya. Di sisi lain, Abu Nashr Sarraj pernah bertanya pada Ali Al Hushry, “Siapakah sufi itu?” Al Hushry menjawab, “Dia yang tak dibawa bumi dan tak dinaungi langit.” Maksudnya bahwa sufi ialah mereka yang mengalami fana.

Sebagaimana defenisi Imam Nawawi, tasawuf tidak terlepas dari ketaatan pada syariat (fikih). Sedemikian sehingga orang yang sebatas memiliki ilmu yang luas belum cukup dikatakan sufi. Ilmu bagi Ibn Ajiba, adalah awal perjalanan tasawuf, tengahnya amal dan ujungnya karunia Ilahi yang berupa penyingkapan hakikat. Begitu pentingnya syariat ini, meskipun ada orang yang mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan manusia pada umumnya tidak meniscayakan dia adalah sufi.

Dalam hal ini, Bayazid Busthami mengingatkan: “Jangan terkelabui oleh pelaku mukjizat yang mampu terbang di udara. Tapi nilailah berdasar ketaatannya pada syariat.”

Tidak jarang ada orang yang mengkalaim dirinya sufi namun menafikan salat, puasa dan syariat lainnya. Merekalah yang oleh Malik bin Anas disebut sebagai zindik. Siapa bertasawuf tanpa berfikih, kata Imam Malik, zindiklah dia. Sebaliknya, lanjut ulama kelahiran Madinah ini, siapa yang berfikih tanpa bertasawuf, maka fasiklah dia. Zindik di sini berarti menyeleweng dan fasiq berarti merusak.

Dalam berbagai literatur tasawuf, syariat (fikih) menempati posisi yang penting dalam perjalanan sufi mencapai hakikat. Al Hallaj mengatakan, “Batin Al-Haqq punya zhahir, yakni syariat. Siapa yang mencari hakikat lewat syariat, akan tersingkap baginya batin syariat, yakni ma‘rifat.”

Selain Imam Malik, Imam Syafi’i juga mengingatkan bahwa tasawuf dan syariat haruslah sejalan. Ulama kelahiran Gaza, Pelestina, ini mengatakan, “Jadilah pelaku fikih dan pejalan sufi. Jangan hanya jadi salah satunya demi Allah, inilah nasehatku.”

Jika dianologikan secara sederhana, syariat (fikih) adalah jalan raya, sedangkan thariqah (tasawuf) adalah jalan kecil. Untuk menuju Allah, kita harus melalui jalan raya, lalu masuk ke jalan yang lebih kecil. Atau, seperti pada roda yang berangkat dari lingkaran (syariah), menempuh jari-jari (thariqah) untuk menuju pusat lingkaran (haqiqah).

Dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa syariat (fikih) adalah ajaran lahir yang memiliki makna batin, sedangkan tasawuf adalah pengalaman batin yang terwujud dalam laku lahir. Dengan syariat, para sufi terus bergerak mendekati titik keseimbangan sehingga meraih ketenteraman hidup (surga), bahkan sejak masih di dunia.

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)

“Siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang dia berbuat ihsan (menghamba kepada Allah sesempurna mungkin dalam keadaan memiliki hubungan intim penuh cinta dengan-Nya), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2]: 112)

Jiwa atau hati yang tenang dapat diraih oleh orang-orang yang mendekati pusat roda hakikat. Mereka tak lagi diterpa goncangan-goncangan pasang-surut roda kehidupan sebagaimana orang yang terus tinggal di pinggirannya. []

 

Edy/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *