Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 29 April 2020

Kolom Haidar Bagir – Kenapa Syaikhul Akbar Ibnu Arabi Memerlukan untuk Membahas Bau Mulut Orang Berpuasa?


islamindonesia.id – Kenapa Syaikhul Akbar Ibnu Arabi Memerlukan untuk Membahas Bau Mulut Orang Berpuasa?

Kenapa Syaikhul Akbar Ibnu Arabi Memerlukan untuk Membahas Bau Mulut Orang Berpuasa?

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Salah satu uraian menarik Syaikhul Akbar di Futuhat Makkiyah tentang puasa adalah dalam bab “Bau Mulut Orang Berpuasa”. Membaca ini mungkin sebagian orang sudah mengernyitkan alis. Kenapa Syaikhul Akbar, yang terkenal dengan pikiran-pikiran filosofisnya yang begitu canggih dan rumit itu, sampai membahas soal bau mulut di magnum opus nya itu?

Bahkan orang yang membaca langsung Futuhat pun bisa bingung kalau tak paham matriks dasar-dasar pemikiran Ibnu Arabi.

Dalam bagian ini, Ibnu Arabi mengisahkan kejadian yang dialaminya sendiri ketika beliau berada di Masjid Nabawi. Muazzin di masjid itu adalah Musa bin Muhammad al-Qabbab. Orang ini suka memakan makanan yang baunya tidak sedap, sehingga mengganggu sekitarnya.

Lalu Ibnu Arabi pun meminta agar dia tak memakan makanan tersebut karena secara syariah hal itu makruh (tidak disukai). Bahkan malaikat pun, seperti umumnya manusia, tak suka bau-bauan yang tak sedap.

Hingga di malam harinya Ibnu Arabi bermimpi Allah menegurnya. “Kau tidak tahu,” kata Allah, “bahwa bau-bauan yang tak sedap bagimu itu terasa harum padaku.” Ibnu Arabi shock mengalami mimpi tersebut.

Dia lalu menyampaikan hal tersebut kepada Musa bin Muhammad al-Qabbad. Al- Qabbad begitu terharu dan bersyukur kepada Allah, meski dia memutuskan untuk selamanya menghindari makanan tersebut karena keinginan menaati syariah.

Semua orang tahu bahwa, khususnya ketika akan ke masjid, dimakruhkan bagi kita untuk memakan makanan yang baunya keras dan tidak sedap, agar tak mengganggu konsentrasi orang lain dalam beribadah. Tapi, di sisi lain, Allah menyatakan bahwa bau mulut orang berpuasa – yang normalnya tidak sedap – dalam penciuman Allah terasa seperti bau misik (minyak kesturi).

Nah, ada sedikitnya dua pelajaran yang bisa diambil dari sini.

Pertama, bahwa sedap-tidak sedapnya bau itu relatif, di mata manusia (maupun mata malaikat) dan di sisi Allah. Hal ini sekaligus bisa menjawab kritik orang – yang sinis – terhadap faham wahdatul wujud. Seperti banyak diketahui, dalam wahdatul wujud, wujud diyakini sebagai tunggal. Bahwa semua wujud berpartisipasi dalam wujud Allah.

Dengan kata lain, semua makhluk adalah tajalliyat (manifestasi, pengejawantahan) Allah Swt. Dalam bahasa Alquran, semua makhluk adalah tanda-tanda (aayaat) Allah Swt. Dalam ungkapan yang lebih lugas, meski kontroversial, wahdatul wujud menyatakan bahwa, “Semua adalah (bagian) Allah Swt.”

(Perlu saya tegaskan di sini, anggapan bahwa wahdatul wujud menyamakan Allah dengan makhluk adalah sama sekali tidak benar. Ini hanyalah akibat ketidakpahaman orang terhadap paham wahdatul wujud.

Wahdatul wujud, meski juga mengajarkan adanya sebatas tertentu aspek tasybih/keserupaan Allah dengan makhluk, pada waktu yang sama sangat keras dalam menegaskan tanzih/keberbedaan mutlak Allah dengan makhluk.

Untuk pembahasan mengenai masalah ini, silakan antara lain baca buku saya, Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi.)

Nah, di antara yang menolak, bahkan sinis terhadap faham ini, ada yang merasa telah berhasil membuktikan kesesatan paham ini dengan melontarkan apa yang mereka anggap sebagai retorika: “Berarti benda-benda yang jelek, atau berbau tidak enak, dan sebagainya juga Allah?”

Lalu berpikir bahwa perdebatan sudah selesai. Karena, siapa yang berani mengaitkan Allah, yang memang Maha Suci, dengan hal-hal seperti itu? Kalau ini bukan penistaan Allah, mau disebut apalagi? Nah, sebetulnya ada jawaban mudah terhadap sinisme itu. Apalagi setelah kita ketahui argumentasi tentang sedapnya bau orang berpuasa di sisi Allah.

Pertama, siapa yang bilang bahwa benda-benda yang jelek itu betul-betul  jelek dalam dirinya? Benda-benda yang tampak jelek, atau berbau tidak sedap dalam kejelekan dan ketidaksedapan baunya, diketahui adalah barang yang memiliki manfaat tersendiri.

Tak ada ciptaan Allah yang tidak bermanfaat. Semua orang sekarang sudah tahu bahwa bahkan kotoran hewan amat bermanfaat sebagai (bahan untuk membuat) pupuk untuk menyuburkan tanaman. Bagaimana dengan soal baunya yang tak sedap?

Soal ini pun bisa kita jawab dengan cara sederhana. Betapa banyaknya zat-zat kimia yang amat penting bagi kehidupan, ternyata berbau tidak sedap juga. Maka, apakah kita bisa bilang bahwa kotoran hewan itu buruk karena baunya yang tidak sedap?

Sampai di sini saja, tentu kita sudah tak bisa bilang bahwa kotoran hewan itu buruk. Apalagi setelah kita dengar penjelasan Syaikhul Akbar tentang bau mulut orang berpuasa di atas.

Bukan saja, melalui Nabi-Nya, Allah sudah dengan tegas menyatakan bahwa bau mulut orang berpuasa itu seperti minyak kesturi, hal itu ditegaskan dengan pengalaman pribadi Ibnu Arabi yang menegaskan keharuman bau mulut orang yang berpuasa bagi Allah.

Jika bau mulut orang berpuasa yang disepakati manusia (dan malaikat) ketaksedapannya, ternyata sedap di sisi Allah, siapa yang biasa bilang bahwa barang yang tampaknya jelek atau berbau tidak sedap sudah pasti jelek atau tak sedap di sisi Allah?

Jangan-jangan, sebaliknya dari penistaan Allah, orang-orang yang sinis terhadap paham wahdatul wujud dengan cara ini, itulah yang justru menista benda-benda ciptaan Allah?

Hikmah kedua yang bisa dipungut dari pembahasan tentang bau mulut orang berpuasa ini adalah, tidaklah mungkin bau mulut orang yang ibadahnya telah mengangkatnya sehingga (berupaya) meniru Allah (lihat tulisan saya sebelum ini: Ibadah Unik untuk Bertemu yang Maha Unik: Puasa menurut Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi) tidaklah sedap. Tak mungkin orang yang berupaya meniru Allah, bau napasnya akibat ibadah itu, tak sedap.

Dalam bab “Hikmah Ketunggalan dalam Tatakan Cincin Muhammadiyah” dalam buku Fushushul Hikam, Ibnu Arabi mengutip hadis tentang tiga hal yang dijadikan Rasul saw mencintainya: (Prinsip Ke-)wanita(-an), wangi-wangian, dan salat”.

Nah, ketika membahas wangi-wangian, sampai batas tertentu Ibnu Arabi mengaitkannya dengan nafasur-Rahman (nafas Sang Maha Pengasih) yang tak lain adalah “pita” materi penciptaan makhluk-makhluk. Dengan kata lain, wangi-wangian menyimbolkan harummya Nafas Allah sebagai materi penciptaan itu.

Sehingga, tak ada lain, bau mulut yang lahir dari nafas orang yang berupaya meniru Allah dengan puasa, pastilah harum juga. Kalau tidak harum di hidung manusia (dan malaikat), tentulah ia harum di sisi Allah. WalLaah a’lam hish-shawaab.

Catatan Akhir

Ada setidaknya tiga posisi mengenai tindakan Allah yang terkesan menyerupai tindakan manusia – dalam hal ini mencium bau – dalam pemikiran Islam. Pertama, bahwa hal-hal demikian harus dianggap metafor, dalam makna Allah tidak melihat, mencium, memegang, dan berjalan. Pertanyaannya, apa makna metaforika “Allah melihat” dasarnya itu?

Posisi ekstrem lain, adalah posisi mujassimah (korporealisme). Bahwa Allah benar-benar melakukan semua hal itu sebagaimana makhluk melakukannya. Ilustrasinya seperti riwayat Ibnu Battutah tentang korporealisme Ibnu Taymiyah (terlepas dari apakah periwayatannya benar atau keliru).

Yakni ketika menjelaskan tentang ayat “Allah turun”, maka Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa turunnya Allah adalah seperti turunnya Ibnu Taymiyah dari mimbar tempat dia berceramah, sambil dia benar-benar memeragakan dirinya turun dari mimbar.

Posisi tengah diambil oleh Ibnu Arabi. Hal ini dilakukan dengan mengadopsi gagasan tentang a’yaan tsabitah. Penjelasannya agak panjang, tapi sebetulnya sudah pernah saya singgung beberapa kali rasanya.

Mudahnya, a’yaan tsaabitah adalah semacam blueprint ilahiyah yang merupakan model semua ciptaan, lengkap dengan fungsi-fungsinya. Bahwa semuanya, secara bertingkat memiliki kesejajaran atau bentuk lebih tinggi sesuai martabat wujud itu sampai ke a’yaan tsaabitah.

Contohnya mencium itu (tepatnya, menghidupkan). Jadi, Allah pun mencium, tapi cara menciumnya adalah berbeda, sesuai dengan martabat keilahiannya. Ini kadang dikaitkan dengan pemahaman analogis (musytarak al-lafdz atau analogi).[]

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Lukisan tentang Ibnu Arabi dengan murid-muridnya, dari Persia (abad 16)/Sumber: Koleksi milik Bodleian Library, Oxford

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *