Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 04 April 2021

Sumber Maraknya Terorisme: Doktrin Takfirisme, Sumber Dana, dan Rekrutmen Media Sosial (3): Bagi Khawarij, Ali bin Abi Thalib telah keluar dari Islam karena memerangi pasukan yang mengangkat (simbol-simbol) Alquran


islamindonesia.id – Sumber Maraknya Terorisme: Doktrin Takfirisme, Sumber Dana, dan Rekrutmen Media Sosial (3): Bagi Khawarij, Ali bin Abi Thalib telah keluar dari Islam karena memerangi pasukan yang mengangkat (simbol-simbol) Alquran

Sambungan dari bagian 2

Takfirisme

Apa yang dikatakan oleh Said di atas, yakni penyesatan terhadap kelompok yang berbeda – terlepas apapun latar belakang mazhabnya, bisa saja itu datang dari kelompok non-Wahabi, tapi dengan cara berpikir yang sama – dalam istilah lain sering disebut dengan takfirisme.

Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan, Islam Manusia(2017)menjelaskan bahwa takfirisme adalah suatu paham atau gerakan radikal yang berakar pada ajaran—yang seringkali sangat sistematis—untuk melabeli kelompok yang tidak sejalan dengan kelompoknya sendiri sebagai kafir.

Takfirisme dalam Islam merupakan perumusan suatu doktrin pengafiran yang dipercayai kelompok tertentu dengan menggunakan dasar Alquran. Fenomena ini bermula dari adanya kelompok Khawarij—orang-orang yang memisahkan diri dari mainstream Muslim—yang tidak puas terhadap cara-cara para pemimpin dalam mengelola urusan umat.

Intinya, kelompok takfirisme tak ubahnya dengan kelompok ekstremisme, sama berbahayanya. Kelompok ini memicu adanya konflik dan peperangan antar sesama umat Islam.

Kelompok takfirisme yang estrem bahkan tidak segan memperlakukan sesama Muslim yang tidak sejalan dengan cara pandang mereka (mengenai Islam) lebih buruk daripada perlakuan mereka terhadap kelompok non-Muslim, demikian menurut Haidar.

Jika kita amati dengan seksama, apa yang dilakukan oleh para teroris amat sama dengan yang dilakukan oleh kelompok Khawarij pada masa lalu. Sebagaimana dikutip dari Gana Islamika (2020), Khawarij secara resmi lahir sebagai kelompok yang cukup berpengaruh dalam sejarah Islam. Persitiwa kelahirannya tak lain berlangsung pada akhir perang Shiffin yang bermula pada 36 Hijriah.

Saat melihat Ali bin Abi Thalib menyuruh pasukannya berperang melawan pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan yang mengangkat Alquran, kaum Khawarij keluar dari barisan. (Dari sinilah istilah khawarij yang secara harfiah berarti “mereka yang keluar dari barisan” muncul).

Argumen Ali bahwa pengangkatan Alquran oleh pasukan Muawiyah itu hanya tipuan, rupanya tak bisa mereka terima. Bagi Khawarij, Ali telah keluar dari Islam karena memerangi pasukan yang mengangkat (simbol-simbol) Alquran. Ali berdalil bahwa dirinya adalah Alquran yang hidup dan berbicara, sedangkan Alquran yang diusung pihak lawan adalah gulungan teks yang dipakai untuk mengelabui situasi.

Tapi argumen-argumen Ali justru mengeraskan militansi Khawarij. Ali—orang pertama yang memeluk Islam setelah Khadijah—pun puncaknya dikafirkan dan dihalalkan darahnya. Sejarah mencatat bahwa pembunuh Ali, Abdurrahman bin Muljam, sesaat sebelum menetak kepala Ali, berteriak keras: “Hukum hanya untuk Allah, hai Ali. Ia bukan milikmu dan sahabat-sahabatmu!”

Lebih jauh, Ali bahkan meramalkan bahwa kelompok semacam Khawarij tidak akan pernah punah. Ketika mereka berhasil dikalahkan Ali, seseorang berkata kepadanya, “Mereka telah punah, wahai Amirul Mukminin!”

Tapi Ali berkata, “Tidak! Demi Allah, mereka masih ada dalam sulbi-sulbi kaum pria dan rahim-rahim kaum wanita. Namun, setiap kali muncul seorang pemimpin di antara mereka, ia akan ‘terpotong’ sehingga akhirnya mereka hanya tinggal sebagai penyamun-penyamun….”

Dalam men-syarah perkataan Ali di atas, Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa artinya kaum Khawarij tidak akan punah sama sekali. Tetapi, seitap kali muncul seorang pemimpin di kalangan mereka, dia akan segera terkalahkan.

Akhirnya mereka akan menjadi bagai gerombolan-gerombolan liar yang tidak mampu mendirikan “kerajaan”, tidak bergabung dengan mazhab kaum Muslim selain mereka sendiri. Mereka hanya akan merupakan gerombolan orang-orang jahat dan bodoh (Mutiara Nahjul Balaghah: 1995).

Kesimpulan

Lalu bagaimana? Jika apa yang dikatakan oleh Sayidina Ali benar, artinya terorisme akan terus ada sepanjang sejarah manusia, yaitu kelompok yang merasa berhak untuk memusnahkan kelompok manusia lainnya yang berbeda dengan mereka.

Sejatinya pola pikir seperti ini bukan hanya dimiliki oleh teroris belaka, bahkan dalam bentuk yang lebih dahsyat dan canggih hal ini juga pernah terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama, yaitu ketika Jerman dan Jepang pada Perang Dunia II merasa berhak untuk memusnahkan suku bangsa lainnya karena mereka merasa sebagai suku bangsa yang terpilih dan paling unggul.

Dalam era yang lebih kontemporer, hal itu pula yang terjadi terhadap bangsa Palestina. Israel merasa berhak untuk menyingkirkan orang-orang Palestina dari tanah kelahiran mereka sebab merasa bahwa itu adalah tanah yang dijanjikan dan mereka adalah bangsa pilihan Tuhan.

Benar bahwasanya orang-orang dengan ideologi takfirisme akan selalu ada, tapi manusia secara alamiah akan selalu melawannya juga, sebab mereka sadar bahwa ideologi semacam ini jika dibiarkan akan mendatangkan kerusakan yang jauh lebih besar lagi.

Setiap masa, para penganut takfirisme akan muncul dengan caranya sendiri dan yang melakukan perlawanan terhadap mereka juga akan hadir sesuai dengan konteks pada masa itu. Sebagai contoh, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir atas dasar kekhawatiran bahwa dunia akan semakin rusak juga para penganut ideologi fasisme dibiarkan. Perkara bahwa PBB kemudian dalam perjalanannya beralih fungsi atau sudah tidak sesuai dengan ideologi dasarnya itu lain soal.

Dalam konteks terorisme keagamaan yang belakangan ini sedang menggeliat, berdasarkan pemaparan pada awal artikel ini, maka ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk memutus eksistensi mereka: (1) memutus aliran dana mereka; (2) menertibkan akun-akun media sosial dan website penyebar paham terorisme; dan (3) memerangi ideologi takfirisme, mulai dari lingkungan keluarga sendiri, sekolah-sekolah, hingga dalam skala masif setingkat negara.

Memutus ketiga hal di atas sesungguhnya bukan perkara yang terlalu sulit, utamanya dari sisi pemerintah, sebab aktifitas-aktifitas seperti itu di Indonesia seringkali dilakukan secara terang-terangan. Tentu saja jika hal ini sudah dimulai, teroris juga akan bermetamorfosa ke dalam bentuk yang lebih canggih, tapi paling tidak itu saja dulu yang mesti dilakukan.[]

Tamat.

PH/IslamIndonesia/Foto utama: Idrees Abbas/SOPA Images/LightRocket via Getty Images

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *