Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 21 June 2022

Kolom Haidar Bagir: Pemahaman Islam dalam Pusaran Zaman Fitnah (Kekacauan)


islamindonesia.id – Kolom Haidar Bagir: Pemahaman Islam dalam Pusaran Zaman Fitnah (Kekacauan)

Pemahaman Islam dalam Pusaran Zaman Fitnah (Kekacauan)

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

“Siapa pun yang berkata tentang Al-Qur’an dengan ra’yu-nya, maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Turmudzi, dan yang lain)

Apa yang dimaksud ra’yu? Tanpa berpanjang lebar, kita bisa menyisikan kemungkinan makna ra’yu sebagai akal (nalar) yang sehat. Akal (dan nalar yang sehat) sudah jelas diperlukan dalam memahami agama, termasuk Al-Qur’an.

Bukankah ra’yu bahkan dimasukkan sebagai salah satu prinsip berijtihad?

Maka makna ra’yu di sini mestilah sesuatu yang lain. Para ulama pun memahaminya sebagai opini, yang keluar dari hawa nafsu, atau tanpa ilmu. Khususnya ilmu memahami Al-Qur’an.

Kalaulah tidak harus dimaknai sebagai penguasaan ilmu alat dan ilmu-ilmu lain yang terkait oleh individu yang berbicara tentang Al-Qur’an, setidaknya hal itu bisa dimaknai sebagai keharusan merujuk kepada pandangan ulama—meski mungkin disertai langkah memilih yang sesuai dengan atau yang lebih meyakinkan kita dari semua pandangan ulama yang ada—menguasai semua ilmu alat dan ilmu-ilmu lain yang terkait itu.

Maka, tak ada pilihan bagi non-ulama untuk menafsirkan Al-Qur’an, kecuali dengan merujuk kepada ulama yang otoritatif.

Kalau boleh mengutip Herbert Spencer: “Opini pada puncaknya dibentuk oleh perasaan (emosi), dan bukan dengan intelek.” Dalam pemahaman yang luas, intelek maknanya lebih dekat kepada dzawq, bukan nafsu dan kejahilan. Tercakup di dalamnya akal/nalar, dan hati (yang bersih dari hawa nafsu dan kejahilan).

Kenyataannya, hadeeeeh… , begitu banyak sekarang bertebaran di sosial media, opini-opini tentang Islam—atau pandangan keislaman orang lain—yang dibentuk oleh ra’yu dalam makna negatif ini.

Sekadar orang lancar ngomong, baca makna Qur’an lewat terjemahan (kadang terjemahannya pun salah-salah), atau sekadar mendengar dari pseudo ulama (yang bicara ngawur tanpa rujukan memadai dan metode riset, serta cara berpikir yang lurus), mereka sudah nekat bicara tentang Al-Qur’an.

Mereka bikin konten podcast, YouTube, meme, Tiktok, Instagtam Reels, dan lain-lain dengan gaya sok pintar yang na’uudzu bilLaah. Orang-orang seperti ini jumlahnya makin lama makin inflasi di mana-mana di dunia Islam. Konten mereka pun makin lama makin banyak, berlimpah, dan membanjir. Mengalir ke mana-mana bagai bah, membuat kerusakan yang makin lama makin besar juga.

Maklum, makin banyak orang awam juga yang mendengar dan percaya –bagaimana tidak, lha wong mereka juga tidak punya ilmu untuk menilai kualitas konten-konten dan kualitas pseudo ulama yang berada di belakang semua konten itu? –maka, sudah benarlah kalau ada orang yang percaya bahwa zaman ini adalah zaman fitnah. Zaman fitnah besar yang tak kalah besar dibanding masa-masa al-fitnah al-kubra, yang merentang sejak masa-masa Khalifah Utsman hingga penindasan dan pembunuhan para cucu Nabi dan para pendukungnya.

Maka, mungkin memang sudah waktunya kita berpegang teguh pada ajaran Nabi dan sahabat tentang bagaimana seharusnya kita membawa diri pada zaman fitnah seperti ini (lihat tulisan saya yang berjudul Panduan Mengambil Sikap dalam Fitnah [Kekacauan]).

Saya pun benar-benar belum melihat ada cahaya di ujung kegelapan terowongan fitnah ini. Saya khawatir, bukan saja belum tampak cahaya, melainkan kegelapan ini makin lama masih akan makin pekat dan meluas. Entah bagaimana cara melawannya.

Maka tak heran jika sebagian orang meyakini—dengan alasan yang tak selalu sama dengan para penunggu juru selamat yang lainnya—bahwa hanya Imam Mahdi saja yang bisa menyelamatkan kita dari fitnah besar ini.

Betulkah? Apakah ini jangan-jangan cuma suatu bentuk keputusasaan saja?

Tentu tidak, kalau pun kita percaya bahwa memang hanya Imam Mahdi yang bisa menuntaskan masalah ini, maka tetap menjadi kewajiban bagi semua orang untuk berjihad—berusaha keras, sesuai batas-batas kemampuannya—untuk menyiapkan panggung bagi kedatangan Imam Mahdi (lagi, sila baca tulisan saya dengan judul yang tersebut sebelum ini).

Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. WalLaah a’lam bish-shawab.[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *