Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 14 April 2016

WAWANCARA–Huda Elsoudani: “Tidak Bisakah Aku Jadi Su-Syi?”


Huda Elsoudani, wanita berdarah Inggris-Irak yang kini tinggal di London baru saja merilis film dokumenter terbarunya berjudul: “Tidak Bisakah Aku Jadi Su-Syi?”. Film ini dimainkan oleh dua saudari blasteran Irak yang sedang mempelajari konflik sektarian dalam Islam. Film ini merekam perjalanan mereka menemukan bahwa keputusan-keputusan tertentu dalam sejarah telah meningkatkan intoleransi dan menciptakan perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat mereka.

Berikut adalah wawancara Al-Jazeera dengan Huda mengenai film dokumenter tersebut.

Al-Jazeera: Bagaimana Anda bisa memunculkan ide semacam ini?

Huda: Saya sejak beberapa tahun ini sudah memikirkan tentang membuat film mengenai konflik Suni-Syiah. Saya sendiri adalah seorang “Su-Syi”, maksudnya adalah saya mengambil apa yang terbaik dari kedua sekte ini, tetapi ide utamanya muncul dari pengalaman pribadi saya.

Saya merasa bahwa orang-orang selalu mencoba untuk mendorongmu berada hanya di satu salah sekte, dan pertanyaan pertama yang selalu muncul adalah apakah kamu Suni atau Syiah. Ketika kamu menjawabnya dengan “Aku adalah seorang Muslim,” maka itu tidaklah cukup. Hal inilah yang sangat mengganggu saya.

Al-Jazeera: Bagaimana konflik sektarian Irak mempengaruhi pekerjaanmu?

Huda: Sungguh luar biasa. Saya yakin kita semua telah menonton beritanya, dimana kamu mendengar seorang pengebom bunuh diri menarget sekte tertentu, hingga kamu merasa sangat getir dan marah–tetapi sekaligus tak mampu berbuat apa-apa. Saya memutuskan untuk mengarahkan energi tersebut ke dalam film yang diharapkan dapat mencerahkan orang-orang, khususnya generasi muda.

Orang bisa saja mengatakan bahwa film ini meromantisasi hubungan Suni dan Syiah, namun yang saya ingin katakan jika mereka pernah begitu, maka hal itu bisa terjadi lagi. Saya yakin kita bisa mengurangi kesombongan kita masing-masing dan lebih menerima sekte lain.

Al-Jazeera: Sebagai seorang sutradara (film) perempuan Irak, pernahkah Anda mengalami tantangan tertentu?

Huda: Dalam dunia yang industri filmnya didominasi laki-laki, itu bisa jadi tantangan bagi sebagian orang, tapi dalam pengalaman saya orang-orang di sekitar justru sangat suportif dan mendukung.

Satu tantangan yang saya pribadi temukan adalah kesulitan menerobos media arus utama dan membuat suara kita didengar sebagai etnik minoritas. Saya harap bisa melanjutkan perjalalan membuat film sehingga saya bisa membuka pintu untuk lebih banyak lagi pengarah film perempuan dari latar belakang etnik yang berbeda-beda.

Al-Jazeera: Dengan subjek yang sensitif seperti ini, seberapa penting untuk memastikan keseimbangan dalam film Anda?

Huda: Memastikan bahwa film ini muncul dalam keseimbangan adalah prioritas utama saya. PAda mulanya banyak kesulitan yang muncul, karena saya sering bertanya apakah saya bisa menampilkan tiap sekte dengan adil. Dan hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah menambahkan bensin pada bara konflik ini.

Saya ingin mewawancarai sebanyak mungkin orang dengan pendapat yang berbeda-beda, karena saya ingin membuat film ini tetap realistis, kaya dalam isi dan terbuka terhadap bermacam-macam orang.

Al-Jazeera: Sebagian mengatakan, ada penekanan atas kecurigaan Suni terhadap Syiah dalam film ini; apakah itu disengaja?

Huda: Perhatian utama saya adalah untuk secara objektif mengangkat sebanyak mungkin isu utama yang ada pada satu sekte terhadap lainnya, dan kemudian meruntuhkan beragam miskonsepsi yang ada, sehingga ada jembatan yang bisa dibangun suatu saat ketika mereka sama-sama sadar bahwa mereka memiliki begitu banyak kesamaan.

Selama penelitian saya, yang melibatkan pembicaraan dengan banyak orang dari kedua sekte, jelas bahwa ada banyak miskonsepsi tentang praktek Syiah dibandingkan dengan Suni. Jadi saya ingin untuk memfokuskannya dengan jelas. Syiah juga sekarang menjadi target pembunuhan dan kekerasan, sehingga adil untuk menekankan isu ini.

Bagaimanapun juga saya mencoba untuk menyimbangkan dengan menunjukkan beberapa praktek orang Syiah seperti memukul diri mereka selama bulan Muharram dan masalah pelaknatan. Bahkan, ada adegan yang memuat perdebatan yang cukup sengit antara dua gadis dan seorang lelaki yang memunculkan masalah bahwa orang Syiah “suka sekali melaknat”.

Su-Syi

Al-Jazeera: Kenapa Anda memilih dua gadis untuk dokumenter serumit ini?

Huda: Saya ingin mengajak orang kembali pada akar mereka, mengingatkan mereka tentang kesederhanaan Islam. Saya merasa jika saya ingin menunjukkan isu yang kompleks dan sensitif secara sederhana lewat pandangan dua gadis remaja yang masih polos tapi cukup dewasa, maka dampaknya akan lebih besar dalam mempengaruhi pola pikir.

(Alur) ini bisa menghubungkan kita dengan (perasaan) anak dalam diri kita dan mendorong kita merenungi segenap aksi, tingkah laku dan pola pikir kita sendiri dibandingkan jika yang bermain dalam film itu adalah orang dewasa.

Al-Jazeera: Bagaimana reaksi orang terhadap film anda?

Huda: Film ini muncul perdana di Tricycle Theatre di London, dan reaksi dari berbagai ragam penonton sangat fenomenal. Gedung pertunjungan waktu itu penuh dan orang-orang tampak sangat antusias serta haus dengan film seperti ini.

Saya memang menerima beberapa surel yang kasar baik dari orang Suni maupun Syiah yang tidak peduli terhadap persatuan Muslim dan lebih memilih mengobarkan perang daripada mengibarkan bendera perdamaian.

Al-Jazeera: Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

Huda: Saya suka menyentuh isu-isu identitas dan pertukaran budaya untuk membangun kesadaran dan mempromosikan perdamaian. Saya senang menunjukkan subjek-subjek politik dan sosial yang biasanya kita hindari. Sekarang saya sedang bekerja membua video pendek mengenai krisis pengungsi.

 

Andi/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *