Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 30 November 2016

Ungkap “Kesaktian” Medsos, Gus Mus Tulis 6 Pesan Cinta untuk para Penghinanya, dan Kita


islamindonesia.id – Ungkap “Kesaktian” Medsos, Gus Mus Tulis 6 Pesan Cinta untuk para Penghinanya, dan Kita

 

Sebelumnya, Gus Mus menyebut para penghinanya di medsos sebagai “Penguji kesabaran yang digerakkan Allah”, dan meminta agar mereka tak dipecat dari pekerjaannya karena dirinya sebagai “korban” telah benar-benar memaafkan tindakan mereka, meski penghinaan itu dinilai banyak pihak sebagai ekspresi kasar yang melampaui batas kesopanan terhadap ulama.

[Baca: Sebut “Penguji Kesabaran yang Digerakkan Allah”, Gus Mus Minta Penghinanya Tak Dipecat]

Kali ini, melalui tulisan berjudul “Jum’at dan Silaturahmi” yang diunggah di akun Facebook pribadinya, Gus Mus kembali mempertegas pandangannya terkait perlunya sikap bijak dalam memanfaatkan medsos, agar tak terjatuh pada posisi “memperburuk citra diri sendiri” di dunia maya yang menurutnya kerap penuh tipuan itu.

Dalam tulisan yang dipublishnya pada hari Minggu (27/11/2016), Gus Mus memaparkan perihal aktivitas rutin yang dilakoninya setiap hari Jumat. Tak terkecuali, kabar kedatangan para tamu “spesial”, anak-anak muda didampingi kedua orangtua mereka, yang datang ke kediamannya hari Jumat (25/11/2016) lalu, dengan tujuan untuk meminta maaf atas tulisan bernada makian kasar dan merendahkan Gus Mus di Twiter dan Facebook.

[Baca: Gus Mus dan Buya Syafi’i Dimaki, Putri Gus Dur: Tak Ada Adab]

Selain bercerita tentang pengalaman pribadi dan aktivitas rutin tiap Jumat, Gus Mus juga menyisipkan setidaknya enam pesan penting bagi para aktivis media sosial alias netizen. Apa saja? Berikut ini 6 “pesan cinta” Gus Mus selengkapnya:

Jumat DAN SILATURAHMI

Hari Jumat ~yang digelari sebagai Sayyidul Ayyãm, “Pemimpinnya hari-hari”~ memang bagiku sendiri merupakan hari istimewa. Aku berusaha merayakan hari istimewa ini dengan berbagai kegiatan positif seperti yang diamalkan dan diajarkan kiai-kiaiku. Minimal harus lain dari hari-hari yang lain. Misalnya dalam 6 hari yang lain, kesibukanku lebih merupakan ‘kesibukan duniawi’ saja, aku berusaha semampuku mengisi Jumatku dengan kesibukan yang lebih ‘ukhrawi’, bernilai akhirat.

Untuk itu, kegiatan rutinku ~bila tidak sedang bepergian~ dimulai dari hari Kamis malam. Lalu pagi harinya, bersilaurahmi melalui ponsel, menyapa dan mendoakan anak-anak; saudara-saudara; keponakan-keponakan; kawan-kawan; dan beberapa kenalan. Kemudian bersilaturahmi dengan saudara-saudaraku warga kampung di seputar Rembang. Bersalaman dengan bapak-bapak dan anak-anak yang ikut ibu-ibu mereka ‘bertadarus’ Alquran melalui pembacaan Tafsir Al-Ibriznya Kiai Bisri Mustofa, rahimahuLlãh. Setelah itu menerima tamu-tamu yang kebanyakan dari luar daerah. Lalu setelah salat Jumat di mesjid Jami’ ~kalau tidak terlalu capek atau ngantuk~ biasanya dilanjutkan menemui tamu-tamu lagi, bila ada, kadang-kadang hingga malam hari.

Jumat kemarin ~25 November 2016~ agak lebih istimewa, karena di antara tamu-tamu yang datang bersilaturahmi dari berbagai daerah, terdapat tamu-tamu muda dari Tegal, Probolinggo, dan Jakarta yang mempunyai tujuan sama. Di samping bersilaturahmi, ingin meminta maaf. Mereka inilah yang beberapa hari sebelumnya, menulis kasar kepadaku di Twitter dan Facebook. Dan sudah aku maafkan via twit di Twitter dan status di Facebook.

Kulihat anak-anak muda yang rata-rata berusia 25 tahunan ini, seperti umumnya pemuda santri. Polos, santun, dan sopan. Sedikit pun tidak ada kesan berandalan, sangar, atau kasar seperti yang mereka tampakkan di twit dan status mereka.

Ketika aku tanya apakah mereka benci kepadaku, karena ucapan atau perilakku yang melukai hati atau menyinggung mereka, mereka bilang tidak. Apakah ada kawan mereka yang pernah kusakiti, dan mereka solider ikut mengecamku, mereka menjawab tidak. Apakah mereka menganggap aku pendukung tokoh politik tertentu yang berlawanan dengan tokoh mereka, mereka menjawab tidak. Ketika kemudian mereka aku tanya, apakah mereka marah karena membaca pendapatku tentang salat Jumat di Jalanan? Mereka malah seperti kebingungan. Pandu Wijaya malah dengan sangat lesu mengatakan, “Mohon maaf, saat itu saya lagi jenuh dengan pekerjaan.”

Aku pun semakin bertanya-tanya tentang ‘kesaktian’ sosmed ini. Bagaimana ia bisa mengubah anak-anak yang santun seperti mereka ini menjadi orang-orang yang tega memperburuk citra diri mereka sendiri di sosmed. Melihat penampilan mereka di dunia Nyata, aku yakin mereka bukan orang-orang yang tidak tahu adab dan adat.

Dugaanku mereka hanya salah pergaulan di dunia Maya yang memang bagaikan hutan belantara yang ~di samping terdapat manusia-manusia berbudi~ penuh dengan makhluk-makhluk palsu yang tidak bertanggungjawab.

Kepada mereka ini dan semisal mereka ~bukan yang sengaja menjadikan sosmed sebagai sarana menebar kebencian dan kekacauan~ kalau boleh, aku menasihatkan agar (1) menata kembali niat kita dalam menggunakan dan memanfaatkan Sosmed; (2) berhati-hati dan waspada beraktifitas di ‘Dunia Maya’ yang ~kita tahu~ penuh tipuan; (3) jangan mudah tergiur dengan tampilan-tampilan menarik, biasakan tabayun dan meneliti rekam-jejak; (4) jangan tergesa-gesa membaca dan membagikan bacaan; (5) usahakan sekali-kali KopDar, agar bisa melihat Manusia dalam penampilan nyatanya (dalam hal ini, contohlah misalnya perkawanan Maya dan Nyata dari misalnya komunitas Adib Machrus, Pakdhe Tegoeh, Timur Suprabana, Zen Mehbob, Triwibowo Budi Santoso, Zaenal Maarif, dan mereka yang tidak hanya bersapaan di sosmed tapi juga bersilaturahmi di dunia nyata. Mereka guyub, penuh kasihsayang); (6) ingat sabda Rasulullah SAW “Innamal a’mãlu binniyãt… alhadits” dan “Min husni Islamil mar-i tarkuhu mã lã ya’ni”.

Semoga Allah membimbing kita baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Itulah beberapa pesan dan nasihat Gus Mus, agar kita selaku netizen selalu berhati-hati dalam beraktivitas di dunia maya. Hal ini menjadi penting terlebih setelah pemberlakuan hasil Revisi UU ITE, sejak 28 November 2016, yang dalam salah satu pasalnya mengatur sanksi bagi para pelanggar Undang-Undang tersebut dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal 750 juta.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *