Satu Islam Untuk Semua

Monday, 09 September 2019

WAWANCARA – Budayawan: Inti Suro Itu Memperingati Keprihatinan


Islamindonesia.id– Budayawan: Inti Suro Itu Mempringati Keprihatinan

Malam kian larut, namun Kraton Yogyakarta semakin ramai. Antara sebentar, sejumlah pria memasuki gerbang Kraton dari arah berbeda. Mereka berbaju batik lurik dengan bawahan jarik dan pada pinggang belakangnya terselip keris. Sementara setiap kepalanya mengenakan kain blankon.     

Tak lama kemudian, gong ditabuh dan tembang macapat diperdengarkan dari plataran Kraton yang diiringin dengan gamelan. Syair-syair Jawa yang sarat dengan ayat-ayat Al-Qur’an bertalu-talu dilantunkan hingga jarum jam menunjukkan pukul 00.00, pertanda 1 Suro tiba.

Dengan berbaris rapi, para abdi dalem Kraton pun keluar dari pintu gerbang. Mereka berjalan tanpa alas kaki, tanpa seorang pun membuka mulutnya. Mereka melangkahkan kaki lalu tanpa gaduh diiringi warga sekitar yang telah lama menanti dari luar Kraton.  Ritual tapa bisu mubeng benteng yang mengintari dinding Kraton itu pun berlangsung sejauh kurang lebih lima kilometer.

“Tradisi malam 1 Suro tidak harus mubeng benteng tapi ada juga yang jalan kaki dari Jogja ke Parangkritis,” kata budayawan Herman Sinung Janutama ketika menerima Islam Indonesia di kediamannya, Sapen, Yogyakarta, 29 Oktober 2014. Parangkritis merupakan salah satu pantai selatan Jawa yang berjarak 27 kilometer dari Kraton Yogyakarta.

Pria yang juga peneliti naskah Jawa Kuno ini juga menyampaikan makna dan sejarah tradisi mubeng benteng hingga alasan di balik orang Jawa berpantang menggelar pesta pernikahan di bulan Suro. Berikut petikan wawacaranya:

Apa makna mubeng benteng itu?

Pokoknya adalah jalan kaki dan maknanya mengenang hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah.

Ternyata banyak cerita yang berbeda-beda terkait sejarah mubeng benteng?

Oh iya, karena merupakan tradisi ratusan tahun sejak Islam masuk ke Jawa.

Apakah tradisi menyambut bulan Suro di Yogyakarta hanya dilakukan dengan cara mubeng benteng?

Tradisi malam 1 Suro tidak harus mubeng benteng tapi ada juga yang jalan kaki dari Jogja ke Parangkritis, dan itu dilakukan oleh banyak orang dulunya. Ada juga yang jalan kaki dari Kulonprogo ke Gunungkidul yang semuanya bermaksud mengenang hijrahnya Rasul. Mengenang duka deritanya kanjeng Nabi ketika hijrah, demikian pula dukanya Sayidina Ali ketika mengantar para wanita dari Makkah ke Madinah seorang diri, hanya kaum wanita saja yang dibawa, sampai-sampai Sayidina Ali kulit kakinya mengelupas dan tinggal daging saja saking panasnya medan waktu itu. Makanya kami juga mubeng bentengtidak boleh memakai alas kaki dan juga harus topo bisu, atau tidak boleh bicara.

Apa artinya itu?

Artinya mereka (rombongan kanjeng Nabi dan Sayidina Ali) waktu itu dalam kejaran musuh. Jadi kita harus diam. Ini cara orang Nusantara (mengenang) yang dilakukan ratusan tahun. Banyak sekali yang dilakukan orang-orang di Nusantara ini pada 1 Muharram. Oleh karena itu 1 Suro ini menjadi salah satu momen penting di Nusantara. Mungkin di Timur Tengah, 1 Muharram itu biasa-biasa saja tapi bagi orang Nusantara banyak sekali momen-momen penting di malam 1 Suro.

Berarti dulu peringatan malam 1 Suro itu lebih ramai dibandingkan sekarang ya?

Dulu (tahun 80-an), Suro itu, seperti pergi ke laut tiga hari, semedi, dan lain-lain. Saking ramainya (kegiatan, pada malam itu) kita harus memilih.

Sebagian orang justru merayakan tahun baru Islam dengan kegembiraan sebagaimana sebagian orang merayakan tahun baru Masehi, tanggapan Anda?

Oh, itu justru (tradisi) baru (di Jawa). Gembira itu tidak ada (tradisinya). Mempringati Hijrah bagaimana mungkin kita senang-senang, (keprihatinan) Hijrah aja kayak gitu.

Oleh sebab itu ada pantangan untuk mengadakan pesta pernikahan dan bentuk-bentuk pesta lainnya selama Suro?

Betul. Intinya Suro itu adalah memperingati kepirihatinan. Kita ikut merasakan keprihatinan, itu saja intinya (tradisi Suro). Keprihatinan Kanjeng Nabi dan para sahabat-sahabatnya yang ikut menemani beliau. Di saat itu, jika kita mencampuradukkan dengan rasa senang menurut saya itu aneh. Tidak mungkin Allah menciptakan dua hati dalam satu dada. Kalau kita sedang perihatin lalu tiba-tiba kita senang-senang, itu tidak mungkin.

Setelah mubeng benteng tradisi  apa lagi di bulan Suro?

Cuci Pusaka, biasanya nunggu slow, (menanti) Jum’at kliwon. Mepet waktunya karena biasanya kami menunggu malem tasungan (malam kesembilan). Malem tasungan itu dulu adalah pembacaan manaqibnya Hasan dan Husain ( melalui serat Ali Hanafiah versi Melayu)

Sekarang?

Kalau sekarang, sudah tidak berani, karena takut dituduh Syiah. Serius, coba Anda tanya di desa-desa, buku kisah Hasan dan Husain disembunyikan atau dibuang. Itu malam kesembilan, kalau malam kesepuluh Suro kami menyebutnya malem Suran. Bukan bubur Suran, kalau bubur Suran itu pada malam tasungan. Kalau malam suran pakai tumpeng dan lain-lain.

Bubur Suran itu dimakan saat ritual manaqib?

Iya, bubur suran itu bubur merah dan bubur putih. Tapi sekarang sudah jarang yang mengadakan tasungan, khususnya semenjak isu Suni dan Syiah. Saya sendiri hanya bersama kerabat-kerabat dekat yang melaksanakan tasungan, karena takut dituduh Syiah. Kakek-kakek saya dulu demikian, akhirnya kita (mengadakannya) diam-diam saja. Tapi kalau Suran, biasanya membaca (Alqur’an) surat Anbiya. Nanti setelah Suran, tanggal 15 Suran kita mengadakan haul mbah Nuriman (Ulama Mataram semasa HB I) di Melangi.

Bagaimana dengan masyarakat yang menggelar labuhan di pantai Gelagah Kulonprogo pada bulan Suro? 

Itu dari Adikerto (Puro Pakualaman). Kan Jogja ada dua, ada Keraton Jogja dan Puro Pakualaman. Kulonprogo itu wilyahnya Pakualaman. Maka labuhan di Gelagah itu adalah labuhannya Puro Pakualaman, yang sekarang merupakan Pakualaman IX.

Labuhan artinya apa ya?

Labuhan artinya melarung atau menghanyutkan di sungai atau di laut. Itu melarung sukerto, atau hal-hal buruk yang dilakukan sebelumnya. Doanya, semoga ke depan lebih baik. Ada yang namanya lakon wayang namanya Sambrodo Laron, ketika ia melihat ketidakadilan dan ketidakberesan pada Pendowo atau Arjuna, Sambrodo tidak bilang begini – begitu seperti sekarang, publikatif, narsis, demokratis. Ketika ia melihat ketidakadilan yang sistemtis, dia melarung diri, tanpa bicara, (dengan keadaan seperti itu) dia menggugat gusti Allah Swt. Larung itu meminta kepada gusti Allah tapi tanpa bicara. Jadi, seluruh doanya, tuntutannya dan lain-lain dilarung di lautan. Panembahan Senopati juga menerapkan hal yang sama. Joko Tingkir dulu menghanyutkan diri di sungai bengawan solo. Tapi ketika acara kraton (atau Pakualaman) tentu saja memiliki format yang berbeda.

Ada apa di balik Asuro sehingga diperingati setiap tahun dan mengapa Asuro menjadi Suro di Jawa?

Peritiwa Asuro memiliki banyak peristiwa besar sejak ribuan tahun sebelumnya, dari Nabi Adam sampai Nabi Isa, akhirnya sampai peristiwa yang memprihatinkan, yaitu peristiwa Karbala itu. Oleh sebab itu, oleh Sultan Agung, begitu pentingya Asyuro sehingga bulan pertama dalam kalender Jawa dinamakan Suro (yang berasal dari kata Asyuro). Disamping Suro sendiri artinya “keramat” atau “sakti” (dari bahasa Kawi).

YS/islamindonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *