Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 10 March 2018

Membiarkan Wajah Muslimah Terbuka Itu Haram? Ini Penjelasan Syekh Al-Ghazali


 

islamindonesia.id – Membiarkan Wajah Muslimah Terbuka Itu Haram? Ini Penjelasan Syekh Al-Ghazali

 

 

Salah satu kenangan ulama Al Azhar Mesir Syekh Muhammad Al-Ghazali ketika berada di sebuah negara Teluk ialah membaca sebuah buku kecil yang menyebutkan bahwa Islam mengharamkan perzinaan. Sedangkan membiarkan wajah wanita tetap terbuka, adalah jalan menuju perzinaan.

“Karena itu, membiarkan wajah wanita dalam keadaan terbuka adalah haram pula. Sebab, yang demikian itu merupakan sumber kemaksiatan,” kata Syekh Al Ghazali mengutip isi buku itu.

Sejauh manakah kebenaran pandangan ini? Ada dua hal, menurut Syekh Al Ghazali, yang sangat diharapkan bagi kebangkitan Islam masa kini. Pertama, menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah menyelewengkan umat sehingga mendatangkan kelemahan padanya dan menimbulkan keberanian musuh-musuh terhadapnya. Dan kedua, memberikan citra Islam yang praktis dan menyenangkan bagi siapa yang memandangnya, di samping menghapus beberapa penimbul keraguan di sekitarnya dan menampakkan kebenaran wahyu sebagai-mana adanya.

“Sungguh disesalkan bahwa sebagian dari orang-orang yang digolongkan dalam gerak kebangkitan ini telah gagal dalam menerapkan kedua hal tersebut,” kata ulama jebolan Al Azhar Mesir ini.

Bahkan sebaliknya, mereka telah berhasil menimbulkan ketakutan terhadap Islam dalam diri banyak orang, dan sekaligus memberi kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk menjelek-jelekkannya.

Kembali pada buku yang berpandangan haramnya membiarkan wajah Muslimah terbuka. “Saya pernah memberikan komentar mengenai pendapatnya itu. Yaitu, bahwa Islam mewajibkan wanita yang sedang menjalankan ibadah haji agar membuka wajahnya. Demikian pula di waktu shalat, agama membiarkan wanita membuka wajahnya.”

Apakah hal seperti ini, yang dilakukan dalam dua di antara rukun-rukun Islam, merupakan pembangkit nafsu birahi atau pembuka jalan bagi terjadinya kejahatan?

“Sungguh sesat kesimpulan yang diambilnya itu,’’ tegas Al-Ghazali.

Menurut murid Syaikh Abdul Aziz Bilal ini, Rasulullah saw sendiri telah menyaksikan wajah-wajah wanita terbuka, dalam pertemuan-pertemuan umum, di masjid dan di pasar. Namun tak pernah diberitakan bahwa beliau memerintahkan agar wajah-wajah mereka itu ditutup.

“Apakah kalian merasa lebih membela kehormatan agama daripada Allah dan Rasul-Nya?,” tanyanya.

Al-Ghazali kemudian mengajak meneliti Kitab Allah dan Rasul-Nya agar segala sisi masalah ini menjadi jelas bagi kita. Pertama, seandainya semua wajah wanita (di masa hidup Nabi saw.) tertutup, mengapa kaum Muslim diperintahkan agar “menahan” pandangan mereka?

Sebagaimana tersebut dalam ayat suci, “Katakanlah kepada orang laki-laki beriman agar mereka “menahan” pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian adalah lebih suci bagi mereka . . .” (An-Nur: 30).

Adakah mereka diharuskan menahannya dari melihat punggung dan bahu? Jelas bahwa “menahan pandangan” yang diperintahkan ialah pada saat melihat langsung ke arah wajah wanita. Adakalanya seorang laki-laki tertarik hatinya ketika melihat wajah seorang wanita.

“Maka seharusnya ia tidak mengulangi pandangannya itu, sebagaimana tersebut dalam salah satu hadis, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali r.a.: Jangan mengikuti pandangan (pertama) dengan pandangan lainnya. (Halal) bagimu pandangan yang pertama, tetapi tidak demikian halnya dengan pandangan lainnya.”

Kedua, adakalanya Rasulullah saw. mendapati seorang yang tiba tiba timbul birahinya apabila melihat seorang wanita yang mengagumkan-nya. Bagi seorang laki-laki seperti itu, jika ia telah kawin, sebaiknya mencukupkan diri dengan istri yang dimilikinya.

Sebagaimana dirawikan oleh Jabir dari Nabi saw., “Apabila seseorang dari kamu melihat seorang wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia pergi menemui istrinya sendiri. Yang demikian itu mampu menghilangkan perasaan yang ada dalam hatinya. Dan sekiranya laki-laki itu tidak mempunyai istri, hendaknya ia mengikuti firman Allah SWT: . . . Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah memberinya kemampuan dengan karunia-Nya . . . (An-Nur: 33).”

Al-Qadhiy ‘Iyadh menuturkan pernyataan dari para ulama di masa-nya; sebagaimana diriwayatkan oleh Asy-Syaukani, bahwa seorang wanita tidak wajib menutup wajahnya ketika ia berjalan di jalanan umum. Sebaliknya, menjadi kewajiban kaum laki-laki untuk menahan pandangan mereka, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.

Ketiga, Pada sebuah hari raya, Rasulullah saw. menujukan khutbahnya kepada kaum wanita. (Pada waktu itu, lapangan tempat berlangsungnya shalat hari raya, digunakan bersama oleh kaum pria dan wanita). Beliau berkata kepada kaum wanita: Bersedekahlah, sebab banyak dari kalian adalah kayu bakar api neraka.

Mendengar itu, seorang perempuan yang wajahnya berwarna cokelat (karena terbakar oleh sinar matahari) dan sedang duduk di tengah-tengah perempuan-perempuan lainnya, bertanya: “Apa sebab kami seperti yang Anda lukiskan, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: Karena kalian terlalu banyak mengeluh dan melupakan jasa dan kebaikan suami-suami kalian.

Berkata perawi hadis itu: “Kaum wanita itu langsung bersedekah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan anting-anting dan cincin-cincin mereka ke arah baju yang dikelilingkan di antara mereka oleh Bilal.”

“Pertanyaannya kini: Dari mana si perawi hadis tersebut mengetahui bahwa perempuan yang bertanya kepada Nabi saw. itu wajahnya cokelat terbakar oleh sinar matahari? Tentunya karena wajahnya tidak tertutup!”

Dalam riwayat lainnya dikatakan oleh si perawi: “Aku menyaksikan wanita-wanita itu ketika tangan-tangan mereka melemparkan perhiasan-perhiasan mereka ke arah baju yang dibawa oleh Bilal.”

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa wajah perempuan dan tangannya tidak termasuk aurat.

Sebagian orang mengatakan bahwa perintah untuk membiarkan wajah terbuka di waktu ibadah haji, ataupun pada waktu shalat, mengisyaratkan bahwa kedua-duanya harus ditutup pada waktu-waktu lainnya. Dan bahwa wanita harus mengenakan cadar yang menutupi wajah serta berkaus tangan!

“Kami ingin bertanya; Allah SWT memerintahkan kaum laki-laki yang sedang melaksanakan ibadah haji agar membiarkan kepala kepala mereka terbuka. Apakah yang demikian itu berarti bahwa kepala-kepala mereka wajib ditutupi di luar waktu-waktu itu?! Tidak! Tentunya hal itu terserah kepada siapa saja  untuk membiarkan kepalanya terbuka ataupun tertutup,” kata Syekh Muhammad Al-Ghazali

Pria yang pernah mengajar di Universitas Umul Qura Saudi ini lalu mengutip ayat, “. . . dan hendaknya mereka (kaum wanita) menutupkan kerudung-kerudung mereka ke dada-dada mereka . . . (An-Nur: 31)”

Perlu kita renungkan (ayat ini), kata Syekh Al-Ghazali.  Sebab, seandainya yang dimaksud ialah menjulurkan kerudung-kerudung agar menutupi wajah, niscaya Allah berfirman: . . . dan hendaknya mereka menutupkan kerudung-kerudung mereka ke wajah-wajah mereka.

Yang demikian itu, lanjut penulis Studi Kritis hadis ini, seandainya perbuatan menutupi wajah wanita memang merupakan lambang masyarakat Muslim, “Dan seandainya persoalan cadar penutup wajah memang memiliki kepentingan yang begitu besar!”

Itulah sebabnya, ketika pemahaman keliru seperti ini hendak dipraktekkan, kaum wanita terpaksa mengenakan burqu’, cadar yang hanya menutupi bagian bawah dari wajah-wajah mereka, agar mereka tetap mampu berjalan dengannya. Tentunya, menutupkan kerudung dari atas sehingga mencakup wajah, akan menyulitkan pandangan.

“Atas dasar itu, kami berpendapat bahwa ayat tersebut sama sekali tidak mengandung nash (ketetapan) yang mengharuskan penutupan wajah!”

Walaupun begitu, tak diragukan pula, bahwa ada sebagian wanita di zaman jahiliyah ataupun pada masa Islam, yang kadang-kadang menutupi wajah-wajah mereka seraya membiarkan mata mereka tanpa penutup. Perbuatan seperti itu, jelas termasuk adat-istiadat dan sama sekali tidak termasuk ibadat.

“Tentunya tidak ada ibadat tanpa nash yang jelas.”

Diriwayatkan pula bahwa seorang wanita bernama Ummu Khallad, datang menemui Nabi saw. dengan mengenakan niqab. Secara umum, niqab ialah cadar yang menutupi seluruh wajah kecuali mata. Menurut tradisi sebagian bangsa Arab dahulu, kaum wanita yang sedang berkabung biasanya membiarkan wajahnya terbuka agar tampak ketesihannya .

Ketika itu, Ummu Khallad menanyakan tentang putranya yang gugur dalam salah satu peperangan. Beberapa orang dari para Sahabat berkata kepadanya: “Anda datang menanyakan tentang putra Anda sedangkan Anda dalam keadaan ber-niqab?”

Wanita itu menjawab: “Kalaupun aku mengalami musibah kematian putraku, janganlah sampai aku mengalami musibah kehilangan rasa malu.”

Keheranan para sahabat berkenaan dengan cadar [niqab) yang menutupi wajahnya, menurut Syekh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa bercadar seperti itu, bukanlah termasuk bagian dari kewajiban ibadat.

[Baca: Prof. Sumanto Al Qurtubi: Antara “Ajaran Islam” dan “Budaya Arab”]

Selanjutnya, mungkin saja ada yang mengatakan bahwa ucapan yang diriwayatkan dari Aisyah menegaskan bahwa menutupi wajah wanita merupakan suatu tradisi Islami. ia pernah berkata: “Adakalanya para musafir melewati kami — kaum wanita — sedangkan kami dalam keadaan ihram haji. Pada saat mereka dalam keadaan sejajar dengan  kami, maka masing-masing kami menutupkan jilbabnya dari kepala sampai kewajahnya. Dan apabila mereka telah melewati kami, kami pun membuka kembali wajah-wajah kami.”

Menurut hasil penelitian kami, kata Al-Ghazali, hadis tersebut sanadnya lemah dan matannya pun syddz (berlawanan dengan riwayat lain yang lebih kuat). Karena itu, hadis tersebut dengan sendirinya tertolak.

“Anehnya, hadis yang tertolak ini justru dipopulerkan oleh para penganjur niqab(cadar penutup wajah). Padahal mereka menolak sebuah hadis lainnya yang tingkatannya lebih baik.”

Yaitu hadis Aisyah tentang Asma’ binti Abu Bakar yang menemui Nabi saw. dalam keadaan mengenakan pakaian yang tipis. Nabi saw. memalingkan wajah seraya berkata: “Hai Asma’, seorang wanita apabila telah mencapai usia dewasa, tidaklah boleh tampak dari tubuhnya selain ‘ini’!”

“Beliau berkata demikian seraya menunjuk wajah dan kedua tangan beliau.Kami menyadari bahwa hadis ini mursal, namun ia dikuatkan oleh beberapa riwayat lainnya. Bagaimanapun juga, ia lebih kuat dari hadis sebelumnya.”

Yang lebih menunjukkan tentang kebolehan membiarkan wajah terbuka ialah sebagaimana dirawikan oleh Muslim bahwa Subai’ah binti Al-Harits ditinggal mati oleh suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil. Beberapa hari kemudian ia melahirkan anaknya.

“Merasa bahwa dengan itu ia telah bebas dari masa ‘iddahnya, ia merias diri dan mempercantik wajahnya seraya bersiap-siap menerima para pelamar (yang berminat mengawininya sepeninggal suaminya yang pertama).”

Seorang dari kalangan Sahabat bernama Abu As-Sanabil mengunjunginya lalu berkata kepadanya: “Kulihat engkau berhias! Adakah engkau sudah ingin kawin lagi? Demi Allah, engkau tak boleh kawin lagi sebelum lewat empat bulan sepuluh hari.”

Berkata Subai’ah selanjutnya: “Ketika mendengar ucapannya itu, aku pun pergi mengunjungi Rasulullah saw. di sore hari itu. Lalu aku tanyakan tentang hal itu kepada beliau. Dan beliau menegaskan kepadaku bahwa sesungguhnya aku telah bebas (dari masa ’iddah) setelah melahirkan kandunganku. Beliau pun mempersilakan aku melangsungkan perkawinan apabila aku ingin.”

Nah, perempuan itu telah menghias dirinya, menghitamkan pelupuk matanya dengan celak dan memerahkan kuku dan telapak tangannya dengan pacar. Sedangkan Abu As-Sanabil adalah seorang laki-laki asing baginya. Ia tidak termasuk mahram (sanak kerabat terdekat) dari wanita itu yang karena kekerabatannya dapat melihat wanita dalam make-upnya.  

Jelas, bahwa semua indikasi menunjukkan bahwa lingkungan masa itu adalah lingkungan yang tidak berkeberatan apabila wanita membiarkan wajahnya terbuka di muka umum.”

Dari kajian ini, ada dua hal menurut Syekh Al-Ghazali yang sangat diharapkan bagi kebangkitan Islam masa kini. Pertama, menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan masa lalu yang telah menyelewengkan umat sehingga mendatangkan kelemahan padanya dan menimbulkan keberanian musuh-musuh terhadapnya. Dan kedua,memberikan citra Islam yang praktis dan menyenangkan bagi siapa yang memandangnya, di samping menghapus beberapa penimbul keraguan di sekitarnya dan menampakkan kebenaran wahyu sebagai-mana adanya.

“Sungguh disesalkan bahwa sebagian dari orang-orang yang digolongkan dalam gerak kebangkitan ini telah gagal dalam menerapkan kedua hal tersebut,” katanya.

Bahkan sebaliknya, mereka telah berhasil menimbulkan ketakutan terhadap Islam dalam diri banyak orang, dan sekaligus memberi kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk menjelek-jelekkannya.[]

 

[Baca: Kritik Syeikh Al-Ghazali atas Pendiri Wahabi]

 

 

 

 

YS/IslamIndonesia/Sumber: Sunah Nabawiyah Bayna Ahlu Fiqh wal hadis (Kairo, 1989)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *