Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 18 November 2015

WAWANCARA–Haidar Bagir: “Makin Sedikit Guru Mengajar, Makin Banyak Anak Belajar”


Di bawah ini adalah hasil wawancara Mohammad Yudha Prasetya dari merdeka.com dengan Haidar Bagir 6 November 2015 silam soal pandangannya tentang pendidikan Indonesia. Redaksi Islam Indonesia memandang perlu untuk kembali menayangkannya di sini.
Bisa di ceritakan bagaimana Anda akhirnya terpilih menjadi salah satu dari 500 Muslim berpengaruh dunia ?

Itu enggak bisa dijelaskan karena saya sendiri enggak jelas. Jadi saya enggak kenal itu siapa. Saya tentu tahu John Esposito, yang ketua Christian-Muslim Understanding, karena beberapa bukunya juga kita terbitkan. Kalau yang RISSC tadi saya sama sekali tidak punya kontak. Jadi yang saya dengar dari seseorang bahwa mereka itu punya tim di setiap negara. Kemudian tim itu yang melakukan survei, mengenai tokoh-tokoh itu. Saya sendiri tidak pernah diwawancara. Tahu-tahu keluar saja gitu. Pernah juga masuk di ‘The most 500 Influential Muslim in the World 2009’. Jadi katanya tim di Indonesia itu diminta mengusulkan nama-nama, dan dipilih bersama dengan tim yang di Amerika, di Christian-Muslim Understanding itu. Sama sekali enggak ada konfirmasi apapun ke sayanya. Tahu-tahu saya selalu mendengar dari orang.

 

Bentuk penghargaan itu seperti hadiah ?

Enggak, enggak ada hadiah. Itu sebenarnya cuma pengakuan saja. Jadi misalnya yang pertama itu tahun 2009. Itu saya tahunya malah dari Republika. Kan saya langganan Republika, saya baca, tahu-tahu nama saya masuk di salah satu daftar tersebut. Enggak ada konfirmasi apapun. Terus saya diwawancara sama majalah Tempo waktu itu, saya bilang saya juga enggak tahu. Dan terus terang, menurut saya ada orang-orang lain yang juga layak masuk. Waktu itu malah Prof. Quraish Shihab enggak masuk, padahal kan Beliau pengaruhnya juga besar. Surveinya saya juga tidak tahu seperti apa, yang jelas saya tahu dari salah satu yang pernah jadi anggota itu, mereka menanyai orang-orang di sekitar tokoh tersebut mengenai pengaruh dari sosoknya tersebut.

 

Anda juga pernah mendapat beberapa penghargaan keilmuan internasional, bisa ceritakan?

Kalau yang itu saya memang mendaftar. Jadi ceritanya setiap tahun lembaga itu selalu membuka kompetisi untuk pengembangan hubungan sains dan agama. Dari tahun tertentu saya tertarik untuk ikut dalam kompetisi itu. Kalau itu bentuknya betul-betul membuat suatu riset tentang bagaimana pengembangan kurikulum pengajaran mata kuliah hubungan Islam dan sains. Jadi kalau kompetisi itu sangat serius. Itu yang saya kirimkan itu berpuluh-puluh halaman. Kemudian saya membuat dan menyusun kurikulum, setelah itu saya dapat hadiah, kalau enggak salah sekitar USD 10.000. Kebetulan dari Indonesia saya yang terpilih. Nah, setelah itu saya berkewajiban untuk menerapkan itu di universitas. Jadi waktu itu saya mengajar satu semester kurikulum pengembangan sains dan agama. Itu betul-betul hasil riset, ada silabus dan segala macamnya, komplet.

Waktu itu saya ikut mendirikan satu Sekolah Tinggi Agama Islam, namanya Madina Ilmu, dan saya buat pelajarannya di situ. Tetapi programnya bisa dipakai oleh siapapun. Lalu sempat juga saya ikut kompetisi mengenai Hubungan Agama dan Kreativitas, itu juga menang juga. Itu di lembaga yang dibiayai John Temple itu, tetapi saya agak lupa. Itu di riset mengenai Hubungan Agama dan Kreativitas, di dalamnya itu lengkap, ada hubungan antara filsafat, sains dan masyarakat. Macam-macam itu. Kita mengajukan proposal risetnya kemudian didanai oleh mereka.

 

Bagaimana menerapkan pemikiran Anda dengan sejumlah program sosial ?

Sebetulnya begini, bagi diri saya, semua praktik kita di berbagai aspek kehidupan itu paling tidak selalu berakar pada pandangan saya tentang kehidupan secara umum. Bisnis misalnya. Bisnis itu kalau menurut saya akarnya sangat mendalam di dalam filsafat hidup saya. Apakah saya berhasil menerapkan itu atau enggak, bukan urusan saya untuk menilai yah.

Misalnya ketika saya bikin bisnis, saya itu betul-betul didorong oleh motivasi untuk memastikan bahwa hidup saya ini bermanfaat buat orang lain. Jadi bisnis itu bukan semata-mata mencari uang. Malah saya percaya uang itu datang belakangan kalau kita melakukan apa yang kita lakukan itu dengan betul.

 

Apa latar belakang Anda sampai memiliki keyakinan itu ?

Saya sedikit ceritakan, bahwa saya waktu di ITB itu dulu aktifnya di Masjid Salman. Di sana itu kan digembleng betul tentang motivasi berdakwah, mengubah lingkungan di sekitar kita, yang saat itu kita sebutnya ‘mengubah dunia’. Tetapi, to make a difference in the life of others. Bahwa kita ini ada, diciptakan Tuhan, supaya ada nya kita tuh memberikan manfaat buat orang. Kalau enggak untuk apa? Kalau dalam peribahasa Arab disebutkan ada beberapa tipe orang yang, ‘Ada nya dia, dengan tidak adanya dia, tidak ada bedanya’. Ada saja tidak memberikan manfaat. Jadi sebenarnya kalau dia tidak ada pun, tidak ada yang berubah. Itulah yang mendorong saya, kenapa akhirnya saya memilih bisnis di bidang penerbitan dan pendidikan.

Bikin sekolah juga begitu. Saya melihat, karena saya punya empat anak, alhamdulillah anak-anak saya juga sekolah di sekolah-sekolah yang bagus. Tetapi kita punya banyak sekali komplain terhadap sistem pendidikan itu. Nah apa yang harus kita lakukan?. Kebetulan istri saya itu suka jadi guru, suka jadi pendidik, sekolah guru, jadi kita sepakati bikin sekolah. Kenapa sampai terus berkembang, sekarang sudah ada 15 cabang, tahun depan nambah lagi beberapa, itu tujuannya ya mau menularkan gagasan kita tentang sekolah yang baik.

 

Sekolah yang baik itu seperti apa ?

Kita percaya bahwa sebelum kecerdasan IQ, orang itu harus punya kecerdasan spiritual dan kecerdasan moral. Dan terbukti sekarang dalam berbagai riset, bahwa itu sangat menentukan keberhasilan kita menggunakan kecerdasan yang disebut ‘intelligent’ tersebut. Kalau lihat sekolah yang kami kembangkan itu bukan berarti bahwa sekolah ini sudah berhasil menerapkan semua konsepnya. Mau sampai kiamat juga enggak akan ideal. Bahkan karena saya ini pengajar tasawuf dan suka tasawuf, enggak pernah bisa jadi sufi, jauh lah, makanya saya suka bilang saya ini sufi wacana.

Nah konsep-konsep itu juga kita terapkan betul di jaringan sekolah. Dan sekarang malah kita sedang mempersiapkan sekolah yang berbeda sama sekali. Jadi dengan konsep yang betul-betul berawal dari konsep tasawuf, tetapi bukan mengawang-awang. Konsep tasawuf itu menjadi akar, kemudian kita kembangkan seperti sekolah yang memiliki kurikulum, dan perangkat-perangkat seperti sekolah-sekolah yang lain. Di bidang sosial juga begitu. Misalnya, kita sepakat bahwa menjadi muslim itu harus menjadi pencinta, pencinta makhluk-Nya Allah SWT. Salah satunya filantropi. Maka filantropi itu kan dari kata ‘Philein’ (cinta) dan ‘Anthropos’ (manusia), mencintai manusia.

Kegiatan filantropi ini harus dilakukan oleh semua orang, dan kita percaya paling bagus itu kalau dibuat dalam bentuk organisasi-organisasi, bukan sekedar charity yang sifatnya individual. Maka kita bikinlah berbagai organisasi untuk mewujudkannya, seperti yang saya buat antara lain yang Compassionate Action itu filantropi, Yayasan Khair Amal Yasmin, itu juga filantropi. Kemudian gerakan Islam Cinta itu juga filantropi.

 

Bagaimana pandangan Anda soal sistem pendidikan Indonesia saat ini ?

Ini complicated ya sebenarnya, tentu ada persoalan. Persoalan Indonesia ini ada persoalan kurikulum, yang lebih berat lagi tuh soal kesiapan dan kualifikasi guru, itu masih parah saya kira. Apalagi kalau kita bicara di daerah-daerah ya, bukan di Jakarta saja. Dan itu memang tidak mudah, ada persoalan fasilitas, persoalan guru, ada persoalan kurikulum yang mungkin hanya berpengaruh sekitar 20 persen barangkali ya. Jadi ini kan kompleks luar biasa.

Saya juga sering sampaikan pada guru-guru di sekolah saya, sampai batas tertentu ini menjadi laboratorium lah bagi kita untuk mengembangkan sistem pendidikan terbaik. Sekarang ini dunia pendidikan makin menyadari bahwa pendidikan yang terbaik itu adalah pendidikan yang justru campur tangan di luar siswa itu harus diminimalkan. Jadi dulu kan memang pusat pengajaran itu guru, pedagogis (Ilmu atau seni dalam menjadi seorang guru) dan instruksional. Terus orang mulai sadar, diganti belajar-mengajar, guru belajar bersama. Kalau saya, sudah lama saya mengatakan bahwa sekolah itu bukan yang paling penting. Yang paling penting itu siswa. Jadi kita harus mengembalikan semua proses belajar pada inisiatif siswa.

Kebetulan sekarang ini, di jaringan sekolah kami itu berkembang kelas-kelas yang kami cicil, yang nantinya semua akan berubah, itu kelas PBL, Project Based Learning. Sekarang ini kita makin sadar bahwa makin sedikit kita intervensi pada anak-anak, makin besar peluang anak-anak itu untuk belajar. Karena kalau kita belajar dari Finlandia yang disebut sistem pendidikannya terbaik saat ini adalah, sedikit mengajar banyak belajar. Makin sedikit guru mengajar, anak makin banyak belajar. Prinsipnya dengan PBL ini ‘murah’, di mana anak itu belajar dengan inisiatif sendiri, dengan praktik, dan menyimpulkan sendiri dari praktik yang dia buat tersebut. PBL ini menjadi kontekstual, karena berbasis project di mana project-nya harus benar-benar terjadi di lingkungan mereka, jadi mereka belajar secara kontekstual dan otentik.

Kita ini kan seringnya di sekolah itu, yang dipelajari adalah ‘hidupnya anak-anak apa, belajarnya apa’. Misalnya, tentang struktur organisasi kelurahan. Kapan anak itu mengurus kelurahan ? Jadi di PBL itu konsepnya kontekstual dan otentik. Di assessment nya juga ‘authentic assessment’ namanya. Terus itu menjadi ‘murah’, dan tidak perlu ada guru yang pintar-pintar. Guru itu syaratnya punya passion, kemudian dia memfasilitasi anak untuk belajar sendiri. PBL ini adalah metode mutakhir yang sebetulnya membantu untuk mencapai tujuan pendidikan secara paling baik, dengan cara paling praktis dan biaya paling rendah.

Misalnya lagi, sekarang itu istilah ‘penanaman’ (penanaman moral, nasionalisme, dsb) diganti dengan istilah ‘menumbuhkan’. Karena pada dasarnya semua yang ingin di pelajari anak, sudah ada pada diri anak itu. Aneh ? Enggak aneh. Sekarang kita bahas. Yang lebih rendah dari manusia itu makhluk apa ? Tumbuhan. Buah, bunga, ranting, cabang, batang, dan akar pohon, itu semua sudah ada di biji. Betul enggak ? Tumbuhan saja yang hirarki keberadaannya di bawah manusia, itu dengan bijinya saja sudah ada semua yang akan tumbuh. Buahnya dari biji, bunganya dari biji, rantingnya dari biji, cabangnya dari biji, batangnya dari biji, bahkan akarnya semua dari biji. Nah, tugasnya petani itu apa ? Menaruhnya di tanah, tanam biar subur, kalau ada tanaman liar dicabuti, kurang air ditambah air, kalau terpaksa dikasih pupuk. Tetapi apakah kita yang bikin ada akarnya di dalam biji itu ? Atau sudah ada di dalam biji ? Potensi buah itu kan sudah ada di biji. Semua sudah ada di biji, apalagi manusia. Manusia itu di dalam dirinya sudah ada ruh tuhan kok.

Semua itu ada di dalam diri manusia. Jadi keliru kalau orang tuh terlalu jauh intervensi dalam mendidik anak. Seperti seorang petani, pendidik dan lingkungan itu menciptakan atmosfir dan lain sebagainya, yang kondusif bagi anak untuk mengembangkan biji pengetahuannya yang sudah mengandung semuanya itu. Itu sebetulnya konsep ’21 century learning’ yang suka disalah artikan, dengan penggunaan teknologi IT di dalam kelas, kebalik. Malah justru dalam ’21 century learning’ itu penggunaan ‘screen time’ (penggunaan gadget berlayar) harus dikurangi. Jadi waktu anak melihat layar smartphone, tablet, justru harus dikurangi. Anak itu justru harus mencoba layar dipakai hanya untuk memperkuat PBL tersebut.

Pendidik itu keliru jika harus menanamkan sesuatu pada anak-anak. Pendidik itu harus menumbuhkan. Itu yang sebetulnya kurang dipahami dan Indonesia ini terbelakang dalam hal itu. Saya dulu pernah diundang ceramah di sekolah-sekolah unggulan. Saya cerita bahwa kurikulum ini harus dipotongi, dibabat karena load-nya kebanyakan, mubazir, enggak ada gunanya. Tiba-tiba ada seorang guru angkat tangan dan bertanya, ‘Pak, kita ini dengan kurikulum yang begitu berat saja sudah banyak ketinggalan dari negara-negara lain, apalagi kalau bapak kurang-kurangi’. Saya bilang, ‘Justru yang buat kita ketinggalan tuh yang itu,’. Kalau sekolah-sekolah unggulan saja seperti itu gurunya, bayangkan sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah di daerah. Dia pikir makin dia ‘mengojlok’ anak dengan hafalan dan lain sebagainya, terus anaknya makin pintar ? kebalik. Nah ini yang sekarang orang mulai sadar.

 

Sekolah-sekolah yang Anda bangun terbilang sekolah yang cukup elit, bisa dijelaskan alasan Anda mengambil segmen itu ?

Kalau soal mahal, itu banyak orang enggak ngerti berapa biayanya bikin sekolah. Coba, subsidi pemerintah kita itu untuk bikin sekolah berapa puluh triliun ? Hanya untuk tambahan insentif sertifikasi guru, membutuhkan biaya Rp 70 triliun, dan yang saya dengar dianggap gagal.

Jadi orang kalau melihat sekolah negeri itu kan diberi banyak tambahan duit kok. Itu dalam perhitungan kami, SPP nya Lazuardi 13 tahun lalu itu hampir Rp 1,2 juta dalam sebulan, ternyata masih tidak cukup untuk membiayai biaya per-anak di sekolah. Terus kita rugi ? Enggak, ada uang masuk. Jadi uang masuk itulah yang kita ambil untuk menambahi.

Kalau enggak salah SPP anak-anak Rp 1,2 juta, tetapi biaya per-anak untuk semua operasional itu Rp 1,5 juta per-bulannya. Jadi ada tekor Rp 300 ribu per-bulan kira-kira. Total cost dari sekolah itu, dibagi jumlah siswa, itu per-siswanya memakan biaya Rp 1,5 juta. Sementara SPP nya saat itu masih Rp 1,2 juta. Itu kita ambil dari uang pangkal.

Kalau ditanya apakah sudah kembali investasinya dalam 13 tahun ? Belum! Padahal SPP kita saat ini hampir Rp 2 juta tiap bulannya. Uang masuknya sekarang dicicil, sekitar Rp 30 jutaan, mungkin lebih karena saya kurang tahu pastinya berapa. Sudah 13 tahun belum kembali itu investasinya. Jadi saya enggak menyalahkan masyarakat, tetapi memang yang harus dipegang itu bukan omelannya masyarakat, tetapi orang yang tahu pendidikan dan diajak hitung-hitungan, berapa gaji guru yang baik untuk sekolah-sekolah. Kita sekarang untuk gaji saja mungkin hampir Rp 1 M per-bulan, untuk menggaji guru satu sekolah, dengan siswa sekitar 700-800 orang.

Jadi itu yang kadang masyarakat enggak tahu. Jangan bandingkan sama negeri, wong subsidi untuk sertifikasi-nya saja Rp 70 triliun kok. Memang banyak jumlah guru itu, tetapi itu yang disertifikasi baru berapa persen ? Itu saja sudah menghabiskan Rp 70 triliun. Jadi memang pendidikan ini mahal.

 

Pendidikan kita boleh dibilang bergerak lambat, apa yang harus dilakukan pemerintah ?

Problemnya dengan Indonesia, meskipun telah diterapkan 20 persen dari budget APBN untuk pendidikan, yang saya tahu sebagian besar habis di birokrasi. Jadi tidak ke sekolah-sekolah itu langsung, tetapi ke birokrasi.

Menurut saya, birokrasi di Dikbud itu harus diefisiensikan. Kalau enggak, ya habis anggarannya untuk birokrasi. Sementara kalau boleh terus terang, enggak mungkin tugas perbaikan kualitas pendidikan nasional ini hanya diserahkan pada birokrat, dan harusnya melibatkan partisipasi masyarakat.

 

Menurut Anda bisakah pemerintah menggratiskan biaya pendidikan dari SD hingga SMA ?

Saya belum pernah hitung yah. Tetapi sebenarnya kalau birokrasi itu cost-nya di efisien kan, sehingga tidak sampai 70 persen misalnya, ya bisa. Tetapi kalau misalnya 70 persen jatuh ke birokrasi, ya enggak cukup mungkin untuk menggratiskannya sampai SMA. Jadi memang harus ada upaya mengefisienkan. Kalau enggak mungkin mengurangi jumlah pegawai negeri di Dikbud, ya mungkin pengeluaran-pengeluaran non-gaji yang harus dikurangi. Karena itu besar sekali. Terus, biaya pengelolaan sekolah juga dikurangi dengan cara tadi. Paradigma sekolah itu diubah, dari sentralistik yang semua mau dikerjakan oleh Dikbud, pimpinan sekolah dan guru yang membutuhkan biaya besar, kepada penumbuhan keaktifan partisipasi dan inisiatif anak. Itu yang menurut saya akan bisa juga mengurangi cost perbaikan kualitas pendidikan.

Jadi birokrasi diefisienkan, karena anggarannya lebih besar, untuk langsung dirasakan oleh siswa. Kemudian paradigmanya diubah, sehingga kebutuhan untuk pendidikan itu biayanya juga lebih kecil. Nah, kalau bisa itu dilakukan, harusnya kita enggak punya pilihan lain untuk menggratiskan sampai SMA.

 

Bagaimana Anda membangun konsep hingga sekolah Lazuardi masuk sekolah unggulan ?

SMA Lazuardi kita kan bentuknya asrama, salah satu alasannya, Lazuardi ini kan punya hal-hal yang kita perkenalkan dan tidak banyak diperkenalkan di sekolah lain. Misalnya kalau di SMA Lazuardi masalah moralitas, itu kita tekankan betul. Sekali lagi, berhasil atau tidak yang menilai masyarakat. Cuma kan intake nya, (murid baru SMA Lazuardi) itu kan dari SMP lain. Namun kalau yang yang dari SMP Lazuardi sendiri masuk ke SMA Lazuardi, itu kurang dari 50 persen. Dan itu semua sekolah sama. Anak SMP itu merasa dirinya sudah dewasa, kok mau-maunya balik lagi di sekolah waktu mereka SD dan TK ? Karena mereka itu biasanya dari TK atau dari SD, sampai SMP di Lazuardi, terus mereka dengar dari teman-temannya sekolah di sekolah lain lebih enak.

Apalagi SMA Lazuardi ini disiplinnya ketat. Bukan disiplin seperti sekolah tentara, tetapi disiplin positif, di mana mereka diajak merumuskan disiplin bersama, dan tentunya difasilitasi orang dewasa. Bukan semua maunya mereka dituruti, tetapi diajak diskusi dan kemudian diterapkan dengan ketat disiplinnya itu. Pacaran dilarang, handphone dirazia, macam-macam lah. Kadang-kadang kata mereka juga di Lazuardi itu repot, enggak bisa pacaran, terus pindah ke sekolah lain. Jadi katakanlah hanya 50 persen dari SMP Lazuardi yang masuk ke SMA Lazuardi. Tetapi belum tentu juga lulusan SMP Lazuardi itu sudah siap, belum tentu. Jadi katakanlah hanya 30 persen yang siap untuk masuk SMA. Sementara 70 persen lainnya belum siap untuk masuk SMA Lazuardi.

 

Mengapa pendidikan di SMA Lazuardi dibangun dengan konsep asrama ?

Kalau kita hanya mengandalkan belajar pagi sampai sore, itu enggak bisa kita menerapkan atau mengejar ideal kita, yang antara lain ingin menjadikan sekolah sebagai pusat pendidikan moral. Dengan adanya asrama ini, anak-anak itu punya kesempatan lagi. Misalnya habis maghrib diajarkan lagi, salat jemaah sampai isya, ditambah pelajaran agama, subuh pasti dibangunkan, diajak salat subuh, ada kuliah setelah subuh, itu salah satu tujuannya itu. Tujuan lain juga, sekolah itu kalau mau dapat murid cukup, mesti kalau SMA kita harus bisa membandingkan lulusan SMP dari seluruh Indonesia. Caranya gimana ? Ya mesti ada asrama. Misalnya, anak Papua itu hampir tiap tahun hampir selalu ada di sekolah kita. Kalau kita enggak punya asrama, ya susah orang tuanya mau mengirim anaknya. Nah itu beberapa di antara manfaatnya. Tetapi, mengelola asrama itu tidak lebih mudah dari mengelola sekolahnya. Bahkan kita berani mengatakan, lebih sulit mengelola asrama dibanding mengelola sekolah. Kalau di sekolah kan dia padat menerima pelajaran, sore ini yang bahaya. Pacaran, mau keluar, jadi biasanya kepala asrama itu lebih tugasnya dari pada kepala sekolah SMA. Ini penting buat mengingatkan bahwa lebih susah bikin asrama dari pada mengelola sekolah.

 

Sumber: merdeka.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *