Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 24 January 2017

Singgung Krisis Jati Diri Bangsa, NU Yogya: Muslim Pengen Jadi Arab, ABG Jadi Korea


islamindonesia.id – Singgung Krisis Jati Diri Bangsa, NU Yogya: Muslim Pengen Jadi Arab, ABG Jadi Korea

 

Wakil Ketua PWNU D.I.Yogyakarta M. Jadul Maula tidak sependapat jika hanya karena persoalan bahasa, menjadi alasan “manusia Nusantara”, khususnya generasi baru Muslim Jawa, tidak akrab dengan pagelaran wayang. Bagi pria yang biasa disapa kang Jadul ini, alasan itu termasuk manja karena Al-Qur’an pun dengan bahasa Arab bisa dipahami oleh semua bangsa. Jika pun tidak dipahami bahasanya, orang dapat mengambil berkah darinya.

“Kenapa? Karena ada aspek lain di luar kognitif, yaitu aspek spiritual” kata Kang Jadul di depan peserta Seminar Nasional bertajuk Wayang dan Krisis Manusia Nusantara, di Bantul, seperti dilaporkan portal resmi NU beberapa waktu lalu.

[Baca juga: Disebut Bukan Syariat Islam, Gus Ipul: Wayang Itu Warisan Walisongo]

Ia menambahkan bahwa dengan alasan seperti itu berarti kita sudah mulai tidak adil dalam pikiran kita sendiri terhadap tradisi kita. “Inilah yang menjadikan krisis jati diri pada manusia nusantara. Orientasi jati diri bangsa kita saat ini adalah orang Islam pengen jadi Arab, ABG pengen jadi Korea, dan Politisi orientasinya ke Amerika,” katanya dengan nada prihatin.

Di mata Pengasuh Pesantren Kaliopak ini, wayang dapat menjawab krisis manusia yang selama ini tidak lahir dari diri sendiri dan hanya mencerna dari luar. Bukankah wayang merupakan karangan dan warisan para wali yang pasti ada berkahnya. Pesan para wali, kata Kang Jadul, tidak semata-mata terdapat pada dialognya, tapi juga pada tokoh yang terinternalisasi dalam diri kita.

Hubungan Islam dan budaya orang Jawa yang kerap dipertentangkan sebagian kalangan juga pernah disinggung oleh Emha Ainun Najib. Alih-alih saling menafikan, Emha dalam analoginya  menjelaskan, pertemuan Jawa dan Islam bagaikan botol bertemu tutupnya. Bahkan, kata Cak Nun, sebelum Islam datang, manusia Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.

“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,” katanya menyinggung perbedaan Islam simbolik dan substansial.

Budayawan senior yang akrab disapa Cak Nun ini menyayangkan generasi muda yang tidak dibesarkan bersama wacana wayang. Selain fakor kurikulum sekolah, akselerasi pengetahuan tradisi dan budaya juga tidak didapatkan dalam wacana sosial media.

“Ada kesalahan luar biasa dalam sejarah kita,” kata Cak Nun lepas menyaksikan pementasan wayang ‘dramatic reading’ bertajuk ‘Mencari Buah Simalakama’ di Mocopat Syafaat, Yogyakarta, sebagaimana diliput oleh islamindonesia.id beberapa waktu lalu.

Sedemikian sehingga, aktor Punakawan wayang seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tidak jarang dipertontonkan seolah-olah hanya sebagai badut di stasiun TV.

“Punakawan itu bukan badut, tapi yang memiliki kematangan ilmu. Mereka (bahkan) berkewajiban membimbing raja-raja,” tegas Cak Nun ketika mengurai bagaimana Sunan Kalijaga merumuskan sosok Semar dalam pewayangan.[]

[Baca juga- Cak Nun: Semar Itu Gagasan Tentang Nabi Muhammad, Bukan Badut]

YS/ islam indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *