Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 30 August 2015

KOLOM – Dicari: Politisi Negarawan


Gonjang ganjing Pilkada belakangan ini membuka kembali mata kita terhadap berbagai ulah politisi dan partai politik di daerah. Ada yang bermain halus untuk menjegal lawannya dengan membiarkan lawan maju sebagai calon tunggal. Ada yang kasar bak hewan bertaring yang mengancam dengan memobilisasi massa menyerang kantor Komisi Pemilihan dan aparat penegak hukum yang tidak menuruti kehendaknya.

Di Jakarta, kiprah politisinya lain lagi. Setelah agak reda menyerang posisi pemerintah terus menerus, sebagai kelanjutan persaingan pilpres, sekarang mereka punya mainan baru. Belum lama ini, setelah menyampaikan pidato APBN, Presiden Jokowi di fait a accompli untuk menandatangani prasasti mega proyek multi-year gedung-gedung baru DPR RI senilai Rp 2,7 triliun. Pembiayaan rencananya diambil dari dana optimalisasi yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Untung Jokowi sigap dan menolak karena memang belum pernah dibahas sebelumnya dengan pemerintah.

Sejak Reformasi 1998 sampai sekarang, kita masih terus berharap ada perbaikan kualitas partai dan anggota DPR yang tak kunjung mewujud. Partai, dengan sedikit pengecualian, pada umumnya masih diisi oleh kelompok yang belum sepenuhnya merepresentasikan kepentingan khalayak. Ada kelompok pencari kerja dan penghasilan, ada kelompok politisi profesional yang dari dulu tidak pernah punya kerja lain selain jadi politisi, ada kelompok pengusaha yang berkepentingan melindungi usahanya, ada kelompok berbendera agama yang kerap tak menghadirkan akhlak agamawan, dan kelompok-kelompok kecil lain yang tidak jelas asal usul dan tujuannya. Kelas negarawan dalam tubuh partai-partai kita sangat langka dan hanya sekali-sekali muncul ke permukaan tetapi tenggelam dan kalah bersaing dalam menyuarakan kepentingan nasional kita.

Politisi dan Negarawan
Secara umum, politisi adalah pencari kekuasaan melalui mandat rakyat, sedangkan negarawan adalah mereka yang tergugah bergerak dalam arena politik demi ideologi dan prinsip-prinsip yang diyakininya. Para pendiri bangsa ini pada dasarnya politisi negarawan yang bersedia menahan sakit dan bahkan mengorbankan jiwanya demi mencapai apa yang dicita-citakan untuk bangsanya. Harus diakui bahwa bukan hanya di negeri ini, di negara manapun sering terasa sesak dengan jumlah politisi sedangkan negarawan itu langka.

Seseorang pernah menggambarkan banyaknya politisi dan langkanya negarawan bak makanan yang berlebih kalori tetapi kurang nutrisi.
Politisi dan negarawan keduanya bermanuver dalam arena politik tetapi gerak negarawan lebih dibatasi oleh pertimbangan moralitas dibanding politisi. Negarawan menyampaikan pesan-pesannya kepada publik dari hati sanubarinya karena dia percaya kepada apa yang disampaikan, sedang politisi seringkali harus menyampaikan pesan kelompok yang dia sendiri terkadang tidak meyakininya. Politisi dan negarawan sama-sama harus memiliki kemampuan komunikasi yang efektif guna menjelaskan kebijakan negara yang kompleks kepada publik. Namun yang memisahkan mereka adalah motif dan kepentingannya. Politisi lebih tertarik kepada kepentingan partai, pribadi, kelompok, atau penguasa, sedang negarawan memusatkan perhatiannya kepada kepentingan bangsa. Politisi lebih cenderung kepada tindakan yang segera dapat dilihat hasilnya sedang negarawan bersedia menghadapi risiko dengan mengambil keputusan tidak populer yang hasilnya hanya dapat dipetik dalam jangka panjang.

Teolog dan pengarang Amerika abad 19, James Freeman Clarke, mengatakan: “Politisi memikirkan pemilu mendatang sedang negarawan memikirkan generasi mendatang”. Bagi politisi, yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan dengan cara apapun, sedang bagi negarawan tujuan dan cara mencapainya sama-sama penting. Politisi dapat muncul mendadak dari sudut-sudut yang tak diperkirakan sebelumnya karena berhasil merayu pemilih di daerah pemilihannya dengan janji-janji surgawi, sedang negarawan biasanya figur terhormat di masyarakat dalam usia yang lebih matang dan sudah banyak makan asam garam kehidupan sehingga membuatnya lebih arif dalam pandangannya tentang berbagai sisi kehidupan.

Demokrasi memang tidak sempurna, meski belum ditemukan sistem yang lebih baik. Dalam demokrasi, politisi mau tidak mau harus melihat kemana arah angin berhembus. Dari waktu ke waktu mengukur apa yang diinginkan konstituen. Negarawan juga tidak bisa lepas dari pertimbangan aspirasi publik tetapi umumnya mereka tidak sangat bergantung kepadanya seperti politisi. Negarawan bisa berpandangan bahwa apa yang diinginkan publik tidak selalu baik untuk publik. Terburuk adalah politisi yang bukan negarawan tetapi juga bukan politisi yang diharapkan dalam sebuah sistem demokrasi. Inilah tipe politisi yang banyak kita jumpai saat ini, yakni politisi yang mendengarkan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Rekrutmen Politik
Partai politik hidup karena pendukung dan anggotanya. Memilih dan mendukung partai politik ditentukan oleh kesamaan ideologi dan adanya keyakinan bahwa aspirasinya akan tersalurkan. Karena menimbang ideologi atau aspirasi partai tidak mudah, kebanyakan simpatisan partai akan melihat siapa-siapa yang duduk mewakili partai sebagai anggota legislatif, eksekutif, pengurus dan pimpinan. Bila ia buruh atau nelayan, ia akan melihat apakah partai berisi orang-orang yang dianggap mewakili mereka. Begitu pula bila ia pengusaha dan seterusnya.

Partai berbasis agama akan dipercaya bila tokoh-tokohnya mewakili agama yang dianut. Partai inklusif tidak bisa hanya menuliskan inklusivitasnya pada lembaran platformnya tetapi baru dapat diterima masyarakat luas yang menjadi sasarannya bila tokoh-tokohnya benar-benar mencerminkan aneka ragam etnis, agama, dan keyakinan. Partai tidak bisa lagi meremehkan kecerdasan kontituennya. Publik sekarang sudah jauh lebih jeli dan dapat memilah siapa yang berkarakter negarawan dan siapa yang dianggap sebagai politisi petualang. Politik dinasti yang mengandalkan konstituen primordial tidak akan bisa bertahan lama. Karenanya proses rekrutmen partai tidak boleh disepelekan.

Figur publik yang berpotensi negarawan hanya akan tertarik kepada partai yang menawarkan keleluasaan dengan platform yang progresif dan berwawasan masa depan. Nilai partai di mata publik akan meningkat sebanding dengan jumlah tokoh-tokohnya yang berkarakter kenegarawanan. Hal ini sudah dibuktikan dalam berbagai pemilihan kepala daerah di berbagai tempat belakangan ini. Selama beberapa tahun terakhir ini ketika publik kecewa terhadap ulah politisi dan partai politik, partai yang mampu dengan cepat mereformasi dirinya dan menguubah haluannya menjadi partai yang benar-benar lebih bersifat kenegarawanan pada saatnya akan meraih keberhasilan dan dukungan luas masyarakat. Sisanya adalah partai-partai yang masih bisa menjaga kelangsungan hidupnya karena dukungan dana kuat atau selama mereka masih dapat menutupi kepalsuannya di mata publik.

Abdillah Toha/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *