Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 15 March 2016

OPINI – Demokrasi Kita Terancam?


 

Oleh Abdillah Toha

Biasanya kalau kita bilang demokrasi kita terancam, pikiran kita tertuju pada kemungkinan adanya kekuatan besar yang akan mengkudeta, membubarkan parlemen, institusi-institusi demokrasi dan sejenisnya, kemudian mendudukkan diri sebagai penguasa tunggal. Bukan. Bukan itu yang dimaksud. Akhir-akhir ini suasana Jakarta yang cuacanya masih sejuk berkat hujan disana sini, menjadi makin panas oleh hiruk pikuk wacana dan debat tentang pemilihan kepala daerah DKI yang sebenarnya masih agak lama, lebih dari sebelas bulan lagi.

Yang memperihatinkan, suasana persaingan demokrasi menjelang pilkada yang seharusnya menggairahkan telah berubah dan cenderung menguatirkan. Bukannya kampanye rasional yang dikedepankan tetapi emosi dan sentimen telah mengambil alih. Para pendukung bakal calon gubernur yang akan bertanding melawan gubernur petahana yang akan maju lagi, telah mengeksploitasi sentimen rasial dan agama. Pendukung petahana kemudian melayaninya dengan argumen agama dan ras juga. Bila hal ini berlanjut dan makin meningkat ketika masa pemilihan makin mendekat dan aparat hukum membiarkannya, maka bukan saja kualitas demokrasi kita akan merosot tetapi juga berbahaya bagi stabilitas negeri dan persatuan bangsa.

Sikap demikian sejauh ini tidak ditunjukkan oleh para bakal calon gubernur yang akan bersaing dengan petahana tetapi oleh para pendukungnya yang terlalu bersemangat, tanpa atau dengan sepengetahuan para bakal calon. Bukannya mengampanyekan keunggulan dan rekam jejak bakal calon, para pendukung itu lebih banyak menonjolkan kampanye hitam terhadap gubernur yang sekarang, lebih khusus lagi karena sang gubernur yang akan maju lagi dianggap mewakili ras tertentu dan bukan berasal dari kelompok penganut agama yang mayoritas.

Berbagai alasan dikemukakan agar warga tak memilih Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai gubernur mendatang. Perang ayat dan tafsir terjadi antara pendukung dan penolak Ahok. Masing-masing menempatkan diri sebagai wakil Tuhan. Yang lain mengatakan bahwa gubernur harus berasal dari dan mewakili kepentingan mayoritas agama dan suku. Bukan kepentingan kemaslahatan atau kepentingan kesejahteraan rakyat. Bila mayoritas agama atau mayoritas ras berhak menentukan siapa yang boleh maju sebagai pejabat politik, kenapa mayoritas orang miskin, atau mayoritas gender, atau mayoritas tingkat pendidikan tidak boleh?

Belum lagi ada partai politik yang tersinggung karena Ahok maju sebagai calon independen. Tidak melalui usungan partai. Dikatakan bahwa ini adalah tindakan deparpolisasi yang bertentangan dengan demokrasi. Suatu jalan pikiran kekanak-kanakan. Bukannya mengambil pelajaran dari situ tetapi menyalahkan calon independen. Bukankah seharusnya partai politik introspeksi mencari jawaban mengapa belakangan makin banyak calon kepala daerah yang maju sebagai calon independen? Bukankah ini disebabkan oleh kenyataan bahwa makin banyak orang berbakat yang segan masuk ke partai karena budaya partai yang feodal, dinastik, tertutup, dan tidak rasional?

Anehnya di Amerika, negeri yang sudah ratusan tahun melaksanakan demokrasi, saat ini sedang terjadi hal yang mirip dan serupa. Salah seorang bakal calon presidennya Donald Trump mencari dukungan dengan mengeksploitasi dan mengaduk-aduk sentimen agama dan ras. Sebagian analis mengatakan belum pernah sebelum ini suasana kampanye sangat panas seperti pada menjelang pemilu presiden saat ini disana. Sempat terjadi bentrok fisik antara pendukung dan lawan Trump. Para pengamat menuduh Trump telah merusak demokrasi dan meracuni pendukungnya di Amerika Serikat. Bahkan mengancam kelangsungan demokrasi itu sendiri bila sampai suasana panas ini tak terkendali. Ujungnya dikuatirkan, pemilu bukan diselesaikan di tempat pencoblosan tapi di jalanan dan tempat umum.

Demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. Setiap orang juga bebas berbicara dan mengutarakan pandangannya. Berkampanye sepuasnya untuk mendukung calon yang dianggapnya terbaik, tidak dilarang. Tapi demokrasi juga ada aturan mainnya. Ada hukum yang mengatur dan membatasi perilaku warga. Tujuannya tidak lain agar demokrasi itu sendiri selamat sampai tujuan. Bukan justru proses demokrasi yang keliru akan meruntuhkan demokrasi itu dengan munculnya orang kuat yang menghendaki ketertiban umum dan keselamatan warga. Contoh dalam sejarah sudah banyak sekali. Terbaru dan terdekat dengan kita adalah demokrasi di Thailand yang beberapa kali gagal dan ujungnya diambil alih oleh militer.

Bersitegang dalam bersaing sampai batas tertentu boleh saja. Tetapi ketika sentimen agama dan ras dimainkan melewati batas, maka warga telah memasuki arena yang sangat peka dan emosional yang dapat menyulut bentrok dan adu fisik. Bukan adu akal tapi adu emosi. Bukan adu argumen tapi adu caci maki. Bukan adu otak tapi adu otot. Dan tanda-tanda ke arah ini sudah mulai tampak. Saat ini masih terbatas di media sosial. Ketika hal ini terus berlanjut dan meluas sampai ke darat, makin mendekati masa pemilu makin panas, maka kerukunan akan terancam, persatuan nasional akan terpuruk, dengan konsekwensi kehancuran atas segala yang sudah kita bangun selama ini dengan susah payah.

Bisa saja apa yang disampaikan diatas barangkali dianggap kekuatiran yang berlebihan. Namun, dari pengalaman sejarah modern kita sendiri, kita tidak boleh lupa dan menganggap kecil potensi bahaya yang disebabkan oleh konflik yang disebabkan oleh suku, agama, dan ras (SARA). Contohnya banyak, baik di tingkat nasional maupun di daerah. Tidak ada yang diuntungkan dari konflik jenis ini. Semuanya rugi. Korban manusia dan harta bisa berjatuhan. Luka yang ditinggalkan bisa bertahan lama dan sulit disembuhkan. Belum lagi reputasi kita di mata bangsa-bangsa lain sebagai bangsa yang beradab dan negeri yang sejauh ini telah berhasil membangun sistem demokrasi dengan sukses dan damai.

Karenanya marilah kita sama-sama bersaing dengan cara beradab, menonjolkan figur yang kita dambakan jadi pemimpin kita dari sisi karakter, rekam jejak, kemampuan, kejujuran, dan program-programnya yang paling realistis dan menguntungkan warga negara. Bukan sisi-sisi calon pemimpin yang tidak relevan dan berpotensi menimbulkan perseteruan sesama warga. Selamat bertanding. Semoga yang terbaiklah yang akan terpilih, siapapun dia.[]

 

Islam Indonesia

One response to “OPINI – Demokrasi Kita Terancam?”

  1. pendiri negeri bangsa ini sudah sangat paham mengapa bukan demokrasi liberal separti saat ini yang dipilih ? potensi tawuran akan terjadi dan koyak nya persatuan bangsa tidak lagi sampai pada hati nurani sebab demokrasi dengan model banyak-banyakan suara maka bergeser banyak banyakan duit ,dan demokrasi demikian hanya untuk para taipan yang akan menang dan pribumi pasti terpinggirkan .
    Dan suka tidak suka hanya dengan mengempur para taipan itu dengan isu Ras , dan Pribumi , menjadi alat pertarungan , dan itu buat Pribumi syah saja sebab negara ini yang mendirikan kaum Pribumi , ketika terjadi amandemen UUD 1945 kaum pribumi di pinggirkan dengan di ganti nya Presiden orang Indonesia Asli diganti dengan Presiden adalah Warga Negara . Disinilah banyak yang tidak mengerti apa itu Bangsa , apa itu Rakyat dan apa itu Warga negara . Disinilah sebenar nya aliran pemikiran Ke Indonesiaan di koyak-koyak , dengan di amandemen nya pasal 1 ayat 2 sesungguh nya negara ini sudah bukan negara Yang di Proklamasikan , bukan negara yang berdasarkan Pancasila , dan jelas bukan negara yang sesuai dengan Preambul UUD 1945 .
    Islam tidak mengajarkan kita Demokrasi Liberal , Islam mengajarkan Musyawarah Mufakat dan itu ada di Pancasila .
    Amandemen UUD 1945 telah menghabisi Musyawarah Mufakat diganti dengan Demokrasi Liberal , Celaka nya umat Islam dan Intelektual nya justru yang melakukan nya . lupa ajaran Islam . dan dampak yang terjadi justru terpuruk nya Islam dari bumi Indonesia yang didirikan para Ulama .
    Apa nya Demokrasi Terancam , maka Abdila Toha harus diingatkan bahwa dengan Demokrasi Liberal rusak lah tatanan umat dan Islam yang mayoritas justru dipinpin kaum Nasrani .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *