Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 27 March 2014

Wawancara Prof.Aiko Kurasawa (2): Jepang Berubah Sikap Setelah Sukarno Hina AS


foto:sukarno.net

Mulai minggu lalu, Islam Indonesia mengetengahkan wawancara khusus dengan Profesor Aiko Kurasawa, salah satu sejarawan ternama Jepang yang sangat menguasai materi perkembangan hubungan antara Jepang dengan Indonesia sepanjang waktu. Ini merupakan bagian terakhir tulisan hasil wawancara panjang  tersebut. Selamat membaca.

 

 

PASCA berakhirnya Perang Dunia ke-2, hubungan Indonesia-Jepang bisa dikatakan sempat mengalami kevakuman. Kontak  mulai kembali dilakukan pada 1951, saat dunia bisnis Jepang mulai membicarakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembangkan industri Indonesia dan guna mengimpor sejumlah komoditi kekayaan alam Indonesia yang diperlukan Jepang untuk pembangunan negaranya pasca perang.

Pembicaraan resmi pertama antara kedua negara terjadi Tokyo pada Desember 1951 terkait pampasan perang. Perundingan tersebut berlangsung alot hingga 6 tahun kemudian kedua pihak menyepakati jumlah 223,08 juta dollar AS sebagai kompensasi. “ Pampasan perang itu dibayarkan selama periode 12 tahun dalam bentuk barang modal dan jasa…”tulis  Masashi Nishihara dalam The Japanese and Sukarno’s Indonesia. Pembangunan Hotel Indonesia, Komplek Ganefo (kini dikenal sebagai Gelora Bung Karno dan Komplek DPR/MPR),  Wisma Nusantara,  Jembatan Ampera di Palembang, Hotel Ambarukmo, Yogyakarta, Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu dan Hotel Bali Beach di Sanur adalah diantara bentuk kongkret dari kompensasi pampasan perang tersebut.

Bagaimana proses pembangunan kontak bilateral itu dijalankan dan seperti apa kiprah orang-orang Jepang selanjutnya terutama menjelang dan sesudah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September? Di edisi ke -2 ini, Profesor Aiko Kurasawa akan memaparkan soal-soal tersebut kepada Hendi Jo dari Islam Indonesia. Berikut kutipannya: 

Kabarnya soal kongkretisasi pampasan perang ini telah mengundang beberapa perusahaan Jepang untuk berlomba-lomba memenangkan proyek tersebut?

Betul.Ada dua perusahaan yang bersaing ketat memenangkan proyek hasil pampasan perang itu yakni grup Tonichi dan group Kinosita, Mereka berlomba-lomba mengambil hati Presiden Sukarno dengan berbagai cara

Termasuk mengenalkan dua perempuan Jepang kepada Presiden Sukarno?

Ya, itu dilakukan oleh Tonichi dan Kinosita. Di buku Masashi Nishihara disebut-sebut  tentang dua perempuan Jepang yang dikenalkan kepada  Presiden Sukarno. Mereka  adalah Sakiko Kanesue (dikenalkan oleh Kinosita) dan Naoko Nemoto (dikenalkan oleh Tonichi). Namun dalam perkembangan selanjutnya yang berhasil eksis hingga hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Sukarno adalah  Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi. Bahkan Dewi  yang berpandangan sangat Barat ini dinilai memiliki pengaruh besar dalam beberapa keputusan politik yang dikeluarkan oleh Bung Karno. Terutama terkait keputusan yang berhubungan dengan Jepang.

Sebegitu berpengaruhnya seorang Dewi terhadap Bung Karno?

Tentu saja, setelah resmi Dewi menjadi istri kesekian dari Bung Karno, kiprah para pebisnis Jepang di Indonesia berjalan lancar. Begitu lancarnya, hingga mereka disebut-sebut bisa menemui Bung Karno tanpa melalui jalur protokol. Oh ya selain itu, seorang Dewi yang berpandangan Barat dianggap dapat menyeimbangkan pandangan politik Bung Karno yang cenderung ke kiri pada saat itu (mulai 1960-an). Wajar jika kehadiran Dewi ini sangat tidak disukai oleh kalangan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang malah memiliki kedekatan dengan istri Bung Karno yang lain yakni Hartini.

Sesuai Perjanjian San Francisco pada 1951, posisi Jepang kan saat itu ada dalam “supervisi” Amerika Serikat (AS) sebagai pemenang perang. Apakah “kedekatan” Jepang dengan Indonesia yang saat itu cenderung ke kiri, tidak menjadi masalah bagi AS?

Tidak ada masalah. Bahkan ada kecenderungan AS membiarkan hubungan itu tetap berlangsung. Amerika Serikat dengan sengaja membiarkan situasi demikian karena, dengan memanfaatkan posisi Jepang, mereka masih bisa “menjaga”  hubungan dengan Indonesia.

(Pada tahun 1964 pemerintah Jepang menunjuk Shizuo Saito sebagaiDuta Besar ke Indonesia.  Menurut Aiko, ini merupakan pilihan yang sangat tepat, mengingat Saito pernah mempunyai kedudukan penting dalam Gunseikanbu Somubu pada zaman Jepang dan mempunyai hubungan pribadi dengan Sukarno sejak itu. Beliau adalah salah satu diplomat asing yang bisa bertemu dengan Soekarno tanpa protokol. Secara singkat, boleh dikatakan bahwa hingga G30S meletus, Jepang mempunyai kedudukan agak khusus dengan Indonesia, kendati kala itu Jepang dianggap sebagai negara yang pro Barat)

Setelah Peristiwa G30S meletus, bagaimana sikap Jepang sendiri terhadap Sukarno?

Pada masa itu pemerintah Jepang bersikap ragu-ragu. Pada  awal-awal,  kebanyakan politisi dalam pemerintahan Jepang bersimpati terhadap Sukarno secara pribadi dan mengharapkan ia akan kembali mengendalikan situasi. Pada 12 Oktober Perdana Menteri Sato mengirim pesan kepada Sukarno mengucapkan “rasa syukur atas keselamatan Presiden” mengikuti pesan yang telah disampaikan sebelumnya oleh Tiongkok, Pakistan dan Filipina. Sementara negara-negara Barat tidak ada yang menyampaikan pernyataan demikian. 

Bagaimana sikap AS sendiri terhadap reaksi Jepang tersebut?

Pada akhir bulan Oktober pemerintah Amerika berkomentar bahwa Jepang  masih ada dalam situasi “terkena hipnotisme Sukarno” dengan masih menganggapnya sebagai tokoh yang vital, sehingga  Jepang masih berhati hati agar jangan sampai berkonflik dengannya.  Tetapi Amerika mengharapkan bahwa nanti kalau situasi mulai berjalan kearah yang dikehendaki mereka, Jepang juga harus menyusuaikan diri. ( Lihat telegram from Dept. of State to Embassy Oct. 29 1965)  Artinya pada saat itu masih ada perselisihan (perbedaan) pikiran antaraJepang dengan AS  dan negara-negara Barat lain mengenai posisi Indonesia pasca G30S.

Bisa anda menyebut contoh dari adanya perselisihan pikiran itu?

Pada saat itu pemerintah Jepang masih merasa perlu memberi bantuan ekonomi kepada Indonesia dengan salah satunya  memikirkan kemungkinan memberi pangan dan sandang senilai 2 juta Yen.

Maksudnya bantuan itu akan diberikan kepada  Sukarno atau penggantinya?

Kemungkinan besar pada saat itu Jepang belum begitu memikirkan soal itu. Bantuan semacam itu pasti memperkuat salah satu pihak yang terlibat dalam perimbangan kekuataan.  Karena sandang-pangan merupakan kebutuhan rakyat dan tidak bersifat politik/militer, Timbul pertanyaan, mungkinkah pemerintah Jepang agak naif dan tidak memikirkan hal itu ? Saya sendiri belum bisa menjawabnya, namun yang pasti  sikap tersebut sangat berbeda dengan AS yang selalu hati-hati agar bantuan mereka  tidak jatuh ke tangan Sukarno dan Soebandrio.

Tetapi betulkah selamanya Jepang sendiri tetap “setia” kepada Sukarno?

Tidak. Sekitar awal-awal November 1965, Duta Besar Saito memutuskan mengakhiri dukungannnya kepada Sukarno.  Keputusan itu terpicu oleh ucapan Sukarno pada 11 November 1965,  yang menghina AS dengan  mengatakan CIA membiayai propaganda yang bersifat pro-Amerika dengan dana 150 juta Rupiah.  Saito kecewa atas sikap Sukarno yang tidak mau memahami kenyataan dan memutuskan ia tidak bisa membela Sukarno lagi.

Jadi Jepang berbalik memusuhi Sukarno?

Tidak juga. Pada sekitar November-Desember 1965, Perdana Menteri Sato pernah menanyakan kepada Setiadi Reksoprojo, Menteri Listrik yang sangat dekat dengan Sukarno dan saat itu sedang ditugaskan ke Jepang: Apakah Sukarno akan mencari suaka di Jepang. Mungkin pemerintah Jepang siap menerimanya. Dijawab Setiadi, Sukarno tidak akan meminta suaka politik kepada negara mana pun.

Apa upaya yang dilakukan Dewi untuk mendekatkan kembali Sukarno dengan pemerintah Jepang?

Awal 1966, dalam suatu kunjungan ke  Tokyo Dewi sempat menemui  Perdana Menteri Sato,. Tetapi Sato, pada waktu itu, diam-diam sudah memutuskan meninggalkan Sukarno dan Dewi sama sekali tidak mencium perubahan sikap politik tersebut.

(Dalam suatu wawancara dengan Aiko, Dewi menyatakan rasa sesalnya karena selama perjalanannya ke Jepang dan Eropa situasidi Indonesia tiba tiba berubah: Bung Karno memecat Nasution dan beberapa menteri yang memusuhinya. Setelah mendengar berita tentang reshuffle  kabinet pada akhir Februari 1966, Dewi  yang pada waktu itu masih ada di Eropa, segera pulang ke Indonesia. Beberapa saat kemudian, Sukarno mengeluarkan  Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Dewi menyesalkan keputusan Sukarno memecat Nasution?

Ya. Dewi yang berpandangan Barat  dianggap oleh banyak orang-orang dekat Sukarno (salah satunya Soebandrio) memiliki kedekatan dengan Nasution dan tokoh-tokoh kanan. Bahkan Soebandrio pernah memiliki rencana menjauhkan Sukarno dari Dewi.

Jika benar Dewi memiliki akses ke tokoh-tokoh kanan, mengapa ia tidak berusaha menyelamatkan posisi suaminya tersebut pasca G30S?

Itu dilakukan oleh Dewi. Sebelum dan sepulang dari kunjungan ke Jepang dan Eropa, Dewi masih berusaha menjembatani hubungan suaminya dengan Nasution dan Soeharto.

Caranya?

Lewat surat-suratnya kepada Nyonya Johanna Nasution pada November 1965, Dewi berusaha mencapai Nasution. Begitu pula dengan Soeharto. . Pada  17 Maret, 6 hari sesudah Supersemar,  Dewi pernah mengundang Soeharto ke Wisma Yaso untuk makan siang.  Tiga hari kemudian, dia mengajak Soeharto main golf dan di sanalah Dewi mengutarakan keinginannya agar Soeharto menyelamatkan suaminya.

Soeharto menyanggupi?

Tidak jelas.  Pada waktu itu Soeharto hanya menganjurkan Dewi  mendorong suaminya pergi ke luar negeri (Jepang) untuk istirahat. Pada saat itulah baru Dewi menyadari “Kami sudah kalah”

(Akhirnya Dewi pulang ke Jepang pada November 1966. Awalnya itu dilakukan Dewi untuk pemeriksaan   kehamilannya dan ia berniat kembali ke Indonesia. Tetapi ternyata kemudian Sukarno  mengharapkan Dewi melahirkan di Jepang.  Atas nasihat  Dokter Jepang, Dewi terpaksa tinggal di Jepang dan melahirkan di sana. Ironisnya putri Sukarno dan Dewi, Karina, lahir pada 7 Maret 1967 di Tokyo persis  pada hari Sukarno dicopot kedudukan sebagai Presiden). (Selesai)

Sumber: Islam Indonesia 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *