Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 13 November 2018

Analisis – Trilogi Saudi-Wahhabi-Amerika di mata Buya Syafii Maarif (Bagian 1)


islamindonesia.id – Trilogi Saudi-Wahhabi-Amerika di mata Buya Syafii Maarif (Bagian 1)

 

Ahmad Syafii Maarif pada 6 dan 13 November 2018 menulis artikel berseri yang diterbitkan oleh Republika. Artikel tersebut berjudul “Kiblat di Tangan Para Tiran”, yang isinya merupakan kecaman terhadap rezim Arab Saudi. Sebenarnya, cukup banyak penulis lainnya yang juga pernah menulis tentang keburukan rezim Saudi, namun lain halnya apabila Buya –sapaan akrab Ahmad Syafii Maarif—yang menuliskannya, bagaimanapun beliau adalah mantan Ketua Umum Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Bahkan saat ini, di usia senjanya, Buya bagi Indonesia sudah dianggap sebagai Bapak Bangsa. Maka sebuah kritikan keras dari seorang Bapak Bangsa bagi rezim Saudi dampaknya akan sangat mengena terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.

Tulisan ini akan mengulas artikel Buya dengan tujuan agar pemikirannya dapat dielaborasi lebih dalam, dan dengan harapan  itu dapat tersampaikan secara lebih luas ke masyarakat Indonesia.

Dalam artikelnya, Buya membahas tiga aktor utama, yaitu (1) Rezim Saudi, (2) Ulama Wahhabi, dan (3) Amerika Serikat. Inti dari artikel yang disampaikan Buya, menurut penulis, adalah rasa prihatin beliau ketika dua kota tersuci umat Muslim dikuasai oleh Rezim Saudi yang zalim. Bahkan tidak segan-segan Buya menyebut Rezim Saudi sebagai “tiran”, yang diartikan sebagai “penguasa zalim, penindas, atau jahat,” atau “seseorang yang menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang atau secara jahat.”

Tidak hanya sampai di sana, label negatif lainnya pun beliau sematkan kepada Rezim Saudi (meskipun beberapa beliau kutip dari penulis lainnya), seperti keji, biadab, palsu (berkedok kemuliaan), brutal, tidak dapat dipercaya, korup, anti-demokrasi, feodal, dan penghambat kemajuan. Kekhawatiran Buya terhadap dikuasainya Makkah oleh rezim tiran beliau ungkapkan dalam sebuah pernyataan, “Ini masalah sangat besar karena menyangkut kelakuan penguasa dengan segala atribut mulia yang menempel pada dirinya. Umat Muslimin sedunia wajib memahami semuanya ini dengan sikap sangat awas, tidak boleh tiarap. Ini nasib kiblat mereka yang dikunjungi jutaan orang sepanjang waktu.”

Abdulaziz bin Saud, pendiri Arab Saudi. Foto: riyadhvision

Abdulaziz bin Saud, pendiri Arab Saudi. Foto: riyadhvision

Beliau juga membayangkan sikap Nabi Muhmmad SAW apabila masih hidup, “Saya tidak tahu bagaimana sikap Nabi Muhammad SAW menyaksikan perubahan yang dahsyat seperti ini pada saat agama akhir zaman ini semakin sunyi dari roh kenabian. Proses pembaratan besar-besaran begitu nyata sedang digulirkan dan digalakkan di sana (Makkah dan Madinah). Saya khawatir hati penguasanya telah lama membeku dan membisu terhadap kebenaran, sedangkan ulamanya tidak paham peta.”

 

Penjaga Kota Suci Islam

Bagi kalangan awam, akan cukup untuk sulit untuk menghubungkan keterkaitan antara Keluarga Saudi, Ulama Wahhabi, dan Amerika Serikat (akan dibahas pada sambungan artikel ini). Pasalnya itu melibatkan sejarah yang amat panjang, dan mesti banyak membaca untuk dapat memahaminya. Jangankan untuk sampai ke sana, keluarga kerajaan Arab Saudi untuk dikatakan zalim saja niscaya banyak yang akan menolaknya, dan sampai tahap tertentu bahkan sampai berujung kepada kemarahan dan merasa terhina. Lebih jauh lagi, itu juga dapat disebut-sebut sebagai penghinaan terhadap agama Islam. Bagaimana mungkin penjaga dua kota suci Islam merupakan orang zalim? Bagi anggapan awam, mereka mestilah orang yang alim, saleh, taat agama, suci, dan sederet label kebaikan lainnya.

Tentunya kita semua masih ingat, bagaimana Raja Salman bin Abdulaziz beserta keluarganya disambut dengan gegap gempita ketika mengunjungi Indonesia pada 2017 lalu. Di Bogor, bahkan sekolah sampai diliburkan dan murid-muridnya dikerahkan untuk menyambut Salman sambil mengibar-ngibarkan bendera Arab Saudi dan Indonesia. Narasi di media sosial massif, “Indonesia diberkahi karena kedatangan Raja Salman.” Pada intinya, segala sesuatu yang datang dari Makkah, dianggap sesuatu yang baik, sakral, dan suci, karena dari sanalah agama Islam lahir.

Rombongan siswa sekolah dasar di Bogor menyambut kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saudi, 1 Maret 2017. Foto: Vento Saudale/ Beritasatu.com

Rombongan siswa sekolah dasar di Bogor menyambut kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saudi, 1 Maret 2017. Foto: Vento Saudale/ Beritasatu.com

Padahal apabila kita mau sedikit menengok ke belakang, dari abad ke abad penjaga dua kota suci Islam selalu berganti. Dan belum tentu semuanya orang baik. Bahkan dalam catatan sejarah, perebutan kota Makkah dan Madinah, seringkali diwarnai oleh peperangan dan pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Berganti Dinasti Islam, maka berganti pula penjaga dua kota sucinya. Dan asal tahu, Dinasti Fatimiyah yang bermadzhab Syiah, ketika berkuasa juga pernah menguasai Makkah dan menempatkan Amir-nya untuk mengelola dan menjaga kota Makkah. Ya, Syiah yang di Indonesia seringkali dilabeli stereotip negatif semacam sesat, menyimpang, dan lain-lain.

Belum lagi apabila kita berbicara kontroversi pasukan Yazid dari Dinasti Umayyah yang membakar dan menghancurkan Ka’bah, para budak yang mendirikan Dinasti Mamluk dan menyandera khalifah Abassiyah, Selim dari Dinasti Ustmaniyah Turki yang menaklukan dan menjarah Makkah, dan Husein bin Ali dari Dinasti Hasyimiyah yang bersekutu dengan Inggris untuk menyingkarkan khalifah Mehmed V. Sejarah penjaga kota suci Islam sangat panjang, dan seringkali diwarnai oleh situsasi politik Dinasti yang sedang berkuasa. Bani Saud, hanyalah salah satu dari sekian banyak dan kebetulan yang terakhir dari penjaga dua kota suci Islam, dan menurut Buya Syafii, mereka jelas-jelas bukan jenis penguasa yang baik, bahkan ucapan beliau lebih keras lagi, yakni zalim!

Bersambung ke: Bagian 2

 

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *