Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 17 October 2021

Masjid Angke: Simbol Kebinekaan dan Saksi Perjuangan Melawan Penjajahan


islamindonesia.id – Di antara masjid tergolong kuno yang ada di Jakarta, ada Masjid Al-Anwar atau lebih dikenal sebagai Masjid Angke. Masjid yang dibangun tahun 1761 dan memiliki ukuran 15×15 meter ini terletak di wilayah Tambora, Jakarta Barat.

Meski terbilang kecil dibandingkan ukuran masjid modern saat ini, namun tempat ibadah ini memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya adalah perpaduan gaya arsitektur Belanda, China, Bali, dan Jawa, dalam interior maupun eksteriornya.

Dipercaya masjid ini dibangun oleh orang-orang Bali yang bermukim di sekitar wilayah tersebut, yang dinamakan Kampung Goesti. Orang Bali memang banyak bermukim di wilayah Batavia, karena awalnya mereka dijadikan budak oleh kompeni.

Mereka dipekerjakan di tanah-tanah pertanian sekitar Batavia, atau diperintah mengurus rumah orang Belanda. Namun dalam perkembangannya, banyak juga orang Bali yang datang sukarela ke Batavia dengan tujuan mendaftar masuk dinas tentara kompeni.

“Banyak orang Bali tinggal di Batavia, sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok tanam padi,” ucap sejarawan Adolf Heuken, dalam bukunya Historical Sight of Jakarta.

Teori ini juga diperkuat oleh arsitektur yang dekat dengan kebudayaan Bali. Seperti ujung-ujung atap masjid berbentuk sedikit melengkung ke atas, mengacu pada punggel yang kerap ditemui di Bali.

Sementara ada teori lain yang menyebut, masjid ini didirikan oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten pada 2 April 1761 Masehi. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio.

“Arsitektur masjid memiliki perpaduan corak unsur Jawa dan Tionghoa karena pendirinya memang berlatar belakang dua etnis tersebut. Terlihat dari pintu masuk dan ujung atap yang mirip kelenteng. Selain itu, desain atap tumpang susun Masjid Angke mirip Masjid Demak di Jawa Tengah,” ungkap Doni Swadarma dalam Rumah Etnik Betawi.

Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda.

Pengurus yang membidangi sejarah dan bangunan Masjid, Muhammad Abiyan Abdillah, mengisahkan setelah pembantaian orang China pada 1740, sebagian besar dari mereka mengungsi ke kampung Angke dan dilindungi oleh penduduk yang sudah ada sebelumnya, yaitu warga yang menganut Hindu Bali dan Islam.

“Keberadaan arsitektur bangunan masjid itu sendiri yang mencerminkan keragaman etnis yang ada di Indonesia atau dahulu disebut Nusantara sehingga, semua ini menjadi sebuah cerita sejarah maupun arsitektur yang sangat bhinneka sekali. Kita anggap sebagai sebuah representasi kebhinekaan etnik yang ada di Indonesia,” kata Abdillah, mengutip Bisnis, Jumat (15/10/2021).

Masjid Angke sejak dahulu merupakan pusat belajar dan juga sebagai tempat pelatihan strategi peperangan. Sehingga, selain sebagai tempat penyebaran agama Islam juga diajarkan strategi peperangan. Bahkan sejarah mencatat bahwa Sultan Bone, Arung Palakka pernah membawa pasukannya ke Angke untuk dilatih berperang.

“Fungsi lantai atas dari masjid selain untuk keperluan azan juga untuk memantau musuh sampai sekarang masih dipertahankan juga,” jelasnya.

Hal yang sama terjadi saat perang kemerdekaan, melihat situasi kota Jakarta setelah Proklamasi, lima wilayah Jakarta masih mengalami aneka ragam gejolak perjuangan. Maka, di kompleks masjid ini, para pemudanya sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dalam mengoordinasi kegiatan menentang Belanda.

Melalui khotbah-khotbah yang disampaikannya, para ulama melakukan provokasi untuk menentang Belanda. Bahkan selain itu, masjid ini dijadikan tempat penggemblengan para pejuang bangsa.

“Pemuda menggelar rapat-rapat rahasia. Ulama memberikan ceramah-ceramah terselubung. Begitulah upaya mempertahankan kemerdekaan di Masjid Angke pada masa Revolusi Fisik 1945,” ucap Abdillah.

Abdillah mengungkap, bahwa Angke dijadikan tempat pelatihan perjuangan dari pemuda bangsa. Dari tempat yang agak tersembunyi ini disusun strategi perjuangan dalam menghadapi kekejaman serdadu-serdadu Belanda.

“Rapat-rapat rahasia itu dilakukan seusai salat, sehingga tak terdeteksi oleh Belanda,” tambahnya.

Untuk memastikan rapat-rapat rahasia itu tak terdeteksi, katanya, ruangan lantai tiga (menara), yang dulunya digunakan sebagai tempat azan, dialihfungsikan sebagai tempat mengintai kedatangan serdadu Belanda.

Tempat itu sangat cocok jadi titik pengintaian karena ukurannya kecil (2×2 meter) dan tak terlihat dari luar masjid. Yang terpenting, tempat itu berada di ketinggian.

“Memang dahulu tahun 1980-an, saya masih bisa melihat sampai ke pesisir pantai utara dari lantai 3 itu karena belum banyak bangunan tinggi. Sunda Kelapa itu masih terlihat,” kenang sosok yang lahir tahun 1974 itu.

Di Masjid Angke, semangat pemuda dalam mempertahankan kemerdekaan makin bergelora karena adanya para ulama. Mereka diberikan motivasi ataupun ceramah untuk terus berjuang. Ulama memotivasi pemuda itu dengan ceramah tertutup atau terselubung agar tidak ketahuan.

Gerakan perlawanan dari Masjid Angke terbilang rapi. Kegiatan dan aksi mereka tak tercium oleh Belanda. Oleh karena itulah, Masjid Angke bisa selamat dari serbuan tentara Belanda.

“Karena rapinya kegiatan-kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh para pemuda daerah ini sehingga Belanda tidak dapat mencium kegiatannya. Dalam kondisi demikian, Masjid Angke terus memenuhi perannya sebagai tempat pengisian landasan perjuangan, benteng iman, dan ketakwaan umat Islam dalam menghadapi penindasan penjajah Belanda,” pungkasnya.

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *