Satu Islam Untuk Semua

Friday, 04 December 2020

Dakwah Habaib di Indonesia dari Sejak Abad ke-14: Berdakwah dengan Cinta, Damai, dan Santun


islamindonesia.id – Dakwah Habaib di Indonesia dari Sejak Abad ke-14: Berdakwah dengan Cinta, Damai, dan Santun

Al-Faqih al-Muqaddam adalah seorang ulama kenamaan asal Yaman dari abad ke-6, dia adalah leluhur para Habaib yang kini tersebar di berbagai manca negara. Dalam salah satu kisah hidupnya, suatu waktu dia didatangi tentara kerajaan. Saat itu dia melakukan demonstrasi pematahan pedang lalu berkata, “Senjata kami adalah ilmu, bukan pedang.”

Demikianlah sekilas kisah yang disampaikan oleh Mabda Dzikara, selaku moderator dalam acara Webinar Halaqah Kebangsaan dengan tema Manhaj Dakwah Habaib dalam Konteks Keindonesiaan yang diselenggarakan oleh Sanad Media pada Selasa (1/12), sebagaimana dilansir dari harakah.id.

Dua tokoh Habib Indonesia hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, mereka adalah Haidar Bagir dan Husin Nabil Assegaf. Acara itu diikuti oleh 200 orang peserta melalui aplikasi konferensi daring.

Habib Husin mendapatkan kesempatan pertama untuk berbicara, dia menyampaikan tentang asal-usul Bani Alawi yang merupakan keturunan dari Sayyidina Husain bin Ali, cucu Rasulullah saw. Menurutnya, rata-rata Habaib di Indonesia berasal dari Bani Alawi dan dakwah mereka selama ini mengedepankan rahmat dan kasih sayang.

Habib Husin lalu menegaskan bahwa tolok ukur seseorang untuk mendapatkan rahmat Allah adalah sampai sejauh mana dia dapat berlemah lembut kepada makhluk lain. 

Mengutip QS an-Nahl ayat 125, murid Habib Umar bin Hafidzh asal Yaman ini mengingatkan bahwa tujuan dakwah adalah menuju jalan Allah, bukan untuk jalan kelompok, kepentingan golongan, apalagi partai politik.

Dia juga menambahkan bahwa dakwah itu harus disertai dengan hikmah, yang artinya ilmu dan kebijaksanaan, serta mauizah yang berarti kata-kata bagus, sopan, dan tidak menyakitkan.

“Dakwah bukan sekadar menyampaikan kebenaran,” jelasnya, “namun bagaimana kebenaran diterima (sebagai) objek dakwah.”

“Sekarang terjadi pengobralan label ulama, padahal ulama adalah pemegang kekhalifahan batiniah, yang sedari dulu dipegang oleh keturunan Nabi (Hasan dan Husain serta anak keturunannya),” tambahnya.

Habib Husin kemudian menjelaskan bahwa perpindahan kekuasaan dari Sayyidina Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan hanya sebatas kekhalifahan lahiriah saja, karena kekhalifahan batiniah pada hakekatnya masih dipegang oleh dzuriyah (keturunan) Nabi Muhammad saw.

“Mereka tidak mengejar kekuasaan, karena berkiblat kepada Sayyidina Hasan yang rela menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dan anak-anaknya. Fokus Bani Alawi adalah keselamatan umat,” tegasnya.

Kemudian Haidar Bagir selaku pembicara kedua berbicara tentang sejarah fenomena Islam di Indonesia. Islam Nusantara dalam pandangan beliau sudah ada semenjak enam abad lalu, jauh sebelum keberadaan Walisongo, dan hal itu telah menjadi corak Islam di Indonesia hingga awal abad ke-20 sebelum kedatangan kelompok-kelompok Islam yang lain.

Haidar menjelaskan bahwa Islam Nusantara ditandai dengan interaksi antara orang-orang Indonesia (al-Jawi) dengan ulama-ulama Hadhramaut, Yaman. Pada abad ke-14, seorang ulama sufi Abdullah bin Mas’ud al-Jawi (dari Aceh) menjadi guru dari seorang tokoh sufi di Yaman. Pengertian Jawa pada masa itu mencakup nusantara secara luas.

Lalu datang era Walisongo. Kemudian selama abad ke-17 dan 18, banyak ulama Indonesia belajar ke Yaman. Sebagai contoh, Syekh Yusuf Makasari ke Yaman bertemu Abdullah al-Haddad. Murid Al-Haddad, Abdurrahman bin Abdillah berbaiat 30 tarekat kepada Syekh Yusuf, termasuk Tarekat Khalwatiyah.

“Masyarakat Indonesia memeluk Islam karena notabene tabiat penduduk Nusantara baik dan kalem dan selaras dengan perangai para pendakwah yang datang dari Yaman,” jelas Direktur Utama Kelompok Mizan itu.

Dia lalu menggarisbawahi bahwa pertalian Islam di Indonesia selama beradab-abad lebih berbasis kepada tasawuf atau tarekat. “Inilah alasan mengapa Islam tidak hilang meski dijajah selama 350 tahun oleh Belanda,” imbuhnya.

Selama berada-abad hubungan Habaib dan Ulama (Kyai) berjalan baik, mereka memiliki hubungan sebagai sahabat ataupun sebagai guru dan murid. Sebagai contohnya, dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, tercantum nama tokoh di luar Kyai yang bernama Habib Abdullah bin Ahmad Assegaf, penulis Fatat Garut.

Haidar menyimpulkan bahwa pilar kebangsaan Indonesia, salah satu yang paling kuat adalah Islam yang terkait dengan Tarekat Alawiyah. Ia merupakan cerminan Islam Nusantara yang sudah ada bahkan sebelum era Walisongo.

Dalam sesi tanya jawab salah seorang peserta bertanya tentang fenomena metode dakwah yang keras. Habib Husin menjawab, bahwa lunak dan keras itu ada tempatnya masing-masing. Cara itu lebih terkait pada sikap, bukan penyampaian.

Kemudian terkait sejauh mana peran wanita dalam tradisi Tarekat Alawiyah, Haidar berbagi pengalaman, dia menjelaskan bahwa keluarganya selama ini tidak mengekang kaum wanita.

Banyak anggota keluarganya yang aktif di ruang publik, membuka usaha, mengurus pendidikan, dan berbagai bidang kemasyarakatan lainnya.

Ketika ditanya tentang dakwah Habib Rizieq Shihab, Habib Husin menjawab bahwa dakwah beliau populer karena memiliki banyak massa.

Namun ada pula habib-habib lain yang juga memiliki jamaah tidak kalah banyak dengannya. Beliau menyebutkan antara lain Habib Luthfi bin Yahya dan Habib Jindan bin Novel.

Haidar Bagir menjawab dari sisi lain, menurutnya dakwah Habib Rizieq bukan dakwah khas Indonesia. Dia lalu menjelaskan bahwa sekarang sedang terjadi era pengerasan identitas yang terjadi secara global.

Sebagai contohnya adalah kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dalam Pilpres sebelumnya dan kemenangan Modhi di India. Menurut Haidar, cara kampanye mereka berangkat dari pengerasan identitas, baik yang berlatar belakang agama, suku, maupun politik.

Haidar yang pernah masuk dalam daftar 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh itu menjelaskan bahwa pengerasan identitas terjadi pada masa Post Truth (Pasca-Kebenaran).

Yang sedang terjadi di Indonesia adalah pengerasan identitas Islam, yang biasanya menjangkiti kelompok mayoritas. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pengerasan identitas adalah karena struktur ekonomi dan politik negara belum mencapai tingkat keadilan yang cukup.

Haidar melihat bahwa pengikut Habib Rizieq selama ini kebanyakan berasal dari pihak-pihak yang termarjinalkan secara politik dan ekonomi.

Solusi mengatasi pengerasan identitas yang mengidap kalangan mayoritas di antaranya adalah dengan cara memperbaiki struktur masyarakat dan tatanan pemerintahan yang lebih adil.

Sebagai penutup, Habib Husin mengingatkan bahwa dakwah harus diniatkan untuk mencari ridha Allah, karena niat akan menentukan hasil.

“Dalam berdakwah, kita harus mencontoh jalan Nabi. Prinsip dasar dakwah beliau adalah rahmat dan kasih sayang. Yang harus kita hindari adalah kebencian,” pungkasnya.

Adapun Haidar mengingatkan bahwa tugas semua warga Indonesia adalah menjaga agar Islam menjadi agama yang damai dan penuh kasih sayang, supaya bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain.

“Caranya adalah dakwah dengan cinta, dakwah dengan damai, dan dakwah dengan santun,” tutup Haidar.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Nuralwala

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *