Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 25 January 2017

Prof. Al-Qurtuby: Fungsi ‘Polisi Syariah’ di Saudi Dipreteli, di Indonesia Berkembang Biak


islamindonesia.id – Prof. Al-Qurtuby:  Fungsi ‘Polisi Syariah’ di Saudi Dipreteli, di Indonesia Berkembang Biak

 

Sejak beberapa tahun terakhir mengajar di sebuah universitas riset di Arab Saudi, Prof. Sumanto Al Qurtuby melihat adanya perubahan sosio-kultural-keagamaan yang sangat fundamental di negara-kerajaan ini. Mungkin, kata Al-Qurtuby, perubahan ini luput dari pengamatan para peneliti, sarjana, akademisi, jurnalis, maupun pembuat kebijakan publik.

“Wajah kultural” Saudi dulu dan kini sudah sangat berbeda, setidaknya di kawasan urban bukan dicountryside atau di “daerah pedesaan”.

“Dulu, ketika membicarakan hal-ikhwal yang berkaitan dengan Saudi, kita langsung membayangkan Afganistan di zaman Taliban. Tapi sejak dekade terakhir, banyak perubahan positif dan signifikan di negara yang kini dipimpin oleh Raja Salman,” kata Al-Qurtuby

[Baca juga: Sindir Nasib Situs Sejarah di Makkah, Buya Syafi’i: Rezim Saudi Tuna-adab]

Dalam hal wajah keagamaan misalnya, pria asal Batang-Jawa Tengah ini menyebut, mengalami perubahan besar di Saudi. Kelompok Islam konservatif-radikal-ekstrimis semakin terisolasi dan kehilangan pengaruh publik.

“Sejak mendiang Abdullah bin Abdulaziz Al Saud memegang tapuk kekuasaan dan kendali pemerintahan, baik saat menjadi Putra Mahkota di era Raja Fahd maupun ketika menjadi raja, berbagai reformasi pemikiran dan praktik keagamaan serta kebijakan publik dilakukan untuk mendorong terwujudnya wajah keislaman yang modern, toleran, moderat, dan damai,” katanya.

Raja Abdullah juga-lah yang memprakarsai dialog kultural-nasional dengan para tokoh dan komunitas Syiah. Ia  jugalah yang membuka peluang lebar-lebar bagi warga Syiah Saudi untuk bekerja di semua sektor publik.

“Beliau juga yang “memereteli” pengaruh dan peran sejumlah elit agama konservatif serta memangkas fungsi “Polisi Syariat” yang dulu sangat dominan mengontrol “kesalehan publik”.”

Berbagai kebijakan Raja Abdullah tersebut dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan ritmenya oleh Raja Salman saat ini. Sejak beberapa tahun terakhir, Saudi juga memerangi kaum teroris-ekstrimis yang sering berbuat onar dan menganggu stabilitas politik-ekonomi negara.

“Putra Mahkota Muhammad Bin Nayef menjadi aktor utama yang memimpin langsung perang melawan “terorisme gobal” dan “kekerasan domestik”,” kata cendekiawan jebolan Boston University ini.

[Baca juga: 2 Terduga Teroris Meledakkan Dirinya di Jeddah, Saudi]

Sehingga dengan begitu tidak memberi ruang secuilpun pada kelompok radikal-ekstrimis untuk berkembang biak dan melampiaskan kekerasan di jalan-jalan dan arena publik lain. Saudi, menurut Al-Qurtuby, adalah negara yang sangat mementingkan “keamanan dan kenyamanan nasional”.

“Segala tindakan massa dan “kekerasan sipil” yang dipandang mengganggu atau berpontensi mengancam stabilitas kerajaan dan masyarakat akan ditindak tegas,” katanya.

Jika dibandingkan dengan tanah airnya, Al-Qurtuby berpendapat, sejumlah fenomena perubahan sosio-kultural di Saudi dewasa ini cukup kontras dengan dinamika perkembangan di Indonesia belakangan ini.

“Khususnya sejak lengsernya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan,” katanya.

Sejak itu, sejumlah kelompok Islam di Indonesia bukannya menjadi lebih modern, progresif, toleran, dan damai tetapi justru semakin “kolot”, konservatif, intoleran, dan keras. Wajah keislaman di Indonesia dewasa ini, khususnya di Jakarta dan beberapa kawasan urban, dipenuhi dengan munculnya berbagai ormas Islam ekstrim.

“Serba anti dengan minoritas agama: Syiah, Ahmadiyah, non-Muslim, dan berbagai sekte agama lain, termasuk agama-agama dan kepercayaan lokal,” katanya.

Sejumlah aksi kekerasan, verbal maupun fisik, yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam atas kaum minoritas beserta properti keagamaan mereka juga menjamur di berbagai daerah.

“Polisi Syariat” yang sudah dipreteli wewenangnya di Saudi malah berkembang biak di Indonesia, bukan hanya di Aceh saja tetapi juga di berbagai daerah di Jawa Barat, Banten, dan lainnya,” katanya.

Sejumlah massa dan kelompok sipil yang mengatasnamakan agama dan umat Islam juga bertebaran di sejumlah daerah. Mereka begitu gagah dan “pede”-nya mengaku sebagai “asisten Tuhan” untuk memusnahkan apa yang mereka anggap dan yakini sebagai “kemaksiatan” dan “kemungkaran”.

“Fenomena “kekerasan kolektif” yang diprakarsai oleh sejumlah ormas Islam ini “genuine” Indonesia yang tidak pernah saya temukan di Saudi yang memang melarang keras warganya untuk melakukan tindakan kekerasan komunal,” katanya.

Berbagai elemen ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim juga bereuforia dengan “simbol-simbol keislaman” klasik, termasuk simbol-simbol kebudayaan Arab zaman dulu yang kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab kontemporer seperti tradisi tata-busana.[]

[Baca juga- Buya Syafi’i: “Kekerasan Telah Menjadi Mata Pencaharian”]

YS/ islamindonesia. sumber: dw.com/id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *