Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 04 March 2014

KH. Muchtar Adam: Batu adalah Tali antara Tasawwuf dan Ibadah Para Nabi


KH. Muchtar Adam saat mengisi pengajian tasawwuf di rumahnya, Bandung pada Minggu (02/03).

KH. Muchtar Adam merupakan seorang muballigh, ulama, penulis, cendekiawan, sekaligus pendiri dan pimpinan umum Pondok Pesantren Al Qur’an Baabusalam di Desa Ciburial, Bandung, Jawa Barat.

Dakwahnya yang berbobot, tapi dikemas secara renyah, ringan, dan akrab ditelinga masyarakat ini menjadi nilai plus. Sehingga, tak heran jika kehadirannya selalu dinantikan dan mendapat tempat istimewa di hati umat Islam.

Ditemui di sela-sela kegiatannya mengisi pengajian Tasawwuf di rumahnya, lelaki kelahiran Benteng Selayar, ini bercerita panjang lebar tentang tasawwuf dan kaitannya dengan perkembangan Islam. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan KH. Muchtar Adam;

 

Hakikat tasawwuf?

Tasawwuf itu pensucian atau pembersihan diri seseorang dari segala bentuk kemaksiatan, baik lahir maupun batin. Karena maksiat itu ada maksiat lahir dan ada juga maksiat batin.

Apakah istilah tasawwuf (dalam Islam) sudah ada sejak zaman dulu?

Kalau kita lihat kata sufi, dalam Taurat dan Injil ada kata “musaffi” yang artinya batu, dan dari puncak batu itu ada yang mengawasi. Kemudian suf, sofa, sofiah, sufi, asal katanya dari itu, sampai pada kata mustofa.

Nama Nabi Muhammad Saw. itu di dalam sejarah Islam, dalam Al-Qur’an ada 70 nama. Dalam hadis ada 201 diberi gelar mustofa. Kalau diteliti lebih dalam lagi, mustofa itulah puncak kesufian. Asalnya dari Makkah itu ada Sofa-Marwah, yakni puncak batu di mana di sana ada yang mengawasi orang-orang. Kemudian berubah makna menjadi kesufian yang selalu diawasi.

Jadi istilah tasawwuf itu sudah ada sejak zaman dulu. Sejak zaman nabi-nabi terdahulu, seluruh Nabi ada kata tasawwuf, dan puncaknya mustofa yang merujuk pada Nabi Muhammad Saw., di zaman nabi ada dikenal ashabul suffah. Di zaman sahabat ada Salman Al Farisi.

Kalau di Indonesia ini kan masih belum akrab dengan kata tasawwuf, sehingga saya sendiri menggunakan kata makrifatullah, makrifaturrasul, makriatul malaikat untuk merujuk pada tasawwuf. Karena sebetulnya tujuannya sama.

Ada berapa macam tasawwuf?

Secara umum ada dua, pertama, tasawwuf akhlaki, dikenalkan Al Ghazali dan banyak dirujuk Suni. Tingkatan ini masih tingkat rendah.

Kedua, tasawwuf falsafi, banyak di kalangan ulama Iran yang menggunakan ilmu mantiq (logika) dulu. Nah, tasawwuf ilmi juga termasuk ini.

Kalau di Indonesia ini yang diambil jenis tasawwwuf apa?

Tasawwuf akhlaki. Karena lebih menekankan pada akhlak yang banyak merujuk pada Ihya Ulumuddin, karya Al Ghazali. Dalam tasawwuf ini ada tingkatannya.

Di Indonesia ini Islamnya masih Islam Fiqh. Yang banyak dilihat orang hanya terkait shalat, puasa, dll.

Jadi kalau shalat tidak mengarah pada kiblat, maka dianggap sesat. Karena dilihat dari fiqh. Padahal dalam sudut pandang tasawwuf, Allah ada di mana-mana. Dalam makrifatullah, shalat menghadap kiblat itu masih Taman Kanak-kanak.

Inni wahjahtu wajhiyaladzi fathorossamawati, hadapkan jiwa ragaku pada Allah. Jadi menghadap Allah, bukan menghadap kiblat.

Syariat, tarekat, dan hakikat. Jadi Indonesia ini masih berada di tingkatan syariat.

Tingkatan dalam tasawwuf itu apa saja?

Tingkatan ini salah satunya bisa dilihat dari dzikirnya. Kalau dzikirnya baru La ila ha illallah di kalangan ulama makrifat, itu berarti masih berada di tingkat Taman Kanak-Kanak. Ini masih tingkat pemula, tingkat rendah.

Kemudian, naik tingkat berikutnya—dengan menggunakan dzikir yang menyebut Allah bisa dengan “Hua”, yang berarti Dia (gaib).

Laila ha ila Anta seperti doanya Nabi Yunus ketika dalam perut ikan, ini naik tingkat lebih tinggi lagi.

Lalu, naik tingkat lagi seperti dzikir yang dilantunkan Nabi Musa, la ila ha ila Ana. “Ana” di sini bukan ana (saya), tapi terasa bahwa ana itu “Qolbul mu’min arsyullah” yang berarti hati orang yang beriman adalah arsy Allah. Ini tingkatan tinggi.

Apa itu berarti yang dirasakan oleh Al Hallaj, Robiah ala Adawiyah dan semacamnya?

Iya, kalau dulu dianggap salah. Tapi sekarang, kalau tinjauannya fiqh, salah. Tapi kalau tinjauan tasawwuf ya benar. Ini ibarat teh dan air. Teh ya teh, air ya air. Satu tapi terpisah. Terpisah tapi satu.

Di Makkah ada Sofa Marwah. Di Yerusalem juga ada. Namanya Zion dan Morio. Sama-sama gunung, bentuknya batu. Jadi nyambung dari zaman Nabi terdahulu, hingga Nabi akhir zaman. Sumber ibadah-ibadah Nabi itu kan dulu batu, Nabi Ya’kub yang mulai memperoleh mukjizat di sana, kemudian Nabi Sulaiman membangun Masjidil Aqso, yang disebut Bayt El, Baytullah. Hubungan nabi-nabi itu ya batu. Ka’bah ada Hajar Aswad, ada Maqom Ibrahim. Sofa batu, Marwah juga batu. Jadi pertautan antara Nabi-nabi ini dari Batu. Pusat ibadah para Nabi.

Berarti batu punya peran dalam perkembangan Islam?

Oh iya, dalam makrifatullah itu sangat berperan. Kalau Abu bakar masuk baitullah, sebelum melihat Ka’bah yang dia lihat adalah pemilik Ka’bah

Kalau Umar bin Khattab, sesudah melihat Ka’bah yang dia lihat bukan Ka’bah, tapi pemilik Ka’bah.

Ali bin Abi Thalib, sebelum dan sesudah melihat Ka’bah, Ka’bah tidak terlihat, tapi yang kelihatan pemilik Ka’bah.

Contohnya Nabi Khidzir dan Nabi Musa yang tidak akur. Musa menggunakan ilmu lahir, sedangkan Khidzir ilmu batin.

Siapa Sufi terkenal di kalangan para Nabi?

Sufi terkenal sebelum Nabi Muhammad itu Nabi Yahya. Salah satunya terkait sikap sederhananya. Ia kalau mau makan, tidak berani makan sebelum binatang makan. Binatang buas tidak berani padanya. Nabi Musa itu disebut pembaptis dalam Injil dan Taurat, kalau dalam Al Qur’an disebut shibghoh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *