Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 02 August 2016

KHAS—Rahasia Insan Kamil di Balik Bunyi Gamelan Jawa (Bagian Pertama)


IslamIndonesia.id—Rahasia Insan Kamil di Balik Bunyi Gamelan Jawa (Bagian Pertama)

 

Perang Brontoyudho

Hampir tiap saat dalam kehidupannya, manusia diibaratkan terus-menerus bertempur dan tak henti-hentinya berperang melawan musuh-musuh, baik menghadapi musuh-musuh yang berasal dari luar maupun musuh-musuh yang bercokol di dalam diri manusia sendiri. Inilah yang selama ini kita kenal dengan istilah perang besar; perang Baratayudha atau Brontoyudho menurut orang Jawa. Perang yang medan laganya disebut sebagai Padang Kurushetra, arena tempur tempat bertarungnya balatentara nafsu dan dua kekuatan; kekuatan positif pihak Pandawa dan kekuatan negatif kubu Kurawa.

Mengapa peperangan ini disebut peperangan panjang tanpa henti dan diibaratkan seolah tiada akhir? Tak lain karena kemenangan yang diraih Pandawa dengan susah payah, toh tak membuat pasukan Kurawa, meski dinyatakan telah kalah namun sebenarnya tetap saja sulit diberantas hingga benar-benar musnah.

Dalam bahasa agama, meski pengaruh malaikat dalam diri seseorang telah menang suatu ketika, namun tetap saja setan berpeluang menyesatkan manusia itu kembali. Artinya, jika sejenak saja manusia lengah dari upaya menjaga dirinya, maka setan akan memegang kendali dan berpeluang menjatuhkannya lagi berulang kali.

Lalu bagaimana cara para leluhur manusia Jawa membekali anak cucunya, agar senantiasa waspada dalam hidup, mampu memenangkan pertarungan demi pertarungan besar nan tak kunjung usai tersebut?

Ternyata, untuk meraih kemenangan sejati yang dimaksud, leluhur kita telah menggambarkan perlunya laku prihatin berupa lima tahapan upaya yang harus ditempuh hingga tuntas, dalam kiasan nada dan bunyi instrumen Gamelan Jawa berupa Kenong, Kempul, Bonang dan Gong. Yang tak lain adalah seperangkat gamelan yang dapat mengeluarkan bunyi “Nang Ning Nung Neng Gung”; bebunyian yang bukan sekadar bunyi, tapi mengandung makna mendalam yang mesti dihayati.

***

Sekilas Info tentang Gamelan Jawa

Sebelum membahas lebih jauh tentang lima tahapan laku prihatin yang oleh para leluhur kita secara tersirat sengaja “dititipkan” pada lima macam bebunyian “Nang Ning Nung Neng Gung”, mungkin ada baiknya kita kenali sekilas, apa sih yang dimaksud dengan Gamelan Jawa? Mengapa seperangkat instrumen atau alat musik tradisional Jawa ini disebut Gamelan? Apa pasal manusia Jawa sangat menyukai bunyi alunan musik yang berasal dari Gamelan?

Gamelan Jawa merupakan seperangkat alat musik tradisional Jawa yang biasanya terdiri dari Kenong, Kempul, Bonang, Gong, Gambang, Celempung serta beberapa alat musik pendamping lainnya.

Secara etimologi Gamelan berasal dari istilah Bahasa Jawa yakni “Gamel” yang berarti menabuh atau memukul, dan akhiran “an” yang menjadikannya kata benda. Dengan demikian maka Gamelan bisa diartikan memukul atau menabuh benda.

Keistimewaan alunan musik Gamelan Jawa adalah cenderung bersuara lembut dan seperti sengaja menghadirkan suasana ketenangan jiwa. Itulah sebabnya masyarakat Jawa merasa bahwa suara lembut itu selaras dengan prinsip hidup mereka pada umumnya.

Seperti kita ketahui, pandangan umum masyarakat Jawa cenderung memelihara keselarasan hidup baik jasmani maupun rohani. Pandangan inilah yang menjadikan orang-orang Jawa selalu menghindari ekspresi temperamental dan berusaha mewujudkan sikap saling hormat dan toleransi antar sesama, di antaranya dengan saling meneguhi prinsip sederhana dalam bermasyarakat yang mereka sebut dengan prinsip “nguwongke wong” yang artinya kurang lebih adalah “memanusiakan manusia”.

Dengan modal itulah manusia Jawa percaya bahwa manusia sebagai makhluk mulia yang diciptakan Tuhan mesti saling memuliakan satu sama lain dan tidak saling mencederai di antara mereka. Dan hal itu hanya akan bisa terwujud jika manusia sudah mampu saling memanusiakan sesamanya.

Kembali ke lima macam bunyi; Nang, Ning, Nung, Neng, dan Gung, yang masing-masing menggambarkan tahapan laku prihatin menuju maqam insan kamil. Apa saja makna masing-masing bunyi tersebut?

Berikut ini penjelasannya.

Pertama, bunyi Nang yang bermakna wenang atau tenang. Maksudnya, dalam tahap ini kita mesti berusaha untuk senantiasa sadar diri dengan rutin melakukan tirakat, semedhi, maladi hening, atau mesu raga, jiwa dan akal budi.

Untuk itulah kita perlu berkonsentrasi, membangkitkan kesadaran batin dan mematikan kesadaran jasad kita sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dengan frekuensi “gelombang” Ilahi.

Mungkin inilah yang biasa kita kenal dalam Islam serupa amaliah iktikaf, yakni diam beberapa waktu di dalam masjid sebagai suatu ibadah dengan syarat-syarat tertentu, sambil menjauhkan pikiran dari urusan keduniaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kedua, bunyi Ning yang bermakna wening atau hening. Mirip seperti tahapan pertama, dalam tahap ini kita mesti berusaha mengheningkan atau meniadakan daya cipta (akal budi) agar tersambung dengan daya rahsa sejatisuksma sejati, atau jiwa yang menjadi sumber cahaya yang suci.

Kondisi tersambungnya antara cipta dengan rahsa inilah yang diyakini akan membangun keadaan wening, keadaan “mati raga” ketika kita menciptakan keadaan batin, hawa, jiwa, nafs yang hening dan khusyuk, bagaikan di alam Sonya Ruri atau Awang-uwung namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Dalam kondisi inilah kita dipercaya akan dapat menangkap sinyal gaib dari Sang Suksma Sejati (Tuhan) sebagai bekal dalam menjalani hidup.

Terkait Sonya Ruri atau Awang-uwung, kita dapatkan informasi bahwa makna istilah itu mengacu pada kondisi alam penciptaan terawal berupa alam yang tanpa batas, keadaanya kosong dan gelap gulita. Kemudian dengan kekuatan-Nya Tuhan mencipta jagad raya.

Ada juga sebagian leluhur kita yang menyatakan bahwa pada mulanya hanya Allah yang ada, kemudian dengan cahaya kekuatan Allah yang menyinari Sonya Ruri atau Awang-uwung itu terciptalah api suci. Api suci yang tercipta ini kemudian bergerak dan tetap mendapat sorotan cahaya Ilahi sehingga terciptalah apa yang disebut angin suci. Dari angin suci yang bercampur dengan api suci dan kekuatan nur Ilahi yang terus bergerak berputar itu timbulah air suci. Maka dari tiga anasir plus nur Ilahi ini kemudian terciptalah apa yang disebut jagad suci. Yakni jagad tempat bersemayam makhluk yang suci tanpa nafsu, yang darinya tercipta berjuta-juta bibit kehidupan. Kita tak tahu pasti, inikah yang dalam Islam disebut Nur Muhammad? Wallahu ‘a’lam..

Lebih lanjut, karena ketiga anasir tersebut terus bergerak dan selalu mendapat kekuatan cahaya Ilahi maka pada akhirnya sampailah pada kondisi mengkukus dan terciptalah apa yang disebut sebagai jagad kukus. Jagad kukus inilah yang ditempati makhluk Allah yang membawa nafsu, baik nafsu jahat maupun nafsu mulia. Dan dari kedua jagad ini, yakni jagad suci dan jagad kukus yang selalu bersinergi dengan kekuatan cahaya Allah kemudian terciptalah jagad ampas atau jagad wadag.

 

(Bersambung…)

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *