Satu Islam Untuk Semua

Friday, 22 April 2022

Selain Emansipasi, Ternyata Soal ‘Citra Islam’ pun Jadi Perhatian Serius RA Kartini


islamindonesia.id – Setiap tanggal 21 April, hampir bisa dipastikan bahwa kisah hidup Raden Ajeng Kartini bakal diulas di berbagai media di Tanah Air. Terutama tentang pemikirannya dalam surat-menyurat dengan sejumlah sahabat dan aktivis perempuan di Belanda semasa pemerintahan kolonial yang dirangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Di dalam buku tersebut, dapat diketahui pemikiran Kartini sebagai seseorang dengan latar belakang dari kalangan bangsawan namun menginginkan agar kaum perempuan pada saat itu dan hingga kini mempunyai kemampuan untuk mandiri dan menentukan jalan hidupnya.

Selain pemikiran tentang emansipasi dan kesetaraan bagi perempuan, di dalam buku itu Kartini juga menyampaikan perjalanannya dalam mendalami Islam.

Kartini sempat gelisah karena kesulitan ketika belajar mengaji. Sebab, dia sama sekali tidak diajarkan untuk memahami makna setiap ayat dalam Alquran.

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?,” tulis Kartini dalam surat kepada seorang aktivis perempuan Belanda, Stella Zeehandelaar bertanggal 6 November 1899 dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Jalan Kartini untuk mempelajari makna Alquran mempertemukannya dengan Muhammad Sholeh al Samarani atau dikenal dengan nama KH Sholeh Darat atau Mbah Sholeh Darat.

Kiai Sholeh saat itu merupakan seorang ulama yang dikenal di Jawa. Dia mempelajari ilmu tasawuf, fiqih, dan ilmu falak dari para ulama di Jawa dan juga ke Makkah. Dia membina pondok pesantren Darat di kawasan Darat, Semarang Utara, Jawa Tengah.

Perjumpaan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat terjadi dalam kegiatan pengajian di rumah sang paman, Pangeran Ario Hadiningrat, yang saat itu merupakan Bupati Demak. Ketika itu Kiai Sholeh memberikan ceramah tentang makna Surah Al-Fatihah.

Sebelum pulang, Kartini diceritakan meminta kepada sang paman untuk dipertemukan dengan Kiai Sholeh. Dalam dialog, Kartini mengatakan baru mendengar makna dari Surah Al-Fatihah dari penjelasan sang kiai. Kartini juga mempertanyakan mengapa para ulama melarang menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa. Menurut Kartini jika hal itu dilakukan maka akan memudahkan umat Islam untuk mempelajari makna Alquran.

Mendengar pertanyaan Kartini, Kiai Sholeh lantas mengucapkan kalimat tasbih. Usai pertemuan itu, Kiai Sholeh lantas menerjemahkan Alquran dari bahasa Arab ke bahasa Jawa atau pegon. Tafsir itu dinamakan Faidhul Rahman.

Selain itu, Kiai Sholeh juga menerjemahkan kitab Al-Hikam ke dalam bahasa Jawa. Tujuannya adalah demi memudahkan penduduk memaknai ajaran yang terkandung di dalamnya.

Proses itu tidak mudah karena pemerintah Hindia-Belanda melarang penerjemahan Alquran. Bahkan para ulama saat itu juga mengharamkan penerjemahan Alquran. Namun, Kiai Sholeh tetap melakukannya.

Dalam kitab Faidhul Rahman, Kiai Sholeh menerjemahkan 13 juz, yakni dari Surah Al-Fatihah sampai Surah Ibrahim. Kitab itu lantas diberikan sebagai hadiah pernikahan bagi Kartini dengan Raden Mas Joyodiningrat yang merupakan Bupati Rembang.

Kiai Sholeh tidak sempat menyelesaikan tafsir itu karena beliau wafat. Dengan membaca kitab terjemahan yang diberikan sang kiai membuat Kartini mengalami perjalanan spiritual. Hal itu terungkap dalam surat Kartini kepada Jacoba Maria Petronella Nellia Porreij van Kol, yang merupakan istri dari politikus sosialis Belanda, Henri Hubert van Kol.

“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai,” tulis Kartini dalam surat tertanggal 21 Juli 1902.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *