Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 15 October 2016

Soal Dimas Kanjeng, Cak Nun: Ya Allah, Bangsa Ini Lucu dan Buta


Islamindonesia.id — Soal Dimas Kanjeng, Cak Nun: Ya Allah, Bangsa Ini Lucu dan Buta

 

Pada 22 September 2016 yang lalu, jajaran Polda Jawa Timur menggerebek Padepokan Dimas Kanjeng dan menangkap pemiliknya, Taat Pribadi, yang diduga terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap mantan pengikutnya. Taat diduga memerintahkan anak buahnya bernama Wahyu menghabisi Abdul Gani dan Ismail Hidayah.

Polisi menduga kedua korban dibunuh lantaran berencana membongkar praktek penggandaan uang yang dilakukan sang guru. Polda Jawa Timur menetapkan satu tersangka, yakni Taat Pribadi, tapi penyidik masih terus memburu buron lain yang diduga kuat terlibat pembunuhan berencana itu. Sementara Polres Probolinggo menetapkan enam tersangka dari warga setempat dalam kasus ini.

Sampai saat ini, beragam pemberitaan terkait Dimas Kanjeng dan pembahasan tentang ritual penggandaan uang itu masih terus bergulir. Tak kalah heboh dengan proses penggerebekan yang spektakuler karena melibatkan ribuan personil anggota kepolisian seolah sedang melakukan operasi penangkapan gembong teroris paling dicari.

Mungkin fenomena sosial yang dirasa cukup menghebohkan dan memprihatinkan inilah yang membuat Cak Nun—seperti biasa, kembali “gatal” mengemukakan pendapat dan “geregetan” untuk tidak menyedekahkan komentarnya demi memberikan pengajaran dan pencerahan, terutama kepada para anak-cucu di lingkaran Maiyahnya.

Dalam sebuah kesempatan saat memimpin jamaah Maiyah belum lama ini, sebagaimana berulangkali pernah disampaikannya, Punggawa Kiai Kanjeng ini kembali menyebut Indonesia sebagai negara misterius, aneh, unik, sekaligus hebat dan lucu.

“Bangsa Indonesia ini setiap hari makin aneh dan misterius saja. Tak pernah sepi, bisa dikata tak ada matinya berganti isu, berganti berita,” sebut Cak Nun.

“Belakangan, banyak juga orang bingung, sulit membaca fenomena penggandaan uang ini, apakah itu termasuk sejenis kesaktian, karomah, atau apa?” ujarnya tanpa menyebut secara khusus kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi.

[Baca: Ternyata ini Rahasia Ritual Dana Ghaib & Pesugihan Instan Dimas Kanjeng Taat Pribadi]

“Tapi anehnya, mereka tak pernah nanya kepada orang-orang yang bener-bener ngerti dan paham soal itu. Mereka tak pernah mikir, minimal untuk mulai mencari tahu kepada orang-orang ngerti, yang komplit dan jitu pembacaannya soal mana fadilah, mana karomah, mana maunah, mana inspirasi, mana wahyu dan sebagainya,” lanjutnya.

Di sisi lain, sosok yang juga biasa disapa Mbahnya JM (Jamaah Maiyah) ini juga menyebut bagaimana anehnya penegak hukum dan aparat negara yang seolah kesulitan menentukan sikap terhadap orang-orang yang mengaku mampu menggandakan uang dan sejenisnya. Padahal sudah jelas bahwa yang namanya pemalsuan itu bukan semata-mata soal palsunya zat atau bahan pembuat uang palsu tersebut, tapi juga soal apakah yang bersangkutan punya wewenang untuk menggandakan uang itu atau tidak. Jika tidak, maka mudah sebenarnya untuk segera ditindak. Sudah jelas juga bahwa yang disebut palsu itu jika satu hal yang mestinya satu malah dilakukan penggandaan, atau apalah namanya sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya.

“Tapi itulah faktanya. Kita ini seperti kekurangan orang pinter dan ahli saja. Masih seolah sukar mencari dasar hukum dan pasal-pasal, untuk orang yang menciptakan uang baru, entah dengan cara menggandakan uang itu atau dengan cara apa, apakah itu termasuk melanggar hukum negara atau tidak, orang ini harus diapakan dan seterusnya. Padahal sudah jelas-jelas itu kan gak boleh.”

“Kalo saya ya seneng juga sih denger kata penggandaan itu. Lha wong berkat itu banyak orang Indonesia ini cepet responnya bikin bermacam-macam guyonan dimana-mana, kok. Ini contohnya. Salah satunya, ada yang bilang, kasus pembunuhan di Probolinggo itu sebenaranya terjadi akibat salah dengar. Orangnya sebenarnya minta agar ‘uangnya digandakan’, tapi yang terdengar malah ‘istrinya minta dijandakan’. Maka dibunuhlah dia agar istrinya jadi janda,” cerita Cak Nun disambut tawa.

Kiai Mbeling itu juga menyesalkan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia yang kian hari makin sibuk mengejar dan terus mengeluhkan soal materi, terus berlomba seolah tak pernah cukup, sampai-sampai harus saling bentrok antara satu sama lainnya.

“Iya toh? Ibaratnya tiap hari kita ini lari-lari, tiap hari kita kejar-kejar berhala materi, bahkan sampai bertengkar dengan sesama teman, demi saling berebut berhala itu. Kenapa saya sebut aneh? Bagaimana gak aneh, lha wong tiap hari sudah menyembah berhala materialisme, tapi kenapa kok tiap hari juga masih mengeluh soal materi? Inilah yang namanya peradaban yang buta,” urai Cak Nun.

“Lha gimana gak disebut bener-bener buta, lha wong memang gak jelas tujuannya itu apa, kok. Sama sekali gak ada dan gak mikir akurasi strategis untuk tujuan itu. Padahal cuma untuk urusan kasus sianida supaya jelas dan expert itu sampai mendatangkan ahli dari Australia, UI dan dari mana-mana, kok. Lha ini urusan gimana pengen jadi kaya masak ya gak ada strateginya. Kan mestinya jelas, gini, gini, gini, atau jelasnya gimana.”

Peradaban buta menurut Budayawan asli Jombang ini tak lain adalah peradaban yang masyarakatnya buta pembacaannya terhadap kondisi universalnya (kebersatuannya dengan semesta), karena terlanjur dijebak oleh sebuah tatanan konspirasi global yang menyuguhkan beragam dualitas dalam kungkungan lokal untuk dipertentangkan, dihadap-hadapkan dan dibenturkan, bukan untuk disatukan dalam harmoni ketauhidan.

Peradaban buta juga adalah peradaban yang orang-orang di dalamnya sengaja diubah paksa mindset dan persepsinya oleh tatanan “aquarium global” untuk memandang kebahagiaan sejati bukan lagi berdasarkan prinsip kesejahteraan, kedamaian dan ketenteraman batin, melainkan sudah diganti paksa ukurannya dengan semata urusan strata kaya-miskin. Akibatnya, orang yang berumah kayu dan bambu di desa-desa, lagi-lagi dipaksa tidak percaya diri seperti dulu sekadar untuk merasa bahagia, dibandingkan mereka orang-orang kota yang rumahnya berupa gedung-gedung mentereng, megah dan tinggi.

“Peradaban buta semacam inilah yang sebenarnya merupakan upaya sengaja pihak-pihak di luar sana untuk mendegradasi persepsi manusia zaman kita, salah satunya dalam memaknai bahagia dan sejahtera itu yang benar gimana dan mestinya seperti apa,” tambah Cak Nun.

Meski demikian, masih dengan nada kelakar khasnya, Ayah Noe Letto itu justru mengaku makin optimis, tetap bangga dan bahagia bahwa bangsa Indonesia itu sejatinya telah dipilih oleh Allah untuk diuji dengan bermacam ujian besar. Sehingga ke depan diyakininya akan tetap menjadi bangsa yang tidak gampang dibikin sedih, mudah kagetan, cepat patah semangat, bahkan meski ibarat diinjak-injak sampai telenyek pun, gak masalah dan akan tetap gak ada matinya.

“Yang saya maksud gak gampang kagetan itu rakyat lho ya? Rakyat Indonesia, yang gak gampang dihancurkan meski terus-terusan dibuat menderita. Yang kagetan itu kan malah yang sarjana-sarjana, yang Profesor, yang Doktor-Doktor dan yang terpelajar-terpelajar itu,” kata Cak Nun.

“Mereka itulah yang dihadapkan pada persoalan karomah-karomahan saja gampang kaget. Gampang terpengaruh. Lha kenapa gak ingat, lha wong urusan memastikan berapa miligram sianida saja, supaya pasti, marja’ atau rujukannya nyari yang jelas kok. Bahkan sampai ke Australia, sampai kemana-mana. Kenapa pas giliran disebut karomah, karomah, lha kok gak mikir, kira-kira siapa ya, yang ngerti soal ini? Karomah, maunah, hidayah, inspirasi, ilham, wahyu, semua itu kan ada konstelasinya. Kenapa gak nanya sama orang-orang yang ngerti soal ini? Bisanya cuma ngomong saja kemana-mana soal karomah, karomah. Akhirnya yang ada malah salah duga, yang timbul malah salah sangka. Ya Allah, ini kan buta. Ya Allah, ini bener-bener buta…”

 

EH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *