Satu Islam Untuk Semua

Monday, 05 October 2020

Kolom Haidar Bagir – Spirit, Spiritualitas, dan Pengalaman Spiritual: Pandangan Psikologi


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir – Spirit, Spiritualitas, dan Pengalaman Spiritual: Pandangan Psikologi

Spirit, Spiritualitas, dan Pengalaman Spiritual: Pandangan Psikologi

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan penulis buku Sains Religius, Agama Saintifik: Dua Jalan Mencari Kebenaran

Sebelum yang lain-lain: Apakah Spirit itu?

Spirit – orang setuju atau tidak akan keberadaannya – dipahami sebagai  suatu sumber kesadaran/pikiran (consciousness/mind) yang berada di luar diri kita, mentransendensikan wujud fisik kita, yang – bagi yang percaya – diri kita terhubung dengannya. Dalam konteks ini, spirit kadang disebut Diri Lebih Tinggi, Diri Lebih Besar, dan lain-lain.

Sementara diri kita – yakni diri lebih rendah, atau lebih kecil – adalah sama dengan kesadaran kita yang terbentuk di lingkungan diri fisik kita, dan berpuncak dalam otak.

Nah, dalam hal pikiran (mind), kaum monist (dalam KBBI monisme diartikan pandangan bahwa materi dan alam pikiran itu satu-red) di bidang psikologi, berkeyakinan bahwa semua kedirian kita adalah hasil dari operasi otak kita.

Dengan demikian, kalau pun ada sesuatu yang bisa disebut sebagai Spirit ini, maka ia bukanlah sesuatu yang berada di luar diri atau wujud fisik kita. Ia adalah bagian dari kerja otak belaka.

Tapi, menurut kaum dualist, pikiran kita tak hanya terbatas pada hasil-hasil operasi otak kita saja, melainkan ada juga limpahan dari sesuatu yang berada di luar diri fisik kita. Momen ketika kita dianggap menerima limpahan itulah yang disebut sebagai pengalaman spiritual – yang bersumber dari Spirit itu.

Kaum monist, seperti saya tulis dalam tulisan saya sebelum ini (silakan baca: Religiusitas cuma Gejala Neurologis atau Malah Neurotik Belaka? Mari Menjadi Peneliti yang Lebih Berhati-hati), biasanya selalu mengatakan bahwa, lewat eksperimen, didapati bahwa bagian otak (frontal lobes)-lah yang bertanggungjawab atas apa yang disebut sebagai pengalaman spiritual itu.

Bahwa yang terjadi adalah gejala yang sepenuhnya serebral – bersumber dari otak – sebagaimana gejala-gejala serebral lain. Tak lebih, tak kurang. Artinya tak ada apa pun yang disebut sebagai Diri Lebih Tinggi/Diri Lebih Besar yang, oleh orang beragama, biasa diasosiasikan dengan gagasan tentang Tuhan atau yang sejenisnya.

Tapi, kata kaum dualist, persoalannya adalah:  Dari mana kita tahu bahwa yang terjadi di otak adalah pangkal gejala ini, dan bukannya apa yang terjadi di otak itu adalah akibat dari suatu sebab lain, yang berada di luar otak? Artinya di luar diri atau wujud fisik kita?

Bahkan, menjawab kaum monist, kenyataan bahwa penyakit (seperti epilepsi), induksi elektrode ke otak depan (frontal lobes), maupun zat-zat psikotropika, dapat menghasilkan pengalaman yang mirip dengan pengalaman religius, bisa berarti bahwa kesemuanya itu hanya berfungsi  menghilangkan hambatan dan membuka jalan bagi diri kita berhubungan dengan sumber spiritualitas itu.

Misal, rusaknya bagian otak tertentu – dipercayai bukan  menguatkan fungsi  sumber rasa spiritualitas yang ada di otak,  melainkan mengangkat halangan dan membuka jalan bagi jalur hubungan kepada apa yang disebut Spirit itu.

Demikian halnya dengan kondisi-kondisi lain yang dipercayai menghasilkan rasa spiritual sedemikian. Dan perdebatan antara kedua kelompok ini – yang juga didukung psikolog-psikolog paling andal di dunia – masih panjang.

Masih dalam rangka berargumentasi dengan para monist ini, para dualist juga menunjukkan berbagai bukti tentang adanya sumber-sumber di luar diri, yang bisa disebut sebagai spiritualitas ini. Termasuk adanya pengalaman mistis – yang tentangnya sudah banyak dilakukan penelitian dan eksperimen – yang membuka kemungkinan bagi adanya sifat obyektif pengalaman ini.

Kenyataannya, terdapat pola yang sama dan berulang – sebagaimana dalam observasi eksperimental atas gejala-gejala fisik – terkait pengalaman spiritual yang melibatkan orang-orang secara lintas masa, budaya, agama, gender, dan lain-lain.

William James adalah seorang ahli yang di awal tahun 1900-an sudah berargumentasi tentang hal ini dalam bukunya, yang sampai sekarang belum tergantikan, berjudul Varieties of Religious Experience.

Demikian pula halnya dengan fenomena mimpi yang benar (lucid dreams) dan bersifat prediktif. Lalu NDE (Near Death Experience) [yaitu, pengalaman hampir mati-red], yang menunjukkan tetap adanya kesadaran, seringkali religius/mistikal, dalam keadaan otak sudah tidak bekerja. Masih ada juga kemujaraban (efficacy) doa, yang lagi-lagi banyak diteliti secara ilmiah.

Bahkan, kenyataan adanya pengaruh pengamat pada perilaku obyek fisik di tingkat subatomik, seperti diungkap oleh teori ketidakpastian Heisenberg, juga dijadikan bukti. Bahwa ada kesadaran yang saling berinteraksi antara manusia dan benda yang bisa diyakini sebagai menunjukkan bahwa sumbernya ada di luar manusia atau benda itu. []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Pocket Mindfulness

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *