Satu Islam Untuk Semua

Friday, 20 January 2017

Cak Nun: Meski Pahit, Diskusikan ‘Apa yang Salah’ Bukan ‘Siapa yang Salah’


islamindonesia.id – Cak Nun: Meski Pahit, Diskusikan ‘Apa yang Salah’ Bukan ‘Siapa yang Salah’

 

Perbedaan pandangan merupakan hal yang lumrah sepanjang sejarah Indonesia, termasuk bagi umat Islam sendiri. Karena itu, mulai dari fikih hingga persoalan politik, para imam mazhab, teolog, filsuf, hingga ulama sekalipun memiliki ragam pandangan.

Meski perbedaan dapat menjadi rahmat dan cermin kekayaan khazanah keilmuan, pada titik tertentu perbedaan dapat dijadikan pemicu perselihan, pertengkaran bahkan perang saudara. Karena itu, agar tidak terjadi konflik yang paling serius, budayawan kondang Emha Ainun Najib mengajak menjaga diri masing-masing.

”Dan memang begitulah hidup itu sejak Nabi Adam. Mesti berbeda pendapat. Maka kuncinya, apakah Anda mengaku jujur pada diri sendiri ketika mengalami perbedaan dengan orang lain,” kata Emha ketika diminta tanggapannya soal demo 411 lalu.

[Baca juga: Tanggapan Cak Nun Soal Demo 4 November]

Seperti diketahui, seiring mencuatnya kasus yang menjerat Gubernur Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama, terjadi polarisasi yang seoalah-olah hanya pertentangan dua kubu. Khususnya di dunia maya, perselisihan antara pedukung Basuki dan Habib Rizieq misalnya semakin hari semakin tidak sehat.

Padahal, sebagaimana kata KH. Ahmad Mustafa ‘Gus Mus’ Bisri, tidak setiap yang turun demo 411 dan 212 misalnya, paham akar masalah Basuki, dan karena itu otomatis layak dibenturkan dengan “anti-Ahok”. Sebaliknya, tidak setiap yang tidak turun demo 411 dan 212 berarti masuk kubu pendukung Basuki dan karena itu mereka otomatis dianggap tak kritis atas kebijakan pemda DKI selama ini.

Saling caci pun mewarnai perselisihan keduanya hingga kiai seperti Gus Mus tak luput dari ujaran kebencian di sosial media.

“Saya itu sederhana sekali, bila ada orang tak setuju dengan sikap atau pemikiran saya, silakan berargumentasi. Bila argumennya lebih kuat, saya akan membuang pendapat saya,” kata Gus Mus setelah mengajak netizen untuk berdiskusi dan berdebat yang beradab di media sosial.

[Baca juga: WAWANCARA – Gus Mus: Fatwa Kok Dikawal, Dasarnya dari Kitab Apa?]

Jika keadaannya seperti ini terus, bagi Emha, bangsa Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam.

“Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau-ranjau untuk mencelakakan anak cucu kita sendiri kelak,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini sperti yang ia tulis di caknun.com (19/1)

Masing-masing yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya masing-masing. Dan tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempersalahkan pihak yang ini atau yang itu.

“Minimal untuk sementara, ada baiknya menghindari ‘kenikmatan’ menuding “siapa yang salah”,” katanya.

Sebab kalau salah benar diposisikan pada subyek, kemudian yang ditegakkan adalah pro dan kontra pihak-pihak, maka semua akan terjebak situasi-situasi subyektif: kalau kita “pro” suatu pihak, maka ia “benar 100%”. Kalau kita “kontra” suatu pihak, maka ia “salah 100%”.

“Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir,” kata pria yang dikenal akrab dengan Gus Dur ini.

Produknya, bagi Cak Nun, adalah kita bermasalah terhadap dua hal: pertama, anak cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah “kebenaran melawan kebenaran” dan “kebaikan melawan kebaikan”. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri, sebab “setiap orang dan pihak ada benarnya ada salahnya”. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah absolut.

“Meskipun pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang salah”. Itu meminta pengorbanan pada harga diri subyektif masing-masing,” katanya.

Mungkin atas masalah “apa yang salah” ini, Gus Mus yang dikenal kritis pada Majelis Ulama Indonesia sekalipun tak pernah menyalahkan individu tertentu di lembaga itu. Dalam wawancaranya di Majalah Tempo, Gus Mus kembali menegaskan masalah lembaga ini pada sistem perekrutan dan statusnya di negara.

Sedemikian, sehingga kebijakan yang keluar dari status yang tidak jelas ini memiliki dampak sosial termasuk bagi umat Islam Indonesia sendiri.

“Bagaimana sistem rekrutmen pengurus? Siapa yang bisa memasukkan seseorang menjadi pengurus? Bila majelisnya adalah ulama, mengapa yang melantik mereka adalah umara (pemerintah)? Apakah umara lebih tinggi dibanding ulama? Statusnya tidak jelas. Bila saya berkata demikian, orang bisa marah. Alasannya, masyarakat terlanjur menganggap MUI sebagai wakil agama Islam di Indonesia. Sementera itu, di Googletertulis MUI sebagai lembaga swadaya masyarakat,” kata Gus Mus.

Karena itu, alih-alih mengevaluasi ke dalam, tak jarang setiap pihak merasa paling benar hingga masukan dan kritik dari pihak lain dianggap ancaman. Padahal Cak Nun menyebut, keselamatan sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran, kejernihan dan kejantanan untuk saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran orang lain.[]

[Baca juga: Kutip Al-Maidah 8, Buya Syafi’i dan Gus Mus: “Umat Terpancing Benci Ahok Berlebihan”]

 

YS/ islam indonesia/ sumber: caknun.com, majalah Tempo dll

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *