Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 15 September 2020

Kolom Haidar Bagir – Religiusitas cuma Gejala Neurologis atau Malah Neurotik Belaka? Mari Menjadi Peneliti yang Lebih Berhati-hati


islamindonesia.id – Religiusitas cuma Gejala Neurologis atau Malah Neurotik Belaka? Mari Menjadi Peneliti yang Lebih Berhati-hati

Religiusitas cuma Gejala Neurologis atau Malah Neurotik Belaka? Mari Menjadi Peneliti yang Lebih Berhati-hati

Oleh Haidar Bagir| Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan penulis buku Sains Religius, Agama Saintifik: Dua Jalan Mencari Kebenaran

Sebagian orang – yang skeptik atau bahkan anti-agama – belakangan berusaha menjelaskan religiusitas dan pengalaman religius sebagai sekadar gejala neurologis – malah mungkin neurotik saja. Sambil dengan gegabah menyimpulkan bahwa sesungguhnya – karena ia hanya merupakan hasil operasi neurologis – maka sesungguhnya religiusitas atau pengalaman religius itu bersifat artifisial. Semacam manipulasi serebral yang tidak real. Sebutlah waham (delusi), kalau mau.

Di salah satu bab sebelum ini (di dalam buku karya Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul Sains Religius, Agama Saintifik: Dua Jalan Mencari Kebenaran-red) saya sudah mempersoalkan loncatan kesimpulan yang diambil oleh orang-orang seperti ini.

Yakni, apa yang bisa membuat kita merasa pasti bahwa gejala neurologis itu adalah sumber dari pengalaman religius itu, dan bukan hanya gejala antara atau gejala ikutan yang diakibatkan oleh sesuatu yang berasal dari sumber yang lain?

Sebagian orang lalu berusaha lebih jauh untuk mendesakralisasi religiusitas dan pengalaman religius dengan menunjukkan bahwa pengalaman yang sama sesungguhnya bisa diinduksi dengan sekadar zat psikotropika belaka.

Kenyataannya, menurut penelitian, bahkan penyakit tertentu pun – seperti epilepsi atau kerusakan otak – bisa menghasilkan pengalaman yang sama. Benarkah argumentasi ini? Mari kita lihat.

Para peneliti dalam bidang ini menunjukkan bahwa pengalaman religius umumnya mencakup keadaan-keadaan sebagai berikut:

1. Perasaan hilangnya waktu dan kesadaran diri.

2. Ketakjuban spiritual.

3. Kebersatuan dengan alam semesta.

4. Ketercekaman hingga hilang sadar, yang bersifat ekskatik (menimbulkan kegembiraan yang meluap-luap).

5. Pencerahan tiba-tiba.

6. Keadaan-keadaan kesadaran yang berganti (altered states of consciousness).

Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu terlebih dulu membedakan 3 (tiga) hal yang selama ini sering dikacaukan sehubungan dengan masalah pengalaman religius ini. Bahwa ada beda penting antara pengalaman religius, pengalaman mistik, dan pengalaman spiritual.

Bahwa dua yang disebut terdahulu – yakni pengalaman religius dan pengalaman mistik – melibatkan keyakinan akan adanya sesuatu yang bersifat supranatural dan puncak (ultimate) dalam kehidupan serta mentransendesikan semua keberadaan. Disebut Tuhan, Allah, Kasih, Yahwe, bahkan Logos, atau yang lain.

Sedang pengalaman spiritual tak meniscayakan itu. Yang terlibat “hanyalah” sesuatu yang melampaui yang sekadar jasmaniah atau material. Sesuatu – yang seperti makna kata “spiritual” – itu sendiri, adalah sumber kehidupan. Yakni sumber kehidupan bagi yang, otherwise, hanya materi mati.

Sesuatu yang lebih luhur, tapi tak mesti adalah sumber atau pencipta segala sesuatu, lengkap dengan berbagai sifat kemahaannya, yang sampai batas tertentu personal dan menggentarkan. Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Menghukumi, dan sebagainya.

Sementara beda pengalaman religius dan pengalaman mistik biasa adalah – meski sama-sama melibatkan gagasan tentang apa yang sering disebut sebagai “Tuhan” itu – pengalaman religius melibatkan semacam aspek eksoteris berupa aturan-aturan dan hukum-hukum lahiriah yang harus ditaati, dan seringkali juga menjadi wahana bagi pencapaian pengalaman religius itu sendiri.

Sementara itu, memang telah pula diteorisasikan bahwa ada 5 (lima) kategori sumber atau jalan menuju apa yang bisa dilihat sebagai pengalaman religius:

1. Jalan spontan, termasuk melamun/santai dalam keadaan pikiran kosong (day-dreaming) atau pengalaman dekat kematian (near death experience).

2. Jalan fisik atau fisiologis, termasuk pantang makan dan hubungan seks.

3. Jalan psikologis, menggunakan musik, meditasi, hipnosis, dan sebagainya.

4. Jalan penyakit (patologis), termasuk keadaan epileptik, kerusakan otak yang menyebabkan kemampuan berpikir rasional-transaksional hilang, laku memperkuat kemampuan berpikir “religius”, dan sebagainya.

5. Jalan penggunaan obat-obatan farmakologis, seperti pengunaan zat-zat psikotropika/psikedelik atau bahkan hanya minum anggur saja.

Pertanyaan saya, dalam arti problem riset, tentang beda apa yang dianggap sebagai semacam pengalaman religius yang diinduksi/tercipta oleh berbagai jalan non-religius tersebut di atas:

1. Apakah “non-religiously achieved religious experience” memiliki real/genuine epistemic value (nilai pengetahuan)? Atau cuma, psikologis – membuat nyaman/tenteram/gembira dan, paling jauh, motivasional?

2. Setidaknya dalam Islam, bahkan saya kira juga dalam berbagai mistisisme religius lainnya, mistisisme itu bahkan bukan hanya persoalan epistemik belaka – kalau pun jalan-jalan non religius punya nilai epistemik (kenyataannya, jika dilihat kesimpulan dari hasil-hasil riset di atas, yang terjadi paling banter adalah “pencerahan yang datang tiba-tiba”).

Sampai di sini pun sudah ada perbedaan besar dengan apa yang saya sebut sebagai adanya nilai epistemik. Karena episteme sesungguhnya bermakna pengetahuan yang mengandung unsur analitis dan sistematis.

Jadi bisa diperbedakan dari “sekadar” perasaan telah mendapatkan kesadaran baru, yang unsur-unsurnya sesungguhnya masih misterius. Sementara, mistisisme religius bukan cuma soal pengetahuan (doxa), tapi juga praksis (praxis). Yakni sebagai akar dari perilaku/akhlak mulia.

Dan akhlak mulia itu, berangkat dari pengetahuan spiritual, lalu dikembangkan lewat practical-religious excercise (mujahadah dan riyadah). Jalannya sangat panjang dan berat. Hampir bisa dipastikan jalan-jalan non-religius itu tak bisa menggantikan ini.

Seorang sufi yang sangat tidak ortodoks dan highly theoretical/philosophical, yakni Ibnu Arabi, bahkan mendefinisikan tasawuf sebagai “berakhlak dengan Akhlak Allah”. Dan Akhlak Allah direpresentasikan oleh asma’ (nama-nama)-Nya. Jadi tetap saja puncaknya adalah praksis.

Catatan akhir: Mungkin setelah membaca tulisan ini, ada yang bilang: “Ah, kan pengetahuan dan akhlak mulia enggak cuma bisa diperoleh dari agama? Bahkan selama ini sudah terbukti bahwa sumber-sumber non-agama lebih mampu melahirkan akhlak dan pengetahuan?!”

Jawab saya, itu soal lain. Dan ada tajuk khusus untuk mendiskusikan soal yang satu ini. Ini adalah soal praktis. Tapi tulisan di atas sedang mendiskusikan tentang kebenaran (kenyataan/realitas) kehidupan: realitas keberadaan, tentang apakah ada Tuhan, tentang apakah klaim agama tentang keberadaan Tuhan memang punya tempat untuk diwacanakan. Sementara diskusi tentang nilai instrumental agama adalah soal lain. Ia tentu saja layak didiskusikan juga, tapi di bawah suatu tajuk yang lain. Tabik…. []

PH/IslamIndonesia/Foto utama: suara.com/Pebriansyah Ariefana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *