Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 13 December 2022

Kolom – Haidar Bagir: Saya, Klep Jantung, Dan Meditasi Pernapasan (4)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Saya, Klep Jantung, Dan Meditasi Pernapasan (4)

Napas adalah hidup, yang menghidupkan bukan hanya fisik kita, melainkan juga pikiran, dan ruh.

Kita sering lupa, bahwa, seperti yang disifatkan kepada Allah sendiri – nafh ar-ruh (menghembuskan ruh/angin/napas) – adalah menghidupkan manusia. Dan menghidupkan semuanya.

Bukankah Nabi saw mengatakan bahwa segenap alam semesta adalah keluarga (‘iyal) Allah?

Bukankah bukan hanya burung-burung, seperti difirmankan-Nya dalam Kitab Suci, batu pun punya kesadaran?

Tapi bukan itu saja. Nabi bersabda: “Jangan mengutuk angin, karena angin adalah (napas) Tuhan“. Angin menggiring awan, sumber air hujan yang menghidupkan segala sesuatu, membantu penyerbukan, dan lain-lain. Kenyataannya, adalah napas “Sang Maha Pengasih” (Nafasur-Rahman) yang mewujudkan semua ciptaan.

Maka, mengingat dan menyadari napas sesungguhnya adalah selalu memelihara kesadaran kita bahwa kita hidup di setiap saat. Dari detik ke detik. Dari napas ke napas.

Dengan kata lain, menyadari keberadaan diri pada momen demi momen sekarang.

Di sisi lain, Rasulullah bersabda: “Tasbih dan Tahmid bagi (pada mereka yang menjaga napas) sama biasanya seperti (atau seiring dengan) bernapas itu.”

Seperti semua hal lain dalam tasawuf, penekanan atas pernapasan ini pada puncaknya memang terkait dengan kesadaran untuk mengingat Tuhan di setiap saat.

Jadi, dalam praktik pernapasan, Sufi berusaha untuk tetap berada di hadirat Tuhan setiap saat.

Memang, tidak menghayati napas dapat mengakibatkan kelupaan akan diri kita sendiri dan, pada gilirannya, berarti melupakan atau jahil akan Tuhan. Karena, seperti yang disabdakan Nabi: “Siapa yang tidak mengenali dirinya sendiri, tidak mengenali Tuhannya.”

Kenyataannya, dalam latihan pernapasan Sufi, seseorang berusaha untuk tetap berada di hadirat Tuhan di setiap napasnya.

Pada puncaknya, inti dari menjadi seorang Sufi atau manusia ruhani, menurut para Sufi sendiri, adalah selalu hidup di saat sekarang.

Sufi adalah putra saat ini, begitu kata mereka.

Menurut As-Shuufi ibnul-waqt: Seorang Sufi hidup pada momen saat ini.

Sebagai konsekuensinya, ia bebas dari (penyesalan akan) masa lalu dan (kecemasan akan) masa depan. Dan, sebagai gantinya, ia hidup dengan penuh ketenteraman dalam Allah.

Kiranya karena sedemikian pentingnya peran pernapasan dalam meditasi kesufian ini sehingga Rumi, salah satu sufi paling terkenal, memujikan praktik pernapasan yang dilakukan secara sadar dan penuh kedalaman (Hosh dar Dam atau Habje-daem).

Bahauddin Naqsybandi, pendiri tarekat terbesar Naqsybandiyah bahkan menyatakan:

“Tarikat (Naqsybandiyah) ini dibangun di atas napas. Karenanya, seseorang harus menjaga napasnya dalam tarikan dan hembusannya, dan juga harus menjaga masa jeda di antara tarikan dan hembusan itu.” (Selesai)

AL/Islam Indonesia/Featured Image: makassarwriters.com

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *