Satu Islam Untuk Semua

Monday, 27 January 2014

KHAS–Ayahku Pemeluk Katolik, Tapi Dialah yang Pertama Membelikanku Hijab


independent.ire

Aku lahir dan besar di Dublin, dari keluarga yang murni keturunan Irlandia. Aku mulai tertarik pada Islam 12 tahun lalu. Secara sosial, gaya hidupku sebenarnya tidaklah seperti kebanyakan orang Irlandia. Aku tak suka pergi ke kelab malam dan tak pernah minum minuman keras. Aku selalu bertanya-tanya, adakah kelompok masyarakat yang memiliki kehidupan tenang, dan keimanan yang cocok dengan cara hidupku.

Aku seolah kehilangan sekeping puzzle, yang membuatku terus mencari. Aku seolah merasa ada sebuah agama yang menungguku—aku hanya perlu memastikannya.

Lalu melalui riset, aku menemukan Islam. Semula aku bersikap diam-diam saja tentang pencarian ini, apalagi saat terjadi peristiwa 9/11. Aku berpikir, “Tak apalah, mungkin bukan ini saatnya. Tapi aku akan terus mencari.”

Akhirnya, tiga tahun lalu, setelah sembilan tahun mempelajari Islam, secara formal aku mengucapkan syahadat. Dua tahun kemudian, aku menikah dengan suamiku sekarang, seorang Muslim asal Mauritania.

Berbeda dengan kebanyakan masyarakat Barat yang menghadapi tentangan keluarga saat berpindah agama Islam, tidak demikian yang terjadi padaku. Saat aku mengucapkan dua kalimat syahadat, ayahku berujar, “Ini memang waktu yang tepat.”  Ayah juga membelikan hijab pertamaku, dan dia pun mengatakan, “Aku akan mencarikanmu sebuah Quran.” Dia sangat membantu. Dia tetap seorang Katolik yang taat, melakukan pengakuan dosa setiap bulan dan pergi ke gereja setiap Minggu. Dia pun tak lupa berdoa siang malam.

Kini aku benar-benar merasa bahagia. Islam adalah agama yang lebih tenang, sebuah jalan hidup yang damai. Ada rasa persatuan yang sangat erat di kalangan umat Islam—bagaimana kita semua shalat lima kali sehari, dan semua Muslim, yang mencakup seperempat populasi dunia ini, sama-sama menghadap ke arah Makkah pada saat melakukan shalat. Kesakralan yang sangat kuat terasa, terutama ketika kita bersujud dan memasrahkan diri kepada Allah Swt.

Salah satu perubahan besar yang kulakukan adalah mengenakan hijab. Aku memutuskan hal ini sebagai tanda pengabdianku kepada Tuhan. Ini juga merupakan simbol penghormatanku kepada suamiku. Bagiku, kecantikan yang tampak melalui rambut dan tubuhku itu, bukanlah untuk dilihat semua orang.

Aku juga mengenakan hijab karena sesekali aku harus berdakwah dan menyampaikan kebenaran ini kepada mereka yang non-Muslim. Sering saat aku belanja ke supermarket, orang akan berkomentar setelah mendengar aksen Ringsend-ku yang kental: “Pasti kamu sudah lama ya tinggal di sini?” Dan dengan senang hati aku akan menjawab, “Aku asli orang sini.” Ini semacam mengabarkan keimananmu kepada orang lain, dan mengatakan “Nggak perlu takut dengan kami (orang Islam), kami juga manusia biasa kok, sama sepertimu.”

Aku selalu berpakaian sederhana, dan tak pernah merasa nyaman mengenakan baju yang mempertontonkan lekuk tubuh. Sungguh aneh kita hidup di tengah masyarakat yang merasa terancam hanya karena melihat orang lain mengenakan busana tertutup, sementara di lain pihak mereka tenang-tenang saja membiarkan gadis ABG mereka menonton Rihanna mengenakan busana yang sangat minim, dengan para penari latar yang menari seronok. Anda harus menghargai jiwa dan kepribadian Anda, bukan dari seberapa banyak bagian tubuh yang Anda perlihatkan—itu sesuatu  yang sangat pribadi, itulah kecantikan Anda.

Orang sering memandang perempuan Muslim dan berpikir kita ini terbelenggu. Anda akan mendengar hal-hal negatif di media—“Wah, kasihan sekali ya perempuan Afghan itu….” Namun saya selalu mengingatkan, “Tolong jangan campurkan antara budaya dan tradisi lokal dengan jaaran Islam.”

IslamIndonesia/Sumber: [independent.ire]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *