Satu Islam Untuk Semua

Friday, 28 September 2018

WAWANCARA – Haidar Bagir: Tak Ada yang Tahu Islam di ‘Benak’ Tuhan Seperti Apa


islamindonesia.id – Haidar Bagir: Tak Ada yang Tahu Islam di ‘Benak’ Tuhan Seperti Apa

 

Penulis buku Islam Tuhan, Islam Manusia, Haidar Bagir, kerap mengatakan daripada kita mengafir-kafirkan orang, belajarlah dari perspektif orang lain sehingga pengetahuan kita tentang Islam semakin lengkap.

Dengan kata lain, kalau kita mau lebih tahu Islam di “benaknya” Tuhan, maka belajarlah Islamnya orang lain, sehingga kalau tadinya kita hanya melihat Islam Tuhan dalam satu aspek kecil, maka dengan belajar Islamnya orang lain menjadikan kita lebih lengkap mengetahui Islam itu seperti apa.

Haidar mengaku menyampaikan hal itu sebetulnya untuk mengimbangi sikap sebagian orang yang sekarang berusaha memutlakkan kebenaran pemahaman ke-Islamannya. Padahal itu hanya satu tafsir dari tidak terhitung tafsir yang mungkin bisa sama-sama benar.

Nah, untuk mengetahui bagaimana pandangan pendiri Mizan tersebut selengkapnya, berikut wawancara dengan Haidar Bagir terkait hal itu seperti dimuat di harianjogja.com.

Saya sangat terkesan dengan Anda karena Anda adalah mahasiwa teknik industri yang cerdas dan cemerlang dalam ilmu tersebut. Tetapi kemudian dalam studi pasca sarjana Anda dengan beasiswa dari Fulbright dan mengembangkan pengetahuan Anda di Amerika Serikat dalam bidang studi Islam. Bagaimana keseimbangan dua dunia itu, mungkin Anda bisa menceritakan perspektifnya?

Mungkin tidak semua saya pahami. Pada waktu itu sebetulnya saya memilih Institut Teknologi Bandung (ITB) tidak dengan pertimbangan yang terlalu matang kecuali karena ayah, kedua adik, dan kakak saya kuliah di ITB. Saya anak kedua, pada saat itu dua orang lebih senior dalam keluarga terdekat saya sudah kuliah di ITB, jadi saya berpikir praktis saja. Padahal saya juga mendaftar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan diterima pada waktu itu.

Ketika saya kuliah di ITB, saya masih menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad) tetapi hanya sampai empat semester karena di Unpad saya tidak menemukan dosen seperti Wimar Witoelar [Wimar adalah dosen Haidar di ITB]. Sepertinya minat saya pada waktu itu lebih kepada menjadi seorang generalis daripada spesialis. Terus terang alasan saya memilih teknik industri adalah jurusan yang paling tidak ITB di ITB.

Ya betul, seperti Fakultas Ekonomi di ITB.

Iya. Kelihatanya memang minat saya menjadi seorang generalis sudah menonjol, tetapi seperti banyak anak Indonesia kadang-kadang kita terlalu lambat untuk mengetahui di mana passion kita.

Saya aktif di Masjid Salman ITB sebagai mahasiswa pada waktu itu dan kelihatannya saya sangat tertarik dengan studi tentang agama Islam, sehingga setelah saya bekerja mengembangkan Mizan selama enam tahun, dorongan untuk belajar Islam makin lama makin kuat. Saya telepon Profesor Muhammad Quraish Shihab, saya bertanya apakah seorang lulusan ITB bisa kuliah di pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN)? Jawab Quraish Shihab, ‘Bisa, daftar saja.’

Jadi Anda pernah daftar di IAIN.

Iya, saya pernah menjadi mahasiswa IAIN selama dua tahun, sudah selesai coursework tetapi belum sampai sarjana. Itu karena saya mendapat Fulbright Scholarship dan melanjutkan studi di Amerika Serikat (AS). Saya beruntung betul pada waktu itu karena pasca arjana di IAIN dipimpin oleh seorang yang sangat rasionalis, yaitu almarhum Profesor Harun Nasution.

Anda banyak menulis buku yang bertema agama. Salah satu buku memiliki tema mengenai agama dan spiritualitas di zaman sekarang, yaitu zaman yang kacau. Judulnya adalah Islam Tuhan, Islam Manusia. Premis dasarnya adalah bahwa Islam itu diciptakan oleh Tuhan, tetapi dipakai oleh manusia. Jadi, kita tidak bisa memikirkan aspek Tuhannya saja, tetapi harus memikirkan juga konteks dengan manusia. Apakah pengertian menurut saya itu benar?

Iya, saya kira itu adalah satu di antara dua premisnya. Jadi buku ini sebetulnya adalah kumpulan tulisan. Saya ambil sekitar 25 tulisan dari 150 – 200 tulisan makalah saya, dan saya pilih yang mempunyai benang merah. Yang lebih penting lagi, sebetulnya ini merupakan ekspresi dari perhatian saya terhadap kehidupan keberagamaan yang menurut saya makin lama makin kacau. Jadi kalau di dalam bahasa Islamnya, zaman kita adalah zaman fitnah, dan fitnah itu artinya chaos.

Di situ saya mengutip seorang ahli komunikasi lama Marshall McLuhan, tetapi bukunya sampai sekarang belum tergantikan yaitu The Medium is The Massage. Menarik bahwa Marshall McLuhan suka main kata-kata. Ketika dibuat desain grafis untuk bukunya, pembuat kovernya salah mengeja. Yang seharusnya tertulis di kover buku adalah The Medium is The Message karena salah mengeja menjadi The Medium is The Massage. Tetapi dia mengatakan, ‘Jangan diganti, ini judul yang paling tepat.’

Pertama dia main-main dengan kata message adalah mass age yaitu zaman kacau, kemudian The Medium is The Massage. Di situ dia ingin bercerita bahwa kadang-kadang konten itu dibentuk oleh bagaimana lezatnya suatu informasi disajikan. Jadi kira-kira kita di-massage oleh medium sehingga konten itu bisa masuk, bahkan kadang-kadang bisa dimanipulasi oleh medium. Dia tulis ini pada zaman audiovisual.

Itu zaman sebelum ada fake news.

Ya, betul pada 1960-an. Jadi premisnya ada dua. Satu, bahwa agama Islam sebetulnya begitu sampai pada manusia maka dia tidak lagi menjadi Islam Tuhan, dia menjadi Islam dalam tafsir manusia. Jadi tidak ada yang bisa tahu Islam di “benak” Tuhan seperti apa. Begitu sampai kepada manusia dia masuk filter manusia, entah tingkat intelektualitasnya, sukunya, tempat tinggalnya, dan saya berusaha membuktikan bahwa seorang muslim di pesisir itu Islamnya bisa berbeda dengan seorang muslim di pedalaman. Jadi jangan ada yang merasa bahwa Islamnya dia adalah Islamnya Tuhan. Islam dia adalah Islam dia. Orang lain bisa mempunyai Islam yang lain tetapi sama-sama benar.

Saya katakan, kalau kita mau lebih tahu Islam di “benaknya” Tuhan, maka belajarlah Islamnya orang lain, sehingga kalau tadinya kita hanya melihat Islam Tuhan dalam satu aspek kecil, maka dengan belajar Islamnya orang lain menjadikan kita lebih lengkap mengetahui Islam itu seperti apa. Daripada kita mengafir-kafirkan orang, belajarlah dari perspektif orang lain sehingga pengetahuan kita tentang Islam sebagaimana yang diinginkan Tuhan semakin lengkap.

Jadi saya menyampaikan itu sebetulnya untuk mengimbangi sikap sebagian orang yang sekarang berusaha memutlakkan kebenaran pemahaman ke-Islamannya. Padahal itu hanya satu tafsir dari tidak terhitung tafsir yang mungkin bisa sama-sama benar.

Seorang sufi besar bernama Ibn Arabi mengatakan bahwa jumlah tafsir terhadap ajaran Islam khususnya kitab suci Alquran bisa sejumlah manusia yang pernah hidup dari zaman Adam sampai kiamat, selama dia mendekati Alquran itu dengan niat yang baik.

Jadi setiap orang bisa unik.

Ya, ekstremnya semua orang bisa unik dan bisa benar. Bahkan dia menggunakan istilah pemahaman yang bersifat vertikal dan horizontal itu semuanya bisa benar. Jadi mungkin akan ada triliunan, atau saya tidak tahu berapa jumlah umat manusia sekarang yang semuanya bisa benar. Jadi daripada mengafirkan, menyalahkan, menyesatkan, belajar saja supaya nanti pengetahuan kita lebih lengkap.

Kedua, sama seperti yang Anda sampaikan, bahwa Tuhan tidak membutuhkan agama Islam. Agama ini diturunkan untuk memandu manusia. Jadi, agama itu hanya penting bagi manusia dan untuk kebahagiaan manusia. Maka saya katakan kalau mau menyenangkan Tuhan jangan membuat susah manusia. Satu-satunya cara membuat Tuhan senang adalah senangkan manusia juga. Saat ini banyak orang merasa imannya semakin kuat kalau dia membuat susah orang.

Mengapa tendensi intoleransi dan kebencian itu sekarang menajam? Apakah itu tanda zaman atau tanda apa?

Perlu saya sampaikan juga bahwa ini ada persoalan alienasi, konsep lama yang sekarang semakin modern dan semakin terasa pada manusia. Manusia itu menjadi semakin lonely, semakin sepi, semakin resah, semakin depressed, dan semakin membutuhkan pegangan. Karena itu orang membutuhkan pegangan dalam keadaan waktunya tidak banyak, dia mencari saja paham yang paling simpel, yang bisa dia jadikan pegangan dan aman. Ini saya kira gejalanya seperti itu.

Apakah ini berarti orang bukan mau mendalami Islam, tetapi mau memudahkan?

Iya, memudahkan. Mencari pegangan yang dia yakin dan mudah. Jadi menjawab pertanyaan Anda tadi, penyebab pertama adalah persoalan kesempitan wawasan dan malas belajar, sehingga sempit-sempit terus. Yang kedua, ini lebih penting dan yang menjadi solusi di buku saya bab terakhir. Menurut saya, ada kesalahan memahami agama sebagai lebih bersifat hukum dan politik. Ini ada persoalan perasaan tertekan dan tertindas. Hal-hal ini menyebabkan orang mencari pemecahan politik dan hukum pada agama.

Ahli fenomenologi agama biasa membagi agama ke dalam dua kelompok. Satu, agama berorientasi hukum, disebut nomos oriented religion atau law oriented religion; dan agama berorientasi cinta, disebut eros oriented religion atau love oriented religion.

Kalau kita baca dari banyak ahli fenomenologi agama yang tidak belajar aspek esoteris Islam, aspek batin, aspek mistik, biasanya mereka akan cepat sekali memasukkan Islam ke dalam agama berorientasi hukum. Padahal sebetulnya tidak sama sekali.

Saya menulis sebuah buku, dan buku itu menarik sebuah penerbit di Inggris, sehingga akhirnya diterbitkan di Inggris berjudul Islam The Fate of Love and Happiness. Di situ saya tunjukan ada kesalahan besar dalam memandang Islam sebagai agama hukum dan agama politik. Saya bisa buktikan bahwa Islam itu as much a love oriented religion dibandingkan ke-Kristenan atau agama-agama Timur.

Kesalahan dalam memandang Tuhan sebagai satu wujud yang lebih bersifat menghukum dan berorientasi kekuasaan, ini yang membentuk para pengikutnya untuk berorientasi pada hukum dan kekuasaan. Jadi dalam buku saya itu, saya membuktikan bahwa Islam itu agama berorientasi cinta dan selama orang tidak bisa mengubah orientasi keberagamaan dari yang bersifat hukum dan politik menjadi berorientasi cinta, maka akan seperti inilah sikap banyak orang muslim.

Bukan muslim saja tentunya. Kalau orang yang orientasinya tidak berdasarkan cinta, agama mana pun yang dia pilih, pasti akan di-abuse karena memang kekerasan agama bukan monopoli Islam.

Apakah ada hubungannya dengan politik atau ekonomi Indonesia?

Saya kira pertama ada hubungannya dengan world order. Kita tahu bahwa sampai tahun 1950-an negara-negara muslim dijajah. Jadi trauma penjajahan itu saya kira belum hilang. Kemudian orang sampai batas tertentu ada alasannya. Setelah negara-negara muslim bebas, ada neoimperialisme yang masih dirasakan. Belum lagi kalau kita baca sejarah, bahkan trauma perang salib juga belum sepenuhnya hilang.

Padahal sudah berapa ratus tahun yang lalu.

Sudah ratusan tahun, tetapi sejarahnya diwariskan terus. Ada persoalan Palestina, kemudian setelah itu ada invasi AS ke Irak pada 1990-an. Sebelumnya ada pendudukan Rusia ke Afganistan. Ini semua sebetulnya membentuk suatu ingatan sejarah yang menyebabkan cara pandang terhadap agama sangat dipengaruhi oleh trauma-trauma sejarah seperti itu. Ditambah lagi sekarang bukan saja secara kolektif sebagian umat Islam merasa dalam posisi menjadi korban, tetapi seperti yang saya katakan tadi, secara individual manusia modern ini sebetulnya manusia-manusia yang tidak terampil bahagia.

Tidak terampil bahagia, misalnya, saya tinggal di Cinere mengalami jalan macet dan jaraknya jauh untuk sampai ke pusat kota. Orang-orang di sekitar rumah saya sebelum pukul 05.00 WIB sudah harus ke luar rumah, tidak bertemu istri dan anaknya. Nanti kalau saya duduk di teras rumah pukul 21.00 WIB mereka baru masuk rumah lagi. Hidup yang penuh stres, di jalanan macet, institusi keluarga mendapatkan ancaman, apalagi sekarang dengan adanya media sosial membuat ancamannya makin besar. Waktu untuk mendidik anak kurang, akhirnya anaknya tidak terkendali. Jadi hidup dalam stres. Jadi mereka mencari safe heaven. Apa safe heaven–nya? Yaitu pergi ke agama.

Kalau orang-orang yang dalam keadaan gamang datang ke Pak Quraish Shihab dan berkata, ‘Saya mau kembali kepada agama, tetapi banyak pendapat. Kira-kira yang betul yang mana?’ Sebagai profesor yang wawasannya luas, Pak Quraish Shihab berkata, ‘Banyak kemungkinan kebenaran, kamu pilih saja salah satu, pasti dia juga benar.’

Kemudian pergilah orang itu kepada ustaz-ustaz yang pandangannya sangat sempit. Dia bertanya dengan pertanyaan yang sama, ‘Ustad kok ini banyak pendapat, yang benar mana?’ Ustaz tersebut menjawab, ‘Yang benar hanya satu yaitu pendapat saya, kalau kamu tidak ikut saya, maka kamu masuk neraka.’  Pak Quraish mengatakan semua benar, ustaz tersebut mengatakan satu yang benar. Jadi dia pilih yang satu. Benar dari segi ustaz ini, juga benar dari segi Pak Quraish.

Apakah ada minimalnya karena tidak mungkin semua Islam itu betul, paling tidak orang harus memenuhi aspek-aspek dasarnya. Apakah ada yang ditolak oleh Quraish?

Saya kira ada. Yang dimaksud Pak Quraish sudah pasti pendapat-pendapat yang sudah selamat melewati tes sejarah. Di ujung buku saya, saya memberikan counter terhadap kecenderungan orang mencari ketenteraman, tetapi dalam pemahaman agama yang dangkal. Saya memberikan alternatif dengan kembali kepada spiritualisme. Spiritualisme itu sama-sama memberikan ketenteraman, tetapi berbeda jauh.

Kalau pendekatan hukum dan politik itu eksklusif, pendekatan spiritualisme itu inklusif. Kalau hukum dan politik itu bisa berujung pada kebencian, maka spiritualisme itu cinta. Benci itu meng-exclude, kalau cinta itu memeluk. Kalau hukum dan politik itu pendekatannya bisa violence [kekerasan], spiritualisme itu pendekatannya damai. Jadi bagi saya, sebetulnya antidot bagi kecenderungan orang untuk menjadikan agama menjadi keras itu adalah mengembalikan agama sebagai ekspresi spiritualisme.

Bagaimana mekanismenya?

Saya kira kita harus menggali kembali kepada khazanah spiritualisme Islam. Tadi saya katakan, saya menulis buku Islam The Fate of Love and Happiness. Kemudian saya menulis sebuah buku pengantar kepada seorang sufi paling besar dalam sejarah Islam, namanya Ibn Arabi dan saya tunjukkan bagaimana pemberian tasawuf itu berputar pada gagasan tentang cinta. Kemudian saya menampilkan tasawuf dari sudut pandang epistemologis.

Jadi saya menulis sebuah buku judulnya Epistemology Tasawuf. Saya berusaha menunjukkan kepada orang bahwa tasawuf itu punya epistemologi sendiri yang bisa dipertanggungjawabkan. Jadi ini bisa memuaskan pikiran-pikiran yang lebih artistik, tetapi pada saat yang sama kepada orang yang cara berpikirnya rasional dan saintifik, saya juga menunjukkan bahwa kita bisa mempertanggungjawabkan secara epistemologis pemikiran tasawuf atau spiritual agama Islam.

 

EH / Islam Indonesia – Sumber: Harian Jogja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *