Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 15 January 2017

KOLOM – Islam Syariat dan Budaya


islamindonesia.id — KOLOM – Islam Syariat dan Budaya

 

OlehM. Anis

 

Memang kaum garis keras ini tidak bisa membedakan mana yang syariat dan mana yang budaya. Mereka tidak sadar bahwa Islam turun bukan di ruang hampa dan bukan untuk orang Arab saja. Karena itu, Islam senantiasa berdialektika dengan budaya, dalam bentuk tahmil (adopsi atau mengambil langsung), taghyir (adaptasi atau mengambil dengan perubahan), dan tahrim (menolak).

Salah satu contoh adalah budaya Aqiqah. Sebelum Islam datang, tradisi Aqiqah telah dilakukan oleh bangsa Arab jahiliah, yaitu dengan menyembelih kambing dan darahnya ditampung sebagian untuk diusapkan di kepala bayi agar si bayi kelak menjadi seorang yang pemberani.

Ketika Islam datang, tradisi Aqiqah ini kemudian diadaptasi alias tetap dipertahankan tetapi dengan perubahan. Tidak ada lagi pengusapan darah, melainkan diganti dengan distribusi daging kambing yg disembelih tersebut untuk orang lain, khususnya kalangan tak mampu. Artinya, simbol perang (kekerasan) telah diubah oleh Islam menjadi simbol filantropi (kedermawanan sosial) sebagai perwujudan rasa syukur atas kelahiran anak.

[Baca juga:  Sambut Bulan Muharram, Mengapa Masyarakat Jawa Menyebutnya ‘Suro’?]

Terlihat bahwa identitas keislaman tidak identik dengan kearaban. Islam yang mampu berdialektika dengan budaya mana pun justru membuktikan universalitas dirinya, atau yg diistilahkan sebagai “sholihun li kulli zaman wa makan” (cocok di setiap waktu dan ruang).

Dalam dakwah Islamnya di tanah Jawa, Sunan Kalijaga juga pernah berpesan pada Raden Patah, “Arabe garapen, jawane gawanen.” Maksudnya, Islam yang dari Arab itu mesti digarap sehingga bisa mencapai substansi spiritualitasnya, tanpa harus membuang identitas kejawaan.

Karena itu, tidak mengherankan dakwah Sunan Kalijaga senantiasa menggunakan simbol-simbol budaya, seperti tradisi “tumpeng” yang bermakna “tumindako sing lempeng” (berperilakulah yang lurus), dan sebagainya. Sehingga, Islam menjadi mudah diterima oleh masyarakat.

Imam Syafi’i sendiri dalam kitab fikihnya juga mencantumkan bab khusus berjudul “Al-‘Adat al-Muhakkimah”, di mana tradisi dan budaya bisa saja diadopsi sejauh tidak bertentangan dengan syariat.

Dengan demikian, Islam dan budaya memang mesti dipilah secara teliti, sehingga ajaran Islam yang universal bisa dibedakan dengan budaya yang partikular. Namun, bukan berarti Islam mesti dibenturkan secara diametral dengan budaya. Melainkan, Islam justru mesti didialogkan secara dialektis dengan budaya, sehingga bisa bersinergi dan saling melengkapi.[]

[Baca juga: BUDAYA – Ajaran Tasawuf dalam Islam Jawa]

YS/ islam indonesia/ foto ilustrasi: wikipedia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *