Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 20 October 2016

ANALISIS — Mencermati Adu Kuat Petisi Anti-Ahok dan Anti-MUI dalam Kontestasi Pilkada DKI


IslamIndonesia.id – Mencermati Adu Kuat Petisi Anti-Ahok Dan Anti-MUI dalam Kontestasi Pilkada DKI

Pasca demo ribuan massa ke Balaikota Jakarta beberapa hari lalu, alih-alih mereda, perseteruan antara netizen pro-Ahok dan pro-MUI terus berlanjut. Tak cukup hanya dengan perang opini berupa adu meme seperti biasa, belakangan mencuat juga adu kuat dukungan lewat penggalangan petisi.

Tercatat setidaknya ada dua petisi di halaman change.org yang cukup membuat heboh. Pertama, petisi yang dibuat sebuah akun yang mengaku bernama Untuk Indonesia. Yakni akun pro-Ahok yang maju ke gelanggang psywar di dunia maya dengan petisi “Bubarkan Majelis Ulama Indonesia”. Petisi ini dibuat tak lama setelah MUI menyimpulkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melecehkan Al-Qur’an dan mendesak aparat kepolisian segera mengusut kasus tindak pidana berkategori penistaan agama tersebut.

[Baca:  Petisi untuk Penjarakan Ahok Terkait Al-Maidah 51 Capai 62 Ribu]

Dalam petisi pro-Ahok ini disebutkan bahwa MUI merupakan organisasi yang menjadi dalang keributan horizontal di tengah masyarakat yang plural. MUI juga dituding menjadi sebuah lembaga biang kerok yang menebarkan kebencian, permusuhan, dan teror terhadap sesama. Bahkan langkah-langkah yang selama ini diambil MUI, terutama menyangkut fatwa-fatwa yang dikeluarkannya, dinilai sudah sangat diskriminatif terhadap penganut agama tertentu justru dengan mengatasnamakan agama.

Terhitung sepekan sejak dirilis, petisi “Bubarkan Majelis Ulama Indonesia” tersebut bisa dikata minim dukungan. Hanya sekitar 10 ribu orang saja yang ikut menandatanganinya.

Sementara petisi yang digagas massa pro-MUI bernama “Dukung MUI Penjarakan Ahok” berisi hasil rapat MUI yang membahas pernyataan Ahok mengutip surah Al-Maidah 51 itu, meski baru dirilis, dalam dua hari (hingga Rabu (19/10) pagi, ternyata telah meraih hampir 57 ribu dukungan. Hal serupa, terjadi pula pada petisi sebelumnya, “Ahok! Jangan Lecehkan Ayat Al-Qur’an” yang bahkan telah mencapai 75 ribu dukungan.

Bagaimana membaca perkembangan dan fakta yang berkembang belakangan tersebut? Dapatkah diartikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat, khususnya umat Islam terhadap MUI masih tergolong tinggi? Dapatkah pula fenomena ini dibaca sebagai pertanda dukungan terhadap Ahok makin menurun? Atau sebaliknya, hasil dukungan terhadap masing-masing petisi tersebut sesungguhnya sama sekali tak terkait dengan tingkat akseptabilitas keduanya, baik terhadap Ahok maupun MUI?

Dalam konteks Pilkada DKI, mungkinkah fakta ini dapat dijadikan penegasan atas kebenaran prediksi dan hasil survey yang dirilis dalam beberapa bulan terakhir, yang menyebutkan bahwa tingkat elektabilitas petahana makin terjun bebas tak terkendali?

[Baca:  Prediksi Dampak Kasus Al Maidah 51 atas Elektabilitas Ahok]

Dalam dunia politik, banyak faktor yang menyebabkan naik-turunnya tingkat keterpilihan dan penerimaan terhadap para kandidat yang hendak berlaga dalam ajang Pilkada. Banyak pengamat menganggap,  adalah hal yang lumrah jika popularitas petahana cenderung menurun setelah di tengah masyarakat pemilih, mulai dimunculkan pasangan calon baru sebagai alternatif lain, bukan lagi pilihan tunggal seperti sebelumnya. Apa pasal?

Karena dengan hadirnya pasangan calon lain penantang petahana, secara otomatis pula sebaran suara warga bakal terpolarisasi ke kubu para penantang tersebut. Apalagi bila jumlah pasangan kompetitor petahana, sebagaimana di Pilkada DKI Jakarta, malah lebih dari dua pasangan yang dalam kacamata warga dianggap lebih menjanjikan perubahan daripada pasangan Ahok-Djarot yang selama ini telah memimpin Ibu Kota.

Meski demikian, kurang bijak pula jika suara warga sebagaimana yang mereka tunjukkan dalam mendukung atau menolak petisi, sama sekali kita nafikan. Sebab bagaimanapun, semua itu merupakan gambaran sikap warga pemilih yang pada Pilkada DKI Jakarta Pebruari mendatang bakal berpartisipasi langsung dalam pesta demokrasi tersebut.

Demikian pula jika kita asumsikan sebaliknya, bahwa para pendukung atau penolak petisi, baik yang pro-Ahok maupun yang pro-MUI belum tentu warga DKI Jakarta yang mengantongi hak pilih dalam Pilkada DKI, maka setidaknya hal tersebut dapat dijadikan preferensi yang tak mustahil bakal diperhatikan secara serius oleh mereka yang cukup umur dan ber-KTP DKI.

Pendek kata, jika calon petahana tak mau membuka mata atas reaksi pro-kontra yang ditunjukkan warga dalam menanggapi beberapa petisi yang ada, entah mereka punya hak pilih atau tidak dalam Pilkada DKI Jakarta. Maka tak mustahil jika hasil akhir kontestasi justru akan jauh melenceng dari prediksi semula.

Hal ini setidaknya dapat dicermati dari betapa kuatnya dukungan terhadap MUI, yang meski dalam beberapa hari terakhir tampak diserbu dan diserang secara massif kanan-kiri, baik oleh mereka yang sejak awal merupakan militan pro-Ahok atau mereka yang bahkan sama sekali tak punya urusan dengan upaya dukung-mendukung Ahok tapi memang sudah anti-MUI. Tapi, giliran MUI menyatakan sikap anti-SARA, maka sentimen negatif terhadap MUI pun tampak berubah seketika.

Mungkin hal inilah yang mesti mulai lebih kita pahami, bahwa di Indonesia tak terkecuali Jakarta, jangan coba bermain-main dengan kampanye negatif bernuansa SARA. Sebab masalah isu SARA tersebut hingga kini, tetap saja masih merupakan perkara yang seringkali mengubah kedamaian menjadi petaka. Hal yang sama sekali tak disukai, baik oleh mereka yang punya hak pilih maupun yang tidak, dalam ajang Pilkada.

Maka pesan penting yang mungkin layak dicermati para kandidat dalam semua ajang Pilkada adalah fakta, bahwa tak ada calon kuat yang mustahil kalah di putaran pertama, jika sudah mulai bermain-main dengan isu SARA yang sangat dibenci, bahkan dimuaki serta terlanjur menjadi musuh bersama seluruh warga.

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *