Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 22 April 2014

Prof. Syed Farid Alatas: Yang Tertindas Bukan Hanya Orang Islam


foto:hendijo

Dunia terbelah dalam kelompok besar: yang tertindas dan yang menindas. Mereka datang bisa dari ideologi mana saja

 

KETIKA Kekhalifahan Utsmani di Turki rubuh pada tahun 1924, banyak kalangan menyebut peran besar orientalisme terhadap penghancuran imperium Muslim terakhir tersebut. Begitu pula saat, serdadu-serdadu Belanda berhasil merangsek ke Aceh pada beberapa tahun sebelumnya, sosok orientalis Snouck Hugronje dituduh sebagai salah satu  penanggungjawab dari kekalahan besar Bangsa Aceh yang Islam itu.

Banyak kalangan Islam kemudian memandang orientalisme dengan sinis dan nyinyir. Mereka memaknai orientalisme secara umum  sebagaimana didefenisikan Ahmad Abd al-Hamid Ghurab (1992): “kajian akademis versi Barat yang kafir mengenai Islam dan segala aspeknya: akidah, syari’at, pengetahuan, kebudayaan, sejarah, aturan dan peraturan, hasil bumi dan potensinya dengan tujuan untuk merusak dan mengotori citra Islam, untuk kemudian menguasainya.” Singkatnya, orientalisme menjadi bahasa politik Barat terhadap dunia Islam.

Prof.Dr. Syed Farid Alatas tidak menafikan bias intelektual yang dilakukan oleh para orientalis tersebut. Namun ia menyebut bias itu  juga diberlakukan Barat kepada bangsa-bangsa non Islam di Afrika dan Amerika Latin. “Jadi jangan merasa bangsa Muslim sebagai satu-satunya bangsa yang dizalimi Barat,” ujar pengajar Sosiologi di National University of Singapore ini.

Situasi tersebut  semakin parah, takala para ilmuwan dunia ketiga, justru tidak mengimbanginya dengan sikap kritis. Kalau pun ada yang mencoba kritis, itu masih ada dalam koridor sentimen ideologi yang berapi-api dan jauh dari  jawaban-jawaban intelektual yang memuaskan. Syed  menyebut situasi itu sebagai “ketergantungan akademis” yakni ketergantungan global ilmu-ilmu sosial pada pemikiran konsep-konsep Barat secara tidak kritis. “Ini bahaya, karena menjadikan pikiran kita terbelenggu,”katanya.

Bagaimana seharusnya dunia ketiga (terutama ilmuwan sosial Muslim) menyikapi keadaan “pikiran terbelenggu” seperti itu? Dan seperti apa komentar-komentar lelaki berpenampilan tenang dan ramah ini terhadap soal-soal kekinian orang Islam saat ini?Di tengah perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta, sepulang dari menyampaikan sebuah ceramah akademik di Universitas Indonesia (UI) Depok, beberapa waktu lalu,  Hendi Jo dari Islam-Indonesia coba mengorek jawaban-jawaban tersebut. Berikut kutipannya:

Prof, dari ceramah anda tadi di UI, saya menangkap “kekhawatiran”  anda terhadap ketergantungan akademis yang sangat besar dari para ilmuwan sosial dunia ketiga (terutama ilmuwan Muslim)terhadap Barat…
Tentu saja, ini sebuah kenyataan yang sangat tidak bagus. Orang harus berhenti memandang Barat adalah segalanya. Karena itu akan menjebak kita kepada dominasi dan superioritas yang tidak menyehatkan secara intelektual. Saya berpikir, kenapa kita tidak mencari alternatif-alternatif lain yang lebih universal? Di Asia, banyak tokoh-tokoh ilmu sosial yang konsep-konsepnya bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Contohnya Jose Rizal dari Filipina yang memunculkan Teori Kemalasan  dan banyak tokoh-tokoh ilmu sosial Asia lainnya.

Apa yang harus dilakukan oleh para ilmuwan sosial non Barat untuk keluar dari belenggu pemikiran itu?
Ya, kita harus banyak menulis tentang pemikiran kita sendiri. Diksusi-diskusi harus terus dilakukan dengan menyertakan konsep-konsep para ilmuwan sosial non Barat ke permukaan. Kita harus coba mengangkat pemikiran-pemikiran brilyan mereka secara lebih mendunia.

Prof, sejak tigadasawarsa yang lalu,  banyak kalangan menyebut soal shohwah islamiyah (kebangkitan islam). Anda percaya soal itu?
Saya tidak tahu pasti soal itu (tersenyum). Tapi saya melihat isu ini, tergantung pada golongan mana yang meniupkannya. Maksud saya, jika Al Qaida yang meniupkan soal ini, tentu saja kebangkitan islam yang mereka maksud adalah kebangkitan yang bersifat eksklusif dan politis. Saya harap itu benar, namun modelnya harus sebuah kebangkitan islam yang bisa memperjuangkan hak-hak manusia secara universal.

Banyak yang percaya, kebangkitan islam selanjutnya akan dipegang oleh orang-orang Muslim berbahasa Melayu, termasuk Esposito dan Fazlur Rahman…
Dari segi ekonomi itu memungkinkan. Tapi selama orang-rang Islam tetap berkiblat kepada Barat ( terutama dalam ilmu-ilmu sosia), jangan harap kebangkitan itu akan tiba segera.

Ngomong-ngomong, anda percaya perang agama, Prof?
Tidak. Saya tidak percaya ada perang agama. Banyak peristiwa perang agama yang dalam kenyataannya tidak lebih sebagai perang yang memperjuangkan kepentingan, terutama kepentingan ekonomi.

Kok anda bisa berkesimpulan seperti itu?
Ya, karena pada ujungnya tidak ada satupun perang-perang itu yang mengarah kepada semangat keberagamaan. Anda tahu Perang Salib? Meskipun itu ditiupkan oleh seorang Paus pada awalnya, tapi kepentingan yang paling kental sebetulnya adalah ketiadaan sumber daya di Eropa pada saat itu. Begitu juga saat ini yang terjadi di Irak dan Afghanistan, itu semata-mata soal minyak.

Termasuk konflik Palestina-Israel?
Ya, itu soal politik bukan agama.

Saya pernah mendengar dari seorang dokter Palestina, justru saat ini, pemerintah Israel meinginkan konflik itu seolah perang agama?
Ya bisa jadi itu. Saya juga pernah dengar soal ini. Mereka terpaksa “mengagamakan” konflik tersebut karena hanya agamalah yang bisa membuat orang termobilisasi untuk terlibat, bahkan sampai jauh. Konflik yang didasarkan pada agama biasanya menimbulkan subyektifitas yang membabibuta. Anda tahu, saat ini, hampir sebagian besar orang Islam  tidak bisa membedakan Yahudi sebagai ras dan Yahudi sebagai sebuah gerakan politik. Seharusnya mereka hanya membenci zionisme,bukan ras-nya. Banyak orang-orang Yahudi (terutama dari kalangan ortodoks) yang menolak memusuhi orang-orang Palestina.

Tapi banyak kalangan (terutama Barat) menuduh sumber kebencian terhadap Yahudi dan Nasrani itu justru datang dari Al Qur’an sendiri, Prof?
Pasti yang anda maksud Al-Baqarah:120. Itu memang soal penafsiran. Saya sendiri memandang ayat tersebut lebih dalam konteks sejarah saat orang-orang Islam tidak terima dengan pengkhianatan orang-orang Yahudi di Madinah.

Banyak yang bilang, orang Islam sering berposisi sebagai obyek penindasan dan diskriminasi…
Ya, memang. Jika kita melihat di Afghanistan, Irak, Prancis dan Swis bahkan Amerika Serikat. Tapi kalau mau adil, diskriminasi juga dilakukan oleh Pemerintah Saudi Arabia terhadap para penganut Kristen Najran. Di sana kan mereka dilarang membangun gereja. Lalu di Iran, banyak juga orang-orang yang tidak sepaham dengan pemerintah lantas dipenjarakan. Yang  tertindas dan mengalami ketidakadilan bukan hanya umat Islam kok, tapi juga umat non Islam. Kalau saya pribadi, lebih melihat dunia terbelah menjadi dua: yang zalim dan yang tertindas.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *