Satu Islam Untuk Semua

Friday, 17 April 2020

Kolom Haidar Bagir – Ibadah Unik untuk Bertemu yang Maha Unik: Puasa menurut Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi


islamindonesia.id – Ibadah Unik untuk Bertemu yang Maha Unik: Puasa menurut Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi

Ibadah Unik untuk Bertemu yang Maha Unik: Puasa menurut Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi

Oleh Haidar Bagir | Presiden Direktur Kelompok Mizan, penulis buku-buku tentang Tasawuf, dan Dai Islam Cinta

Betapa pun salat adalah ibadah yang utama, menurut Ibnu Arabi tetap saja puasa adalah ibadah (penghambaan) yang paling sempurna – bahkan lebih dari salat. Salat itu adalah sarana munajat (curhat) manusia dengan Allah, sedang puasa merupakan sarana musyahadah (bertemu, atau “menjadi/menyatu”) dengan Allah Swt.

Seperti dikatakan  Nabi saw, tak ada ibadah yang seperti ibadah puasa. Karena, dalam puasa, Allah sendiri – dan bukan “cuma” kesempatan berhubungan dengan-Nya – yang menjadi imbalannya.

Maka, melalui puasa, – yang merupakan ibadah yang unik – manusia pun bisa berjumpa dengan “Yang tak ada sesuatu yang seperti-Nya” (laysa ka-mitsliHi syai’). Yakni “Yang Unik” pula.

Puasa itu artinya menahan diri (dari sesuatu yang berada di luar kita). Sesuatu yang menunjukkan kepasifan. Menolak “dipersekutukan”/bergantung dengan yang lain: nafsu makan, nafsu berantem, dan lain-lain. Lalu membiarkan diri kita tetap berada dalam dirinya sendiri, sehingga kita memelihara keberbedaan diri kita dari segala sesuatu yang lain.

Dengan demikian, menjadi seperti Allah, yang memiliki sifat shamadaniyah (shamadiyah): Unik dan berdiri atas dirinya sendiri, serta tak butuh kepada yang lain. Puasa, dengan demikian, mengangkat pelakunya ke maqam keilahian.

Puasa membawa pelaku puasa bertemu Allah, meski dalam keadaan Dia Swt memanifestasikan sifat tasybih (imanen/keserupaan) -Nya (dengan makhluk-Nya). Sementara sesungguhnya Allah Swt, yakni dalam Dzat-Nya, bersifat tanzih sepenuhnya (transendensi, keberbedaan dari yg lain).[1] Maka Allah adalah Dia/Bukan Dia. Dia adalah dia dalam sifat tasybih-Nya, dan Dia Bukan Dia dalam sifat tanzih-Nya.

Maka oleh Allah dalam hadis qudsi, puasa secara khusus disebut “untuk-Ku”. Untuk shamadaniyah-Nya. Dan “Allah sendiri” – dengan “tangan-Nya”— yang akan memberi pahala puasa. Bahkan menjadikan dirinya sebagai imbalan puasa itu sendiri.

Karena, meski yang melakukan ibadah puasa itu adalah manusia pelaku puasa itu, sesungguhnya manusia yang berpuasa itu sedang mengimitasi Allah – mengingat sifat puasa yang menolak sesuatu yang di luar dirinya itu.

Sehingga ketika – seperti dalam sebuah hadis dikatakan – orang berpuasa itu mendapatkan pahala bertemu Allah (di samping kegembiraan makan “enak” ketika buka puasa), hakikatnya adalah Allah bertemu dengan diri-Nya sendiri.

Memang, seperti ketika membaca al-Fatihah[2] dalam salat, puasa juga dibagi dua antara Allah dan makhluk. Setengah hari puasa buat Allah, dan setengah hari sisanya tidak puasa, buat manusia. Tapi, sesungguhnya ketika bahkan kita sudah tidak berpuasa setelah berbuka itu, Allah menganjurkan kita untuk bangun dan salat malam.

Dan jika puasa di siang hari itu, dalam suatu hadis Nabi saw, disebut sebagai dhiya’ dan siraj (lampu, sumber cahaya), maka salat malam disebut nur (cahaya juga, tapi yang merupakan pendar/pantulan dari sumber cahaya (puasa) itu.[3]

Maka, bahkan ketika manusia tidak puasa (setelah berbuka, di malam hari) – yang secara lahir adalah untuk memberi makan aspek kehewanannya yang memang butuh makan itu – pada saat dia memberi makan nafsu kehewanannya itu sesungguhnya dia memberi makan dengan tangan Allah juga. Maknanya, pada akhirnya, seluruh ibadah kita di bulan puasa itu adalah untuk Allah jua…. []

Catatan Kaki:


[1] Yakni seperti metafor yang dibuat Alquran sehubungan dengan kisah Balqis dan Nabi Sulaiman bin Daud as. Yakni, ketika atas permintaan Balqis sendiri, Sulaiman as harus bisa membawakan istananya yang jauh di Saba ke tempat Nabi Sulaiman as.

Ketika kemudian, dalam sekejap mata, Balqis benar-benar melihat istananya terhampar di depan matanya, dia mengatakan bahwa istana yang dipersembahkan Sulaiman as itu seolah-olah seperti/musyabbah dengan istana Balqis. Padahal jika kita ketahui hakikatnya, sesungguhnya istana yang dipersembahkan Daud as adalah benar-benar istana Balqis itu sendiri.

[2] Dalam hadis qudsi difirmankan bahwa keseluruhan al-Fatihah itu dibagi dua. Setengah untuk Allah, yakni mulai “bismillah” hingga “iyyaaka na’budu” – yang di dalamnya manusia menyebut asma-Nya, memuji-Nya, dan menyatakan beribadah kepada-Nya.

Sementara setengah sisanya – mulai “iyyaaka nasta’iin” hingga “waladh-dhaalliin”, yang di dalamnya manusia meminta pertolongan kepada-Nya, meminta petunjuk-Nya dan memohon agar tak tersesat dan dimurkai-Nya – adalah untuk manusia.

[3] Dalam Alquran matahari, sebagai sumber cahaya, memang disebut sebagai dhiya’ dan siraj, sementara bulan – yang bukan sumber cahaya, melainkan pemantul cahaya matahari – disebut sebagai nur.

Catatan Tambahan:


Sebagian ayat dan hadis yang dipakai Ibnu Arabi ada di bagian ini (selain yang sudah disebut dalam body tulisan) :

“Maka ketika dia (Balqis) datang, ditanyakanlah (kepadanya), “Serupa inikah singgasanamu?” Dia (Balqis) menjawab, “Seakan-akan itulah dia.” (Dan dia berkata), “Kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada  Allah).” (QS an-Naml [27]: 44)

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya….” (QS al-Furqan [25]: 61)

“Puasa adalah untuk-Ku, dan Akulah yang memberi imbalannya.” (HR Bukhari 7/266)

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, kegembiraan (makan makanan ketika) berbuka, dan kegembiraan bertemu Rabb-nya” (HR Bukhari 7492 dan Muslim 1151)

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Mizan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *