Satu Islam Untuk Semua

Friday, 08 September 2017

RENUNGAN JUM’AT – Pengetahuan dan Tindakan Hati


islamindonesia.id – RENUNGAN JUM’AT – Pengetahuan dan Tindakan Hati

 

Meski memiliki hubungan, keimanan berbeda dengan pengetahuan tentang Allah, keesaan Wujud-Nya, sifa-sifat-Nya, malaikat, kitab suci dan hari akhir.  Orang yang memiliki pengetahuan tentang semua itu tidak lantas menjadi mukmin. Iblis memiliki pengetahuan tentang semua itu lebih daripada manusia pada umumnya tetapi ia tidak beriman.

Keimanan adalah tindakan hati; jika tidak masuk dalam hati, pengetahua tidak bisa disebut sebagai keimanan. Setiap orang yang telah mengetahui suatu prinsip melalui metode rasional harus mengantarkan pengetahuannya itu ke dalam hatinya, dan menjadikannya sebagai tindakan hati berupa kepasrahan atau ketundukan serta penerimaan dan penyerahan diri. Hanya dengan demikianlah seorang menjadi Mukmin.

Adapun puncak dari keimanan adalah ketentraman. Bilamana cahaya keimanan menguat, hatinya pun menjadi tentram dan mantap. Dan semua  pengaruh ini tidak muncul dari pengetahuan. Sebab, mungkin saja akal mengenal sesuatu dengan argumen, tetapi hatinya tidak tunduk kepadanya sehingga pengetauan itu menjadi sia-sia.

Sebagai contoh, kita semua mengetahui secara akal bahwa mayat tidak dapat membahayakan kita dan bahwa semua orang mati di dunia ini tidak memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu, bahkan ia tak mampu melakukan gerakan seekor lalat, dan bahwa semua daya jasmaniah dan ruhaniah mayat telah hilang semuanya.

Akan tetapi, karena hati seseorang tidak menerimanya dan tidak menyetujui penilaian akalnya, ia tidak berani melewatkan semalam suntuk dengan sosok mayat. Sebaliknya, jika hatinya bersepakat dan menerima penilaian akalnya, tugas tidur semalaman bersama mayat tidak akan sulit baginya. Bahkan, setelah beberapa kali melakukannya hatinya akan menjadi benar-benar tunduk dan tidak akan ada lagi rasa takut atau ngeri berhadapan dengan mayat.

Oleh sebab itu, jelas bahwa ketundukan yang merupakan tindakan hati berbeda sama sekali dengan pengetahuan yang merupakan tindakan akal.  Mungkin saja seseorang dapat membuktikan secara logis keberadaan Allah, hari akhir dan pelbagai butir akidah lurus lainnya, tetapi semua itu tidak lantas dapat dianggap sebagai keimanan dan orang itu juga tidak dapat dianggap sebagai mukmin. Bahkan, mungkin saja ia malah tergolong sebagai kafir, munafi atau musyrik.

Sebelum kalimat la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) tertulis dengan tinta akal pada lembaran hati yang putih-bersih, manusia tidak akan beriman pada keesaan Allah. Ketika kalimat nurani Ilahi itu tergores dalam hati, dengan sendirinya hati akan menjadi tempat bagi kerajaan Zat Yang Mahakuasa. Hanya setelah itulah manusia tidak lagi melihat maujud yang berpengaruh di alam raya selain Allah.  Ia tidak lagi mengharapkan kedudukan atau kemuliaan apa pun dari sesama manusia. Ia juga tidak akan lagi mengejar popularitas dan kehormatan di sisi orang kebanyakan. Hati orang ini tidak akan menjadi ria (pamer) dan manipulatif.

[Baca juga: TASAWUF –  Tingkatan Ria: Dari Pamer Akidah Hingga Ibadah]

Oleh sebab itu, jika kita melihat ria dalam hati kita, sadarilah bahwa hati kita belum sepenuhnya tunduk  pada akal, dan keimanan belum bersinar di hati kita. Jika seseorang menganggap makhluk lain sebagai Tuhan atau sebagai maujud yang berdaya  memangaruhi peristiwa di dunia ini sehingga kita tidak meyakini Al-Haqq (Yang Mahabenar) sebagai satu-satunya yang Faktor, itu berarti ia telah bergabung dengan kelompok orang-orang munafik, musyrik, atau kafir. Nabi Saw yang agung misalnya pernah bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik terkecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik terkecil wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ria.” (HR. Ahmad)[!]

 

RK/ YS/ IslamIndonesia

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *