Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 03 August 2016

KHAS—Rahasia Insan Kamil di Balik Bunyi Gamelan Jawa (Bagian Kedua)


IslamIndonesia.id—Rahasia Insan Kamil di Balik Bunyi Gamelan Jawa (Bagian Kedua)

 

Dalam tulisan terdahulu, Rahasia Insan Kamil di Balik Bunyi Gamelan Jawa (Bagian Pertama), telah kita bahas makna dari bunyi Nang dan Ning, dua di antara lima bebunyian yang masing-masing mewakili satu tahapan dari keseluruhan lima tahapan laku prihatin.

Dalam tulisan kali ini, kita lanjutkan pembahasan terkait makna tiga bunyi Nung, Neng dan Gung.

***

Ketiga, bunyi  Nung  yang bermakna  kesinungan. Inilah tahapan bagi yang sudah melakukan Nang  lalu berhasil menciptakan Ning, untuk meraih kesinungan, menjadi yang terpilih dan pinilih, dalam arti layak mendapatkan anugerah agung dari Gusti Kang Maha Suci. Dalam Nung sejati, akan datang cahaya Yang Maha Suci melalui rahsa, yang ditangkap oleh roh atau suksma sejati seseorang lalu diteruskan kepada jiwa untuk diolah oleh jasad menjadi manifestasi perilaku utama atau laku utomo. Maka dengan modal itulah kita bakal mampu berperilaku positif dan konstruktif; jujur, amanah, rapi, bersih, santun, cerdas, dan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya.

Keempat, bunyi Neng yang bermakna heneng atau tenang. Dalam tahapan ini, ada satu hal yang perlu diperhatikan. Meski secara bahasa heneng itu berarti ketenangan, tapi ia tidak berarti sama persis maksudnya dengan makna bunyi Nangwenang yang berarti tenang pada poin pertama. Melainkan heneng disini dimaksudkan sebagai puncak dari  tawakkal  atau berserah diri total, sehingga kondisi ketenangan tanpa keraguan dapat diraih.

Lebih jauh, jika wenang atau tenang itu berarti awal mula dan prosesnya, maka heneng disini adalah tujuan dan hasilnya. Karena itulah kenapa Neng berada pada tahapan setelah Nang, Ning dan Nung bisa kita lalui.  Sekadar untuk memudahkan pemahaman kita, mungkin tahap heneng inilah yang  merupakan kondisi seseorang sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an surah al-Fajr ayat 27 dengan sebutan nafsul muthmainnah atau jiwa yang tenang.

Mereka yang terpilih dan pinilih atau kesinungan dan sudah melalui tahapan Nung inilah yang diyakini akan selalu terjaga tindak lakunya, atau amal perbuatannya. Sehingga bisa menjadi benteng bagi dirinya sendiri dan sekaligus benteng bagi orang lain. Inilah buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan besar berupa karunia dan kenikmatan dalam segala bentuknya yang diharapkan dapat menjadi modal utama dalam meraih kehidupan dan kemenangan sejati, baik di dunia kini maupun di akhirat nanti.

Kelima, bunyi Gung yang bermakna agung, mengacu pada keagungan atau kemuliaan. Konon inilah puncak perjalanan lima tahapan laku prihatin, karena pribadi yang telah meng-heneng-kan dirinya adalah sosok pemenang yang agung.

Predikat Gung atau pemenang yang agung, hanya akan bisa diraih setelah kita mampu melepaskan segala ego dan ikatan materi duniawi melalui empat tahapan Nang, Ning, Nung, dan Neng sebelumnya.

Inilah tahapan puncak yang bisa kita raih ketika kita hidup mulia dengan memberikan manfaat sebesar-besarnya dan seluas-luasnya untuk seluruh makhluk dan alam semesta; inilah makna dari rahmatan lil `alamiin itu. Inilah kehidupan sejati yang bisa diraih oleh manusia sempurna atau insan kamil yang hidupnya akan selalu berkecukupan, merasa tenteram lahir-batin, dan tetap mampu menemukan keberuntungan dan menikmati kebahagiaan dalam hidup. Inilah buah dari ngelmu begjo, ketika kita mampu menemukan jawaban yang benar tentang siapakah diri kita dan siapa pula Tuhan kita yang sejati.

Akhirnya, dengan mencermati dan merenungi makna mendalam terkait lima tahapan laku prihatin di atas, apa yang bisa kita dapatkan dalam hidup?

Dengannya, insya Allah kita akan makin mampu mengenal siapa diri kita. Selanjutnya, dengan lebih mengenal diri, bukankah akan makin terbuka peluang bagi kita untuk lebih mengenal siapa Tuhan kita?

Jika benar demikian, bukankah kelima tahapan di atas merupakan karunia besar tak terkira, yang nilainya lebih berharga daripada dunia dan segala isinya?

Tak heran bila kalangan arif di tengah masyarakat Muslim Jawa meyakini, bahwa itulah hakikat sejati dari bunyi Nang yang mewakili syariat, Ning yang merupakan tarekat, Nung sebagai hakekat, dan Neng sebagai makrifat. Sedangkan Gung, sebagai puncak dan akhir dari ke empat tahapan tersebut, adalah anugerah Tuhan yang berupa puncak segala ilmu bagi kalangan makhluk. Itulah yang kita kenal sebagai Ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Ilmu apakah itu?

Di dalam dunia spiritual Jawa sering kita dengar istilah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Ini adalah sebuah istilah yang berasal dari dunia pewayangan, khususnya kisah Lokapala dalam kitab Arjuna Wijaya pupuh sinom karya Yasadipura dan Sindusastra pada abad ke-19 M.

Secara Bahasa, pengertian Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebagai berikut:

Sastra, adalah untaian kata atau kalam yang disusun. Bisa pula berarti susunan beberapa kalam atau ilmu tanpa tulisan, tanpa papan.

Jendra, adalah hal-ihwal tentang raja, berkenaan dengan sesuatu yang agung, tinggi, Aliyah, ‘uluwwiyyah.

Hayuningrat, berarti ketenangan, ketenteraman, kedamaian.

Pangruwating, berarti meruwat atau menjadikan baik.

Diyu, berarti raksasa, sebagai simbol ketidaksempurnaan, keserakahan, dan nafsu angkara.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ngelmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu adalah ilmu tingkat tinggi menuju kedamaian diri dan kesempurnaan (insanul kamil) yang dapat dicapai dengan cara mengolah diri menundukkan nafsu atau diyu.

Dalam cerita pewayangan disebutkan bahwa Serat Sastra Jendra ini sangat rahasia, diistilahkan sebagai Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang jagad pratingkah, atau ilmu tentang rahasia dari segala rahasia yang turun secara rahasia dari Tuhan kepada hambanya yang dikehendaki-Nya, sehingga seekor binatang melata pun tak boleh ada yang tahu.

Pengibaratan ini mengandung pengertian bahwa sesungguhnya memang takkan ada yang tahu karena wahyu itu turun dari Tuhan langsung ke dalam hati manusia secara rahasia atau sirr dan melalui beberapa tahapan latif. Maka tak heran jika ilmu ini juga diyakini sebagai pungkas pungkasane kaweruh, atau puncak ilmu dari segala ilmu, yang jika manusia mampu mencapainya maka sama artinya dia telah dikehendaki Tuhan untuk sampai kepada-Nya, berjumpa dan menyatu dengan-Nya, mencapai derajat sempurna sebagai hamba-Nya. Manusia inilah yang dianggap sudah menjadi insan kamil, yang kuasa Tuhan serta sebagian asma dan sifat-Nya meliputi dirinya sehingga dia menjadi pemurah, pemaaf, bijaksana, dan sebagainya.

Ala kulli hal, dengan berbekal ilmu itulah manusia sempurna atau insan kamil berpeluang selamat dan menyelamatkan, yakni menyelamatkan dirinya dari angkara murka, dan menjadi tameng sesama dari bala bencana, baik di dunia kini maupun di akhirat nanti. Inilah sosok insan kamil yang insya Allah akan menjadi rahmatan lil ‘alamin.

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *