Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 20 November 2016

Rabithah Alawiyah: Petinggi FPI, Novel Bamukmin, Bukan Habib


islamindonesia.id – Rabithah Alawiyah: Petinggi FPI, Novel Bamukmin,  Bukan Habib

 

Salah satu petinggi Front Pembela Islam Novel Bamukmin disebut ‘habib’ oleh pengacarannya pasca-diperiksa penyidik Bareskrim Polri sebagai Saksi. Saat itu, Novel memberikan keterangan tambahan dalam pemeriksaan usai penetapan Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama sebagai tersangka penistaan agama.

“Hari ini kita baru saja mendampingi Habib Novel Bamukmin sebagai saksi pelapor memberikan keterangan dalam konteks penyidikan. Hari ini kurang lebih keterangannya sama dengan waktu penyelidikan hanya tingkatannya saja yang berbeda,” kata pengacara Novel, Habiburokhman di kantor Bareskrim, Jakarta Pusat, seperti dikutip detik.com Rabu (16/11).

Organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Rabithah Alawiyah, menegaskan bahwa Novel Bamukmin bukan merupakan keturunan Rasulullah (sayyid). Artinya, Novel bukan habib yang secara bahasa artinya keturunan Rasul yang dicintai.

Ketua Umum DPP Rabithah Alawiyah, Sayyid Zen Umar bin Smith, mengatakan, Bamukmin merupakan salah satu suku yang memang berasal dari Yaman atau Hadramaut. Tetapi tidak mempunyai silsilah atau garis keturunan dari Rasulullah.

“Novel Bamukmin itu bukan sayyid apalagi habib,” katanya seperti dikutip republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Begini Kesan Panglima TNI atas Tausiyah Habib Umar bin Hafidz Soal Demo 4 November

Menurut Sayyid Zen, gelar habib tidak bisa disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib. Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang habib, padahal bukan.

Perilaku sebagian oknum yang kerap melakukan kekerasan dalam klaim perjuangannya inilah justru merusak citra dari keturunan Rasulullah sendiri. Dia menjelaskan, seorang sayyid tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah habib.

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati serta bertaqwa kepada Allah.

Dan yang paling penting, lanjutnya, adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Maka, kata dia, menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib.

Sayyid Zen menambahkan, dimanapun sayyid dan habib itu berada, maka mereka harus menjadi warga negara yang baik dan mengikuti semua aturan yang ada di tempat tersebut.

“Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” katanya

Habib Lutfi: Isu Syiah Dibuat Agar Orang Tak Percaya Walisongo

Seperti diketahui, Novel pernah berstatus buron sebelum akhirnya menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Petinggi FPI itu, dianggap bertanggung jawab terhadap aksi anarkis yang terjadi di gedung DPRD DKI pada Jumat, 3 Oktober 2014.

Meski demikian, tak dipungkiri jika perilaku sebagian dari habaib di Indonesia dinilai memprihatinkan. Bukan hanya itu, Abdillah Toha bahkan menyebut ada habib yang prilakunya kerap menimbulkan kegelisahan dan merugikan nama Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas di sini.

“Di Jawa Timur ada juga habib, ketua sebuah yayasan, yang obsesinya setiap hari dari pagi sampai malam memecah belah umat dengan menyerang penganut mazhab dan aliran tertentu. Inilah orang yang mengimpor kekacauan di Timur Tengah ke negeri kita,” kata Abdillah dalam tulisannya di islamindonesia.id bertajuk “Siapa yang Kau Teladani Wahai Habaib?”

Menurut Abdillah, gelar habib ini belakangan banyak dilekatkan pada keturunan Imam Ahmad bin Isa Almuhajir dari Hadaramaut yang mempunyai nasab langsung sampai kepada Fatimah putri Rasulullah SAW dan ayahnya Muhammad SAW.

“Di Indonesia mereka dikenal sebagai marga Alawiyun,” katanya.

Sebelum ini, keluarga Alawiyun lebih sering disebut sebagai Sayyid sedang gelar habib yang berarti kekasih, dahulu hanya disandang dan diberikan oleh pengikutnya kepada orang-orang yang dianggap sebagai panutan dan telah mencapai maqam keagamaan tertentu.

“Entah bagaimana pada masa ini setiap anggota marga Alawi atau Ba-alawi menyandang gelar habib dan dianggap sebagai orang yang ilmu agamanya tinggi,” katanya.

Bagi Abdillah, habaib (jamak habib) adalah manusia biasa. Ada yang baik dan ada yang buruk perilakunya. Tetapi ketika gelar itu disandang kemana-mana, maka risiko terbesar adalah generalisasi masyarakat awam atas tindak tanduk mereka yang menyimpang.[]

OPINI–Siapa Yang Kau Teladani Wahai Habaib?

 

YS / islam indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *